25 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #25
[Buat cerita di mana tokoh utama di hari ke-6 bertemu dengan tokoh utama di hari ke-17]

:.:.:

|| Short Story ||

|| Science-fantasy, Historical Fiction ||

|| 2136 words ||

Hmm, hari ke-6 ....

._.

Ya, okelah. Ceritanya Neng Clarissa sama Bang Khalil di tahun 2301, di zaman baru generasi manusia abadi.

But,

Hari ke-17 ....

._.

Oh, SHEET—

ASKHDAOSJFDJLFJEAICNZNAOIEFICBWQBDBAICNSANCSABCASCHELPBAIUGWDASBDKANCZ

Mengutip dari ryekara

"INI PEMBUNUHAN MASSAL"

"Ini tempat apa?" Aku mengamat-amati sekitar. Khalil membawaku ke salah satu ruangan kecil berdinding plester pada sebuah bangunan 3 lantai di jalanan yang lumayan terpencil di pusat kota. "Ini tempat persembunyian? Tempatmu menyimpan senjata? Persinggahan sementara?"

"Rewel ...." Khalil berkomentar seraya melepaskan jaketnya dan melemparnya asal ke salah satu sofa yang busanya sudah keluar. "Ini rumahku. Jangan khawatirkan Rafaeyza, dia dan yang lainnya tidak tahu selama ini aku tinggal di sini."

"Rumah ...?"

Kupikir dia bercanda. Maksudku, sarang jin seperti ini tidak mungkin rumahnya.

Pintunya dipenuhi gembok. Lampunya kuning menyakitkan mata dan tidak cukup untuk menerangi keseluruhan ruangan. Dindingnya saja tidak bercat. Lantainya dingin dan tidak ada karpetnya. Perabotnya hanya lemari tua yang sudah lapuk, meja berlaci yang polesannya mengelupas, sofa yang sudah rusak, konter dapur kotor, kompor primitif yang dipenuhi noda hitam, meja makan peyot, dan kulkas kecil yang kurasa sudah tidak diproduksi lagi sejak tahun 2100-an.

Kukira, kemiskinan sudah tidak ada lagi, tetapi kurasa kemiskinan tidak ada di lingkungan tempatku tinggal dan mayoritas masyarakat. Sepertinya, pemerataan kekayaan tidak benar-benar merata di dunia ini. Jalanan tempat Khalil tinggal pun tidak bisa dibilang layak jika dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya. Ada sekitar sepuluh bangun bobrok tanpa pencahayaan memadai di sekitar sini. Jalanannya juga rusak dan becek.

Atau barangkali, duniaku yang terlalu sempit. Ini pertama kalinya aku benar-benar melihat dunia luar selain lingkungan rumahku secara langsung ....

"Kau boleh ambil tempat tidur di sana." Khalil mengangguk ke arah kumpulan papan dengan gumpalan selimut di pojok ruangan yang tadinya tak kuketahui fungsinya. Pemuda itu sendiri langsung menghempaskan diri ke sofa dan melepaskan kancing-kancing kemejanya. "Aku bisa tidur di sofa. Kita pikirkan ke depannya besok pagi."

Aku masih membeku di tengah-tengah ruangan. Aku bahkan tidak bisa melepaskan sepatu—lantainya kelihatan tidak aman buat dipijak.

Aku mau pulang ....

"Kenapa?" Khalil mengintip dari balik lengannya. Cengirannya tersungging. "Mau pulang, 'kan?"

Aku menegakkan badan. "Tidak, kok! A-aku ... aku bisa tidur di tempat begini ...."

Mataku melirik tempat tidurnya dan bertanya-tanya bagaimana caranya dia bisa tidur nyenyak selama ini. Aku menatap pintu berlumut di ujung ruangan dan hampir menangis membayangkan kamar mandinya. Kedua tanganku saling remas.

"Aku ... uh, aku bisa kok—"

"Tidak usah memaksakan diri." Khalil menegakkan badannya. Sikunya menumpu ke lutut. Senyumnya lebar sekali. "Kalau kau mau pulang sekarang, akan langsung kuantar. Kita kembali ke kehidupan masing-masing dan seolah tak pernah bertemu sebelumnya."

Kukepalkan tanganku untuk menguatkan diri. Namun, kudapati badanku menciut saat Khalil berdiri dan mulai mengitariku.

"Bayangkan, tidur di ranjangmu yang empuk, dibelai penyejuk udara, dipeluk selimutmu yang hangat."—Aku hampir mendesah penuh harap, merindukan kamarku lebih dari apa pun saat ini. "Besok pagi, setelah mencuci muka dengan air bersih dan berganti pakaian yang lebih bersih, kau bisa turun ke dapur rumahmu yang wangi rempah-rempah. Sarapanmu sudah siap, bersama Mommy dan Daddy menyambutmu dengan senyum di ruang makan."

Khalil melakukan kesalahan dengan kalimat terakhir itu.

"Ayahku tidak akan menyambutku dengan senyum." Kudapatkan kembali tekadku untuk tidak pulang ke rumah. "Aku bakal disambut wartawan dan kamera. Aku bakal jadi berita heboh besok pagi."

Khalil kehilangan senyumnya. Dia menggeram. "Ayolah! Kau tidak bisa tinggal di sini!"

Kutuding hidungnya. Kakiku melangkah maju sampai pemuda itu berjengit mundur. "Kau menculikku, Tuan. Sudah tanggung jawabmu untuk menampungku setidaknya sampai berita hilangnya aku surut! Yang artinya, kau mesti menampungku selamanya!"

"Selamanya?" Suaranya mendecit. "Kau bahkan tidak akan bertahan semalam di sini! Mengaku saja—kakimu bahkan tidak mau menyentuh lantai sejak tadi!"

Kakiku menghentak-hentak di lantai. "Kakiku menginjak lantai, tuh!"

Khalil mengangkat dagunya menantang. "Lepaskan sepatumu, kalau begitu."

Kugigit bibirku kuat-kuat. Sambil menahan napas, kulepaskan sepatuku dengan sangat perlahan. Kulangkahkan kaki kananku keluar dari sepatu dengan gerak lambat, lalu kaki satunya. Khalil memperhatikanku dengan mata terpicing seperti menunggu kakiku terbakar.

"Sudah." Aku menelan ludah dan menahan gemetar di kaki saat merasakan tekstur kasar di telapak kakiku. Lantai pelataran rumahku saja tidak sekasar dan sekotor ini.

"Jari kakimu," ujarnya tanpa perasaan. "Jangan dilentikkan begitu. Turunkan."

Dia menyengir saat mendengarku meloloskan suara ringisan sambil menurunkan jari-jari kakiku.

Pemuda itu meraih bantal di atas sofa, lalu menyerahkannya padaku. Katanya, "Peluk."

Sarung bantalnya mungkin dulunya berwarna putih, tetapi sekarang sudah kuning kecokelatan dan dipenuhi pola-pola mencurigakan. Kutahan napasku dan memaksakan diri mendekap bantal itu ke dada. Jantungku seperti menyeret dirinya mundur ke belikat.

Belum ada satu menit, aku sudah bersin dan batuk sampai mataku berair.

"Lihat? Kau tidak cocok di sini."

"Aku bisa membiasakan diri," kataku keras kepala.

Khalil menggeram lagi, lalu kembali menjatuhkan diri di sofa. "Terserah."

Menggunakan tumit, aku melangkah ke arah tempat tidur di ujung ruangan. Kuambil gumpalan selimutnya dengan ujung jari, lalu sepasang mata yang memelotot menyambutku dari balik selimut.

Aku menjerit dan langsung berlari ke tengah ruangan, lantas melompat ke pangkuan Khalil di atas sofa. Pemuda itu tersedak saat menerima bobotku. Kedua tanganku mencengkram lehernya erat-erat.

"Monster!" pekikku. "Ada makhluk hibrida di kasurmu!"

Kemudian, setan bermata tajam itu berbunyi, "Meeng."

Aku tersengal. Mataku masih berair. "S-suaranya imut sekali untuk ukuran monster."

"Itu cuma Alma." Khalil mendesah. Tangannya menjentik-jentik, nada suaranya meninggi tetapi lembut memanggil Alma—apa pun Alma itu.

Makhluk berbulu hitam-putih itu melompat dari tempat tidur dan mendekati sofa. Ekornya mengibas-ibas dan wajahnya ia gosokkan dengan manja ke kaki Khalil.

Kuangkat kedua kakiku, menolak bersentuhan dengan si gumpalan bulu aneh.

"Ini kucing." Khalil meloloskan tawa geli. Ini pertama kalinya aku mendengar dia tertawa seperti itu. "Kau tidak pernah melihat kucing?"

Kuperhatikan Alma lekat-lekat. Aku mungkin pernah melihat kucing sesekali di media, tetapi warna bulunya tidak seperti itu, dan wajahnya tidak semenakutkan ini, dan tatapannya jauh lebih lembut dari Alma.

Alma mengingatkanku pada Nenek Jia—ibunya ibuku, yang sekarang sudah memudakan dirinya kembali dan menikah lagi untuk yang keempat kalinya. Nenek Jia punya mata meruncing, tatapan tajam, telinga lancip, dan seringai jahat mirip Alma.

Aku menyedot ingus. "Bulunya mirip sapi."

Tawa Khalil meledak seketika. Kepalanya sampai terdongak.

"Sapi!"

"Ada dokumenter tentang peternakan susu," kataku lagi. "Tapi sapi-sapi itu lebih ramah daripada Alma." Aku mengerut lebih dekat pada Khalil karena Alma tak kunjung melepaskan tatapannya dariku. "Makhluk itu ... sepertinya mau memakanku."

Suara Khalil sampai berubah saking kerasnya dia tertawa.

Alma berlenggak-lenggok menjauhi sofa dan melompat anggun ke atas konter. Makhluk itu kemudian menjilati kakinya sendiri—iiiiih ....

"Kenapa dia melakukan itu?" tanyaku jengah. "Kenapa dia tidak mencuci kakinya saja ke wastafel?"

Khalil terbatuk-batuk dan sudut matanya berair. Saat tawanya menyurut, baru kami berdua sama-sama menyadari bahwa aku masih duduk di pangkuannya. Bawahan gaun tidurku tersingkap dan mata Khalil terpaut cukup lama pada lututku yang terbuka, hingga akhirnya pemuda itu buru-buru mendorongku sampai terguling ke lantai.

"Cepat tidur sana!" Dia berdiri dan melemparkan bantal-bantal di sofa ke arahku. Wajahnya merah sampai ke leher.

Sementara aku terduduk di lantai, Khalil berderap ke arah kulkasnya. Dia minum langsung dari botol sampai airnya meleleh ke dadanya. Kututupi mulutku dengan punggung tangan. Rasanya aku akan muntah.

Apa dia tidak punya gelas?!

Aku kembali ke tempat tidurnya di ujung ruangan, merapikan selimutnya sebagai pengganti seprai, lalu berbaring sebisanya. Keras sekali. Punggungku sakit.

Namun, karena ini malam yang panjang dan sudah jauh melampaui jam tidurku, aku pun terlelap.

***

Aku bermimpi ke tempat itu lagi. Dan setiap kali kembali ke sini, aku menyadari bahwa aku sedang bermimpi.

Namun, Nenek Jia bilang, aku bukannya sekadar bermimpi. Menurutnya, ini adalah ingatan masa laluku. Kehidupanku sebelum terlahir sebagai Clarissa. Yah, nenek memang masih percaya pada hal-hal semacam itu. Dia lahir di awal tahun 2200-an di komunitas yang masih memercayai takhayul di atas science. Dia berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang religius dan memercayai reinkarnasi.

Dia percaya aku adalah reinkarnasi leluhurnya, Zehn-zehn.

Jadi, Zehn-zehn memiliki seorang kakak perempuan bernama Li-mei. Perempuan itu sangat, sangat, sangat menyayangi Zehn-zehn. Dan tiap kali aku memimpikannya, aku selalu dipeluk olehnya. Kadang, pelukan itu terasa begitu nyata hingga tak satu atau dua kali saja aku mulai meyakini bahwa ini memang memori, bukan sekadar mimpi.

Malam ini, Li-mei kembali memelukku. Namun, aku sedang terbaring dan Li-mei tengah menangis. Sepertinya aku sedang sakit keras. Seseorang di luar pintu menyebut-nyebut bubonic plague dalam bahasa asing yang entah bagaimana bisa kupahami.

Bubonic plague ... itu wabah hitam, 'kan? Salah satu epidemi penyakit paling mematikan dalam sejarah kelam umat manusia?

"Jangan ke sini ...." Kudapati diriku berkata dalam bahasa asing itu. "Nanti ... tertular."

"Adikku ...." Li-mei terus-terusan menangis dan berusaha memelukku lagi, tetapi aku mendorongnya dengan sepasang tanganku yang kurus keriput. "Adikku sayang ...."

"Pergi ...." Aku memohon padanya. "Pergi ... jangan mendekatiku."

Seseorang dengan pakaian medis kuno membuka pintu di belakangnya, lalu meneriaki Li-mei. Tangannya menyeret Li-mei menjauhiku.

Meski aku memohon agar dia pergi, kudapati diriku berusaha meraih ke arahnya, dan Li-mei meraih-raihkan tangannya ke arahku. Dadaku sakit dan rasanya mulai sulit untuk bernapas. Aku merasa takut dan tidak ingin ditinggal sendirian lagi. Pengasingan ini membunuhku sama cepatnya dengan penyakit itu sendiri.

Aku terbangun dan merasakan mataku gatal luar biasa. Napasku sesak. Sekujur tubuhku lengket oleh keringat dingin—lembap, tetapi menusuk hingga bahuku menggigil. Dari jendela yang masih tertutup tirai, cahaya samar matahari pagi berusaha masuk melalui celah kain gorden yang renggang.

Di atas sofa, Khalil masih tertidur.

Aku berguling turun dari atas tempat tidur, lalu terbatuk. Suara dahak membebani dadaku.

Kaki dan tanganku mengayuh di lantai. Kudekati meja berlaci dan mencengkram pinggirannya, lalu membuka pintu kamar mandi susah payah. Aku meraih ke arah wastafel kotor di sisi pintu. Kuhela diriku sampai berdiri. Kupatut diriku di depan cerminnya yang berembun, berdebu, dan retak-retak.

Mataku merah, kelopak mataku gelap dan membiru, bibirku putih pucat, dan butir keringat terus bermunculan di wajahku. Aku terbatuk lagi. Cair kuning meleleh keluar dari mulutku ke wastafel.

Jangan tidur sembarangan, Clarissa. Suara ibuku mengiang di sudut memoriku. Jangan makan sembarangan. Jangan minum sembarangan. Jangan jangan jangan—

Aku berjalan sempoyongan ke luar dan mengagetkan Alma. Kucing itu mengamatiku dengan sepasang matanya yang tajam. Saat kukira dia akan mulai menggigiti wajahku, kucing itu justru meloncat ke atas sofa, lalu mengaum seperti macan kecil. Khalil terlonjak bangun ketika merasakan cakar-cakar Alma menggores lengan dan lehernya.

"Ada apa denganmu, Alma?!" keluh pemuda itu, masih setengah tidur. "Kau tidak pernah mencakarku."

Saat itulah dia melihatku bergelung di depan pintu kamar mandi.

"Hei," panggilnya, terdengar cemas sungguhan, "ada apa denganmu?"

Dingin. Mataku gatal. Tenggorokanku sakit. Napasku berat. Namun, aku tidak bisa berkata-kata. Mimpi (atau barangkali memang memori) Zehn-zehn memutar kembali dalam kepalaku. Saat-saat sebelum ajalnya yang terasing dan penuh penderitaan ....

Aku akan jadi sepertinya—kusadari hal itu.

Aku bukan manusia abadi. Aku fana. Aku tidak seperti ibu dan ayahku atau manusia lainnya di zaman ini. Aku bahkan tidak seperti Khalil. Aku akan mati suatu hari ... yang barangkali adalah hari ini.

Kupejamkan mataku saat Khalil mengangkatku ke atas sofa.

"A-aku akan mati."

"Kau tidak akan mati, dasar bodoh."

Dia mengambil pakaian baru dari dalam lemarinya dan menjadikannya selimut untukku, lalu berderap ke suatu tempat yang tidak bisa kulihat. Di atas sofa dekat kepalaku, Alma duduk sambil mengamatiku. Ekornya bergoyang. Matanya berkedip pelan dan anggun seperti mengasihaniku, seolah-olah dia tengah berkata: Dasar manusia ....

***

Rupanya aku hanya butuh makan sup panas, minum air mineral, minum antibiotik, dan berganti pakaian bersih. Siangnya, aku langsung merasa baikan.

Tidak ada rasa gatal atau beban berat di dada atau perut perih lagi. Sensasi penuh rasa sakit yang membuatku merana dan akan mati tadi pagi pergi entah ke mana.

"Kau benar-benar tidak pernah keluar rumah?" tanya Khalil. Alisnya mengerut. Ekspresi wajahnya persis Alma—mengasihaniku.

"Pernah," tukasku, masih agak serak. "Sesekali ...."

Yah, aku tidak pernah meninggalkan rumah selama ini. Kalau dipikir-pikir lagi, aku belum pernah tidur di luar kamarku sendiri. Ini juga pertama kalinya aku melewatkan sarapan. Dan tadi malam adalah rekor paling larut aku tidur. Lalu, udara malam ternyata lebih menusuk dari dugaanku. Udara di tempat tinggal Khalil juga ... tidak bisa dibilang bersih.

Kugigit bibir bawahku untuk menahan tangis. "Aku ... pulang saja. Aku akan menyusahkanmu di sini."

"Rumahmu dijaga ketat," ujar pemuda itu. "Saat melewati jalannya saja, aku bisa mendengar suara derap langkah Garda Nasional. Perimeter dipasang jauh sekali sampai aku mesti memutar untuk mencari antibiotik tadi."

Aku merenungi kedua tanganku di atas lutut.

"Dan Rafaeyza masih mengincarmu," lanjutnya. "Anak buahnya hampir menangkapku tadi."

Air mataku mulai menggenang.

Bagaimana aku hidup sekarang? Aku terlalu lama di dalam sangkar hingga hal-hal kecil nyaris membunuhku. Ada yang mengincarku untuk membedah-bedah badanku. Dan aku bukan manusia abadi ....

Mudah sekali untukku mati. Seperti Zehn-zehn. Seperti Li-mei. Seperti jutaan manusia di masa lalu sebelum kami menyongsong zaman baru generasi manusia abadi.

Sementara umat manusia bisa menikmati hidup abadi dan kemudaan, aku malah di sini—terjebak dalam fisik lemah dan rentan. Aku menua. Waktuku terbatas. Dan aku tidak punya keterampilan apa pun.

Aku bahkan tidak tahu apa itu kucing andai tidak pernah bertemu Alma.

Khalil mendadak melemparkan jaketnya kepadaku.

"Kau tidak bisa hidup seperti ini," ujarnya. "Dan orang tuamu jelas sekali tak pernah memikirkan akibat tindakan mereka memanjakan dan mengurungmu seperti itu. Alma bahkan punya lebih banyak kebebasan darimu."

Kucengkram jaketnya. "Lalu, apa yang mesti kulakukan?"

"Mulailah hidupmu hari ini." Khalil mengulurkan tangannya. "Pertama-tama, langkah kecil dulu. Kau butuh keluar dan menghirup udara bebas."

:.:.:

"You will know you're reborn tonight

Must be ragged but I'll stay by your side."

Call of Silence,
song by Hiroyuki Sawano & Gemie

Doakan saya masih hidup sampai 3 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 26 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro