23 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #23
[Masuk ke web https://www.squibler.io/random-prompt-generator. Buat cerita berdasarkan prompt yang didapat.]

:.:.:

|| Short Story ||

|| Supernatural, Thriller ||

|| 2270 words ||

Again, cerita Naya di asrama Circian langsung nge-plop! gitu aja dalam kepala begitu liat prompt-nya. Nani is wrong with me?!

Btw, cerita Naya bisa kalian temukan di tanggal 8, 15, dan 19 Februari.

Btw lagi, prompt-nya ntaran di bawah. Atut spoiler klo di atas.

Klub majalah sekolah tidak begitu buruk. Malah, aku langsung menyukainya. Aku mendapat akses pada informasi-informasi teranyar sampai yang top secret—aku bisa mengumpulkan tempat-tempat paling berhantu di pulau ini. Seluruh anggotanya juga tampak begitu gembira dan heboh menerimaku bergabung karena aku dikenal sebagai 'Cewek Hantu', lalu ada satu senior yang—hanya dengan satu kali pandang—aku langsung tahu dia menaruh hati padaku.

Ezra bahkan tidak repot-repot menyembunyikan sikap pilih kasihnya sejak aku bergabung. Dia memberiku kursi terbaik di sebelahnya, menerima semua usulanku, dan tidak menyuruhku bekerja sama sekali. Yah, selama dua minggu lebih diperhatikan, dia seringnya menyuruh-nyuruh Rowan dan beberapa anak lainnya yang memang tampak rajin.

"Rowan, hapus artikel yang menjelek-jelekkan Naya—kenapa kau tega sekali padanya?"

"Rowan, riset sumur tua di dekat bangunan aula—ide bagus mengangkat kisah itu, Naya."

"Rowan, penaku jatuh. Ambilkan!"

"Rowan, belikan aku minum. Naya, kau mau sesuatu? Biar sekalian dibelikan Rowan—biar aku yang bayar."

Asyik sekali. Aku makin betah di sini.

Ezra tidak jelek. Mungkin Rowan lebih tinggi dan atletis, Darwin lebih menarik, dan Goddard jauh lebih tampan, tetapi pria seperti Ezra memang sayang buat disia-siakan.

"Naya," kata Rowan suatu pagi saat kami berpapasan di lorong sekolah. "Kau ... tidak berniat melakukan sesuatu yang aneh-aneh pada Ezra, 'kan?"

Aku memberinya senyum menenangkan. "Rowan, aku selalu punya niat aneh-aneh pada semua orang. Jadi, kau tidak perlu cemas."

"Itu kalimat menenangkan macam apa?" tuntutnya seraya mengekoriku sampai kelas. "Sudah berapa hari belakangan Ezra tidak mau diam dan terus mengoceh tentangmu—telingaku sampai lecet tiap mendengar namamu. Dia menyebut namamu minimal 20 kali dalam sehari. Dan itu baru padaku. Dia seperti orang kena guna-guna!"

Aku terhenti dan langsung menoleh padanya. "Apa kau baru saja menuduhku menaruh semacam jampi-jampi pada senior kita?"

"Eh ...." Pemuda itu tampak merasa bersalah sekaligus kebingungan. "Memangnya tidak?"

"Kalau aku bisa pakai guna-guna dan membuat semua pria bertekuk lutut padaku, Rowan, sejak hari pertama sudah kulakukan pada semua orang di sekolah ini—bahkan padamu."

Rowan mendengkus. Kedua tangannya masuk ke saku jaket. "Jadi, apa yang sebetulnya kau rencanakan?"

"Bukan urusanmu." Aku berbalik dan lanjut berjalan sampai masuk ke kelas. Teman-teman sekelasku melirikku dan Rowan sekilas, lalu kembali mengabaikan kami karena tampaknya mereka sudah terbiasa melihat Rowan mencampuri urusanku. "Memangnya apa pedulimu? Senior itu terus-terusan memperlakukanmu seperti kacung dan dia mendapat semua kredit atas artikel serta ulasanmu di majalah sekolah. Aku mungkin juga pernah memperlakukanmu jadi kacungku, tapi aku tidak pernah mengambil kredit atas sesuatu yang dilakukan orang lain."

"Ezra juga menanggung yang buruk-buruk," tukas Rowan, masih mengikuti sampai aku duduk di kursiku. "Seperti saat aku menulis artikel berita yang mengekspos staf TU yang mengorupsi uang bewasiswa anak kelas 11, dialah yang hampir dapat masalah dengan staf TU itu. Atau saat aku mengambil foto Goddard dan teman-temannya pesta sabu dalam kamar asrama, Ezra juga yang mendapat teror dari Goddard selama sebulan penuh."

"Dan bagaimana bisa dia menanggung itu semua?"

"Ezra tidak punya rasa takut." Rowan mengangkat bahunya. "Dia tidak punya kelemahan yang bisa dieksploitasi para tukang bully. Ayah dan ibunya juga martial artist, jadi Ezra menguasai beberapa ilmu bela diri. Dan dia ketua kelas—teman-temannya dari kelas 11-3 menghormatinya. Kau tidak bisa main-main dengan orang macam itu."

"Hmm."

Rowan tersaruk mundur. "Kenapa kau tersenyum seperti itu? Benar, 'kan—kau merencanakan sesuatu!"

"Rowan," kataku, "coba pikirkan—dari semua deskripsimu, Ezra tidak tersentuh. Dan lagi, senior itu menguasai teknik martial art. Apa yang bisa dilakukan gadis lemah lembut sepertiku, hmm?"

Rowan bergidik—dasar tidak sopan.

"Tidak ada orang yang tidak punya rasa takut," ujar Sophia di kursi belakangku. "Dulu, kupikir aku tidak takut pada apa-apa, sampai suatu hari ayahku pulang dari perjalanan bisnisnya dan membawakanku boneka poselen ... kurasa, boneka itu menatapku waktu aku tidur. Sampai sekarang."

Aku menoleh ke belakang. "Bagaimana bisa boneka itu menatapmu sampai sekarang? Kau membawanya ke asrama?"

"Itulah masalahnya. Aku tidak membawanya." Sophia mendesah. Dia menumpu dagu dengan sebelah tangannya. "Boneka itu ikut sendiri. Tahu-tahu dia ada dalam tasku saat aku baru masuk asrama."

"Boleh aku lihat boneka itu nanti?"

"Boleh," kata Sophia, "tapi kuperingatkan, Annalise tidak suka orang asing."

Rowan berjengit. "Kau tidak suka boneka itu, tapi menamainya?"

"Tidak. Dia menamai dirinya sendiri."

***

Rowan tukang ikut campur, jadi aku tidak kaget ketika dia muncul di depan pintu kamarku malam itu.

"Rowan, ini asrama perempuan." Aku memperingatkannya. "Dan kau terlalu sering muncul di sekitarku. Illa mulai naksir padamu."

Tentu saja aku bohong. Illa si gadis hantu tidak naksir siapa-siapa—dia terkekeh di sampingku mendengarku berdusta. Ekspresi wajah Rowan yang memucat mendengar itu benar-benar tak ternilai.

"Kau mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya.

"Kau pasti tahu aku mau ke mana, mengingat kau muncul di depan kamarku sekarang."

"Ezra bilang, kau mengajaknya bertemu malam ini." Rowan memelankan suaranya dan menunduk agar terdengar olehku. "Dia mengira kau mau membalas perasaannya. Dari caranya bicara, seolah-olah kalian mau melakukan hal tidak senonoh."

"Cuma dia yang berpikiran begitu." Aku berjalan ke kamar di ujung lorong, lalu mengetuk. Saat Sophia membukakan pintu, aku menyapanya, "Hai, Sophia."

"Naya," kata gadis itu terkejut. "Kau betul-betul mau pinjam bonekanya?"

"Lebih baik lagi, aku mau minta boneka itu. Kalau boleh?"

"Sangat boleh." Sophia berlari ke dalam kamarnya dan langsung mengambilkan sebuah boneka bayi dengan rambut keriting tak terawat. "Tolong pastikan dia tidak bisa mendekatiku lagi."

"Tentu." Aku menoleh sedikit ke dalam kamarnya. "Ah, ya, pastikan kau selalu menutup jendela dan tiraimu sebelum tidur."

Sophia berdengap. "Apakah boneka ini bisa masuk lewat sana? Baiklah, aku tidak akan lupa mengunci jendela lagi."

Aku hanya tersenyum dan mengucapkan selamat malam padanya. Gadis baik.

"Astaga, bonekanya seram sekali." Rowan berkomentar seraya mencuil rambut boneka di tanganku. "Benar-benar ada hantunya?"

"Tidak ada. Boneka ini kosong. Kalau ada isinya, aku tidak mungkin memintanya."

Rowan tampak kebingungan. "Tapi—"

"Sophia punya masalah dengan stalker, tapi dia tidak menyadarinya. Damian, ketua kelasku—dia sering sekali memperhatikan gadis itu sampai-sampai kadang aku ikut merasa risih, soalnya aku duduk di depan Sophia. Cowok itu yang naik ke balkon kamar Sophia tiap malam dan memperhatikan gadis itu saat tidur. Benar-benar tidak normal." Aku menggeleng-geleng. "Sedangkan boneka ini—kurasa, ayahnya Sophia yang memasukkannya ke dalam kopernya. Dia kira anaknya menyukai boneka ini."

"Tapi, bagaimana cara boneka ini menamai dirinya sendiri Annalise?"

Aku memencet bagian lembut dan elastis dari perut si boneka, dan ia mengeluarkan suara robotik dan tercekik imut. "Hi, I'm Annalise. Be my friend!"

***

"Apa yang kita lakukan di dalam sini?"

"Apa yang kau lakukan di dalam sini?" Kudorong dada Rowan karena kehadirannya membuat sumur ini tambah sempit. "Kau tidak perlu ikut."

"Kau mau membunuh Ezra dan menyembunyikan mayatnya di sumur ini, ya?"

"Sembarangan!"

Sumur ini dalamnya hanya empat meter karena sudah ditutup dan disemen. Dari riset yang Rowan lakukan, pernah ada perkampungan di Pulau Circian sebelum tempat itu lenyap karena kerusuhan. Sumur ini adalah salah satu peninggalan perkampungan itu sebelum tempat ini disulap jadi sekolah asrama untuk anak-anak bermasalah.

Pernah ada beberapa kasus siswa hilang di dekat sumur ini, dan bukan sembarang siswa. Kalau dugaanku benar ....

"Naya?" Ezra melongok ke dalam sumur. "Apa yang kau lakukan di bawah sana? Tunggu—apa itu Rowan?"

Dari aromanya, Ezra habis menumpahkan sebotol parfum ke badannya. Rambutnya tersisir rapi dan dia tampaknya mengenakan pakaian terbaiknya. Aku menahan diri dari menjulurkan lidah dan memasang tampang mual.

"Hng ...." Aku melirik Rowan, lalu buru-buru berimprovisasi. "Kak Ezra tolong aku! Rowan—di-dia mencoba melakukan sesuatu padaku! Dia membawaku ke sini! Keluarkan aku!"

Rowan menganga, kemudian dia menyumpah. "Naya—kau cewek iblis."

Aku menjulurkan lidah padanya, lalu mendongak lagi dan mulai terisak-isak. Pura-pura menangis adalah keahlianku sejak umur 5 tahun.

Kutarik kedua tangan Rowan dan memaksanya memelukku di leher. Kukuku menancap di lengannya saat dia berusaha melepaskan diri dariku.

"Kak Ezra! Selamatkan aku!"

"Ah ... uh ...." Ezra tampak kebingungan di atas sana. Kepalanya menoleh ke sana kemari, mencari sesuatu untuk diulurkan, seseorang untuk dipanggil, tetapi tidak ada apa-apa yang bisa digunakan. Cuma ada penutup sumur dari kayu yang menggeletak di tanah. Aku sudah singkirkan semua benda berguna yang kemungkinan bisa dipakainya. Dia harus melompat. "T-tunggu! Bertahanlah Naya."

"Cepat!" pekikku. Rowan hampir lepas dari cengkramanku. Kakinya menendang-nendang udara, berusaha menjauhiku. "Ah—tidak! Rowan, hentikan!"

"Rowan, kau makhluk rendahan!" Ezra mulai memanjat turun dengan tangan dan kakinya yang gemetaran, terentang ke dinding-dinding sumur. "Pria edan! Penoda wanita! Tak kusangka kau anak semacam ini!"

Kepalan tangan Ezra menghantam Rowan di rahang. Karena sempit dan gelap, dan dia berusaha untuk tidak mengenaiku, Ezra tidak bisa melakukan apa-apa ketika Rowan akhirnya memanjat naik.

Aku tersedu-sedu saat Ezra mengecek keadaanku.

"Aku ingin naik. Tolong aku, Kak Ezra."

Ezra membiarkanku menginjak bahunya. Tangannya memberiku dorongan sampai akhirnya aku berhasil memanjat naik. Di atas, Rowan menungguku dengan ekspresi wajah pahit dan memar kecil di rahangnya.

Di bawahku, Ezra mulai memanjat juga sambil menyumpahi Rowan.

Kuraih penutup dari kayu dan buru-buru menangkupkannya ke atas lubang sumur, lalu mendudukinya. Namun, penutup ini mulai berguncar saat Ezra berusaha keluar. Aku hampir jatuh dari atasnya.

Aku mulai panik dan melambai-lambai ke arah Rowan. "Cepat—tahan ini! Dia mau membunuhmu!"

"Gara-gara siapa?!" Namun, Rowan tetap menurutiku menahan penutup sumur.

Boneka Annalise kubiarkan tertinggal di dasar sumurnya. Aku menunggu sampai kira-kira satu menit lebih sedikit dan benturan pada penutup sumur itu melemah.

"Keluarkan ...." Suara Ezra terdengar goyah, lalu dia berteriak histeris. "Keluarkan aku! A-aku tidak bisa ... tidak—aku, tidak bisa di dalam sini ... tolong!"

Rowan menatapku. Sebuah kesadaran terbentuk di matanya. "Ezra takut gelap?"

"Dia takut pada ruangan sempit." Kuperhatikan kuku-kuku jari tanganku. Ck, kotor, kena tanah. "Ezra punya claustrophobia. Aku terkejut kau belum menyadarinya. Aku langsung tahu di hari pertama bergabung di klub karena dia terus menghindari ruang arsip yang sempit dan menyuruhmu merangkak ke antara meja dan laci-laci untuk mengambil penanya."

"Naya, sebelumnya aku tidak serius. Tapi sekarang aku serius. Kau cewek iblis."

"Hah, lihat siapa yang bicara." Kutepuk punggung tangannya, yang menahan penutup sumur. "Kau menekan penutup ini supaya Ezra tidak bisa keluar. Kau juga iblis."

"Kau duduk di atas penutupnya!"

"Aku tidak mungkin duduk di atas tanah kotor."

Kemudian, kurasakan muatan udara berubah. Seluruh rambut di lengan dan leherku berdiri. Harum manis kental memenuhi rongga hidungku.

"Buka!" Aku melompat turun dari atas penutup sumur. Kuraih salah satu gulungan kertas segel yang kusimpan di dalam sepatuku. "Cepat! Sebelum dia hilang lagi!"

Rowan punya bakat menjadi babu—dia membuka penutup sumur itu tanpa bertanya.

Aku melompat masuk lagi ke dalam sumur dan mendarat di atas Ezra yang terduduk lemas. Dia terbatuk saat aku menindihnya. Kuraih ke belakang pria itu dan mendapati Annalise tergencet di bawah pantat Ezra.

"Minggir, sialan!" Aku mendorong Ezra ke sisi, lalu menempelkan kertas segel pada perut Annalise. "Rowan! Angkat aku dari sini! Cepat!"

Pemuda itu merangkak turun dan mengulurkan tangannya, lalu mengeluarkanku dari dalam sumur. Setelahnya, dia membopong Ezra yang bersimbah keringat.

Kulemparkan Annalise ke tanah. Kuambil sebotol kecil minyak dan mancis dari dalam saku jaketku. Kutuangkan minyak itu ke Annalise, lalu kubakar boneka tersebut.

Apinya menyala jingga dan menjilat-jilat tinggi sekali. Dalam kobarannya, tampak siluet tinggi seorang pria dengan rambut panjang terikat kuncir kuda dan janggut lancip. Suara lolongannya menyatu dengan retih api, sebelum kemudian lenyap jadi asap.

Rowan dan Ezra membuka mulut lebar-lebar sambil terkesima. Namun, tak seorang pun dari mereka mengatakan apa-apa. Kami hanya diam di sana sampai Annalise jadi tumpukan gosong. Kukubur boneka malang itu di samping sumur.

Setelahnya, muncul sosok-sosok pucat samar—beberapanya masih mengenakan seragam sekolah, sisanya baju kasual seperti kami bertiga. 10 orang—siswa-siswa yang hilang dekat sumur.

"Kau membebaskan kami," lirih salah satu arwah itu kepadaku. "Bagaimana kami bisa berterima kasih?"

"Siapa di antara kalian yang punya dendam atau urusan yang belum selesai?"

Semuanya mengangkat tangan.

"Sampai saat itu tiba, berkeliaranlah di sekitar kamarku." Kuularkan tanganku, dan para hantu pun berbaris untuk mengecup buku jari tanganku demi mendapat secercah kekuatan—sedikit akses untuk berpindah tempat. "Sampai kalian merasa harus pergi dari dunia ini, bergentayanganlah dulu di depan kamarku. Ada satu perempuan yang harus kalian jauhkan dari kamarku. Namanya Lisa. Akan kuberi kalian helaian rambut dan potongan kukunya untuk mengenalinya nanti."

Setelah mendudukkan Ezra di samping sumur, Rowan mendekatiku. "Yang tadi merasuki boneka itu ... hantu apa?"

"Kepala desa," kataku. "Dia sumber kerusuhan perkampungan yang dulunya berdiri di pulau ini. Dia menggunakan rasa takut untuk membuat orang-orang tunduk padanya. Tapi, orang terakhir yang ketakutan adalah dia, ketika satu kampung berbalik menyerangnya dan membakar rumahnya. Mereka membuang mayat pria itu dalam sumur. Tentu saja, sesuai risetmu, mayatnya sudah disingkarkan sebelum tempat ini jadi sekolah, tapi arwahnya masih di sini. Hantu itu tertarik pada rasa takut seseorang dan muncul untuk menakut-nakuti korbannya sampai jatuh ke dalam sumur dan mati. Karenanya, semua anak yang menghilang di sini selalu siswa yang punya ketakutan terhadap tempat gelap, tempat sempit, atau sekadar ... yah, sekadar takut pada cerita hantu dalam sumur." Kutepuk bahu Rowan. "Risetmu akurat, Kawan."

Ezra menelan ludah. "Jadi, aku hampir mati?"

"Tidak." Aku menukas. "Rasa takutmu memang memancingnya keluar. Tapi begitu mendapati objek kosong berbentuk benda hidup—seperti boneka—para hantu akan secara spontan merasukinya. Hantu itu lupa sepenuhnya padamu dan langsung masuk ke dalam Annalise, jadi aku menyegelnya dan membakarnya."

"Kasihan Annalise," komentar Rowan.

"Kasihan Annalise." Aku mengangguk menyetujuinya.

"Bagaimana denganku?" Ezra menyela dengan suara berdeguk gemetaran. "Jadi, aku sedang dimanfaatkan?"

Rowan berdecak. "Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu dari awal."

Aku mendelik tersinggung. "Memperingatkannya apa?"

Rowan menggaruk kepalanya. Pemuda itu lantas mengalihkan pembicaraan. "Dari mana, sih, kau dapat benda-benda itu—kertas jimat dan sebagainya?"

"Kau tidak kepingin tahu, Rowan." Aku berjalan menjauhi sumur dengan tangan terkait di belakang punggung, bersiap untuk pulang ke asrama. Namun, kusempatkan diriku menoleh lagi dan menatap para cowok yang terpana. "Karena begitu kau mengetahui sesuatu, kau tidak bisa membatalkan pengetahuan itu."

:.:.:

"Baby, I'm the reason why Hell's so hot

Inferno

Baby, I'm the reason why bad's so fun."

Inferno, song by Bella Poarch & Sub Urban

A/N. Ini prompt nya:

"Lelaki itu takut pada tempat sempit dan gadis itu tahu."

Noh, Naya banget kan >:'V

Makanya langsung ngalir yang ini >:'V


Doakan saya masih hidup sampai 5 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 24 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro