2 November 2019

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| E-Jazzy | 878 words ||

| Short Story |

| Indigenous - Cerita Lepas |

Tema:
Cerita/puisi/memoar tentang feature article di Wikipedia.com Bahasa Indonesia (Rumah Panggung Betawi)

"Magen, ikut liburan ke tempat kakekku, yuk! Ajak Nila juga, ya!"

Liburan gratis. Siapa yang bisa menolak?

Cuma Nila yang bisa.

Malas keluar rumah, katanya. Liburan paling baik adalah mati suri di balik selimut selama tiga puluh hari, kilahnya. Jadi, aku melapor ke ibunya, bahwa anaknya mesti ikut berlibur denganku dalam rangka penyegaran rohani. Ibunya tentu saja mendukungku agar anak sulungnya tak membatu dalam kamar seperti yang sudah-sudah.

Jadi, Nila tak mau bicara padaku begitu kami berkumpul di bandara. Kopernya dia seret susah payah, ranselnya dia gantungkan ke depan dan didekap erat, topinya dia turunkan rendah-rendah, kerah jaketnya dia berdirikan, dan ekspresi wajahnya merengut total—tinggal diberi kacamata hitam, dia mirip teroris cilik yang hendak memulai debut peledakan pagi ini. Aku takkan menyalahkan petugas bandara jika kami dicegat sebelum bisa naik ke pesawat.

Begitu aku mengeluarkan buku novel R. L. Stine berjudul Selamat Datang di Rumah Mati, dia langsung semringah. Novel ini kupinjam tanpa bilang-bilang dari rak ibuku, dan aku tahu Nila bakal suka.

"Tapi, jangan dibaca di pesawat," kataku. "Nanti mabuk. Dan berbagilah kue yang kamu simpan di dalam ransel."

"He-eh." Dia mengangguk senang sambil terus memeluk buku itu.

"Magen," bisik Zamrud di sisiku, tampak risih. "Aku, 'kan, bilang cuma ajak Nila ...."

"Kamu bilang kalau tambah Safir nggak apa-apa."

Dia melirik dua ekor pemuda tambahan di belakangnya. "Safir memang nggak apa-apa, tapi—"

"Aku yang ajak Abu," tutur Nila, kurang lebih membuat Zamrud dan aku melempar tatapan Akalmu di mana? pada cewek itu. Nila hanya mengedikkan bahunya. "Dia dengar waktu Safir tanya ke aku liburannya berapa hari. Sekalian saja kami ajak dia karena nggak enak, dan kamu sendiri yang bilang salah satu kakak sepupumu batal ikut, 'kan, Zam? Lagi pula, aku sudah gencatan senjata sama dia."

Rumah kakeknya Zamrud ternyata rumah tradisional di dekat pesisir pantai. Ini pertama kalinya aku melihat rumah panggung. Hampir mirip rumah bubungan tinggi karena ada kolong besar di bawah rumah itu. Rumah itu amat tua, berdebu, dan kosong selama tiga bulan lamanya. Tiang-tiang kayu penyangganya mungkin masih kuat, tetapi lantai dan *)balak suji-nya berbunyi keriyut mengkhawatirkan saat aku, Nila, dan Safir melangkah bersamaan.

"Mungkin kita mesti melangkah satu-satu," usul Safir. Setetes keringat mengaliri pelipisnya.

"Ah, rumah ini masih kuat, kok!" Zamrud meloncat-loncat di atas terasnya untuk membuktikan. Ingin sekali aku menjambak rambutnya dan melemparnya melewati pagar pembatas.

Terasnya cukup besar, dan perabot di dalamnya mungkin hanya butuh sedikit dilap. Beberapa jendelanya tidak bisa dibuka, sedangkan dua jendela di lorong malah tak bisa ditutup rapat. Total ada tiga kamar tidur, dua kamar mandi, dapur, dan ruang makan. Aku dan Nila segera menguasai kamar paling depan dengan ranjang paling besar, sementara para cowok mengalah di kamar dekat dapur. Kamar lain di antara dua kamar kami akan ditiduri oleh ipar sepupunya Zamrud—Delima, tetapi Zamrud seenak udelnya memanggil perempuan kemayu berkulit gelap itu Mpok Del, jadi kami ikut-ikutan.

Suaminya Mpok Delima seharusnya ikut. Namun, karena suaminya ada urusan mendadak, satu kursi kosong di pesawat jadi ditempati oleh Abu.

"Jadi," kataku pada Zamrud yang membagikan sapu, kemoceng, serta kain lap pada kami. "Kamu ajak kami liburan gratis untuk bersih-bersih rumah kakekmu?"

"Magen peka, ya!" Si kunyuk berbinar-binar.

Kami habiskan seharian itu menjadi budak bersih-bersih di rumah panggung kakeknya Zamrud, sementara Zamrud dan Mpok Del justru mangkir dan beralasan akan cari makan ke luar. Mereka tak balik-balik sampai senja.

"Berengsek." Abu menyumpah sembari memukuli dinding dengan kemoceng. "Cebol itu mengerjai kita!"

Di kursi ruang makan, Nila sudah menyerah dengan sapu dan kain lap. Dia lebih memilih membuka halaman pertama buku novel yang kupinjamkan. Karena satu anak sudah membandel, kami pun ikut duduk.

Safir berjengit melihat novel di tangan Nila. "Jangan baca yang begitu di sini, dong."

Nila menyengir. "Ingat terapi bulan lalu, Fir. Semua hal-hal gaib itu cuma ada di dalam kepala kita."

Namun, aku tahu Nila mengatakan itu dengan nada mengejek. Dia sampai hari ini tak pernah memercayai bahwa segala hal mistis yang dulu pernah dialaminya saat kelas 10 hanya ada di dalam kepalanya sendiri.

"Memang itu buku tentang apa, sih?" tanyaku.

"Selamat Datang di Rumah Mati." Abu mengeja judulnya, lalu menatapku sarkastis. "Dari judulnya saja menurutmu apa?"

"Ini buku resep makanan Italia," kata Nila, yang kutanggapi dengan, "Oh."

Tiba-tiba, sebuah nampan berisi cangkir yang terisi penuh air putih es diletakkan di atas meja makan, dibawakan oleh seorang pria tua renta. Pria tua itu hanya mengenakan kaus oblong putih dan sarung kotak-kotak, senyumnya mencapai matanya, meninggalkan kerut-kerut usia.

"Semoga betah di sini, ya," ucap si kakek ramah sebelum kemudian melangkah pelan-pelan dengan tungkainya yang tampak ketar-ketir ke kamar yang mestinya ditempati olehku dan Nila.

"Zamrud belum bilang ke kakeknya, ya, kita bakal menempati kamar itu?" tanya Nila berbisik.

Aku hanya bisa mengangkat bahu.

Begitu malam turun, Zamrud dan Mpok Del pulang membawakan makanan.

"Ternyata rumah ini memang masih kuat banget, Zam," puji Safir ketika kami berkumpul lagi di meja makan. "Dan masih bagus juga. Rumahnya kelihatan tua hanya karena belum dibersihkan."

"Iya, rumah ini warisan turun temurun," kata Zamrud. "Sekarang diwariskan ke ayahku."

Kami semua terkesiap bersamaan. Abu yang baru akan mengambil air minum pun sampai tersandung kursinya sendiri sebelum menatap Zamrud sambil membelalak.

"Apa?" Safir bertanya. "Warisan? Dari siapa? Kakekmu?"

"Eh, aku belum cerita, ya?" Zamrud mengerjap tolol. "Kakekku sudah meninggal beberapa bulan lalu."

Aku dan Nila pindah ke kamar Mpok Del saat itu juga.

*)Balak suji: tangga di depan rumah panggung Betawi


Siapa kemaren yang nyenggol-nyenggol, "KAKAAAK KANGEN INDIGENOUS!!!!!!!!"?

Nyoh '-')/

Nda ada Banyu Biru tapi

Doain aja nanti kapan hari ada tema yang cocok dan cukup gaib buat memunculkan si Banyu

Doakan saya masih hidup sampai 28 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 3 November 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro