27 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #27
[Masuk ke web https://www.generatormix.com/random-genre-generator masukkan angka 5 lalu klik generate. Buat cerita dari genre ke-3 yang muncul]

:.:.:

|| Short Story ||

|| Romance Thriller ||

|| 2498 words ||

Romance Thriller '-')

Ehehehehehehe
Cerita Naya ama Rowan lagi, guys
Emang kena santet Naya keknya

"Bagaimana? Cowok yang kemarin lumayan imut, 'kan?"

"Tidak sama sekali. Cowok yang kau kenalkan waktu itu—dia pembunuh bayaran. Dia mencoba membunuhku dua kali."

"Tapi, tetap imut, 'kan?"

"Naya, berhenti mencoba menjebakku. Tidak akan berhasil."

***

"Dan begitulah caraku dikirim kemari."

Tanganku yang memegangi pena berhenti di atas kertas. Kukira, aku sudah terbiasa dengan cara Naya tersenyum, tetapi gadis itu selalu punya cara baru untuk membuatku berkeringat dingin dan gemetaran ujung kaki sampai kepala.

Kafetaria sedang ramai-ramainya, dan ada sekitar sepuluh anak lain yang duduk di meja yang sama dengan kami. Namun, dengan caranya menatap dan tersenyum, juga sikap duduk dan gestur sekecil apa pun yang dikeluarkannya, Naya mampu membuatku semacam terjangkar hanya padanya—seolah-olah kami hanya berdua di sini, dalam gelap, dan udara dingin mencekam ....

Yah, sama sekali bukan hal romantis seperti yang dipikirkan orang-orang. Tiap kali berada terlalu dekat dengan Naya, gadis itu membuatku merasa sedang terjebak dalam rumah angker dan berduaan dengan hantunya langsung.

"Jadi," kataku, "kau mencoba membunuh teman sebangkumu sendiri? Dengan mencarikannya pembunuh bayaran sebagai pacar?"

"Aku mak comblang yang unik, Rowan. Kalau kau ingin pacar yang tidak biasa, aku bisa kenalkan seseorang padamu. Kebetulan ada hantu baru di lab biologi—"

"Hei," celetuk Nate yang duduk di sampingku. Jus kotakan di tangannya sudah kempot, tetapi makan siangnya masih tersisa banyak sekali. Dia mengernyit ke arah Naya. "Ceritamu beda dengan yang kau beritahukan padaku kemarin."

Aku menegakkan badan. "Beda?"

"Ya." Nate menggeser nampannya menjauh, membiarkan teman-temannya mencomot makan siangnya. "Naya bilang, dia dikirim ke sekolah ini karena membuat guru matematikanya hampir keracunan."

"Ah ya ...." Naya mendesah dengan tatapan mengenang. "Aku tidak sengaja menukar bubuk kopinya dengan semir sepatu. Kukira, gelas itu punya guru fisika."

Hansen, yang juga sekelas dengan mereka berdua dan baru saja menghabiskan lauk di nampan Nate, ikut masuk dalam obrolan. "Naya bilang padaku, alasannya dikirim ke sekolah ini karena ayahnya menemukan boneka santet dalam tasnya, dengan foto tetangga mereka tersemat ke boneka itu."

Naya terkekeh seraya memilin-milin helaian rambutnya. Gayanya mirip gadis pemalu yang sedang dipuji habis-habisan. Dari kejauhan, pasti kami terlihat seperti gerombolan remaja normal yang sedang bersenda gurau dan melempar rayuan pada primadona kelas. Takkan ada yang menyangka bahwa boneka santet dan kopi beracun terlibat dalam obrolan ini.

Aku melemparkan pena ke atas meja. "Jadi, mana yang benar? Apa alasanmu dikirim kemari?"

Naya memberengut ke arahku. "Aku anggota klub majalah sekolah sekarang. Tidak ada alasan lagi bagimu untuk menulis cerita tentangku. Bukankah Ezra juga sudah memutuskan untuk menghentikan artikel tentangku?"

"Nah, karena aksimu di sumur berhantu tempo hari, Ezra akhirnya sadarkan diri. Dia sudah tidak naksir padamu. Kami setuju untuk kembali mengangkat cerita hidupmu karena laku sekali—anak-anak kelas 12 menyukai artikel tentangmu. Jadi,"—kuraih kembali pena dan kertasku—"serius, Naya. Ceritakan yang benar. Kenapa kau dikirim kemari?"

"Tapi semua ceritaku itu benar. Memang pernah terjadi."

"Tapi itu bukan alasanmu dikirim kemari," kataku, yang dibalas gadis itu dengan cengiran. Aku berdecak. "Baiklah—kau pasti menginginkan sesuatu sebagai gantinya."

Gadis itu mengacungkan dua jari tangannya. "Jadi budakku selama dua minggu—"

"Kelamaan!"

"Dua puluh hari?"

"Itu malah lebih lama dari yang sebelumnya!"

Naya bersandar ke belakang. Padahal kursi ini tidak punya sandaran, tetapi ada anak kelas 11 di belakangnya yang bersedia memundurkan kursi dan meminjami punggungnya sendiri untuk disandari oleh gadis itu.

Sementara gadis itu tampak berpikir, Nate menyenggolku dengan sikunya. "Rowan, kau masokhis, ya?"

"Ha?"

Nate berbisik-bisik. "Aku paham kalau Naya enak dilihat—separuh kelas kami sempat naksir juga padanya. Tapi semuanya mundur karena ... yah, tahulah, cerita-cerita seram yang mengiringi cewek ini lebih dari cukup untuk mengisi satu season baru serial American Horror Story."

Aku bergidik secara spontan dan balas berbisik, "Aku tidak naksir cewek ini!"

"Masa?" Hansen melongok dari balik bahu Nate. "Kukira, kalian malah sudah pacaran. Kau terus-terusan menempel padanya."

Aku mengusap tengkuk karena rasanya seluruh anak rambutku barusan berjoget. "Justru karena aku menempel padanya—makin banyak alasanku untuk tidak pacaran sama cewek ini. Kalian tidak tahu neraka macam apa yang kualami belakangan!"

Hansen dan Nate berpandangan, lalu dengan kompak berucap, "Kau masokhis, Rowan."

"Berengsek kalian—"

Naya menepuk-nepuk meja dan kembali menegakkan dirinya. Kakak kelas yang meminjami punggungnya tampak melirik ke arah gadis itu dengan kecewa (nah, itu baru masokhis).

"Malam ini," kata gadis itu seraya berdiri dari kursinya. Jari-jari tangannya yang lentik menudingku. "Datang ke kamarku."

Lalu, gadis itu pergi. Aku bisa merasakan tatapan Nate dan Hansen, iba sekaligus menghakimi.

***

Pertama, kami tidak melakukan yang aneh-aneh. Maksudku, perbuatan Naya pasti aneh-aneh. Aku tidak. Aku di sini hanya diseret oleh kewajiban klub majalah sekolah dan kepribadian Naya yang melenceng.

Kedua, kami sungguh tidak melakukan apa-apa selain memantau kamar Sophia. Karena kamar Naya dan Sophia sejajar dan terpisah beberapa kamar, kami hanya perlu menongkrong di lorong depan kamar Naya untuk mendapatkan sudut pandang yang pas.

"Kau bawa kamera?" tanya Naya.

Aku mengeluarkan ponselku. Meski ponsel seharusnya disita di hari sekolah, beberapa anak biasanya punya ponsel cadangan, ponsel umpan, ponsel asli, dan ponsel cadangan untuk cadangan. Tak terkecuali aku.

Yah, kalau yang ini ketahuan lagi, ini bakal jadi ponselku yang kesepuluh yang disita bulan ini. Dan belakangan, makin susah menyelundupkan barang-barang masuk ke Pulau Circian—kapal pengantaran yang biasanya berlabuh mulai mengurangi muatannya, dan koneksiku di kapal itu mulai bertingkah. Tega, memang. Dia terus menaikkan jumlah duit pelicin. Aku, 'kan, cuma anak SMA.

"Kapan kau akan cerita alasanmu dikirim kemari?" tanyaku.

"Setelah kau melakukan tugasmu malam ini."

"Tugas?"

Kemudian, aku teringat masalah Sophia—Damian, ketua kelas 10-4, melakukan tindakan biadab dengan mengawasi gadis malang itu tidur tiap malam. Menurut Naya, Sophia sendiri tidak menyadari dia punya stalker dan malah menyalahkan Annalise, bonekanya yang sudah dibakar Naya tempo hari untuk melenyapkan hantu sumur.

"Kau mau memergoki Damian agar Sophia berutang budi padamu, ya?" tuduhku.

"Rowan," desah gadis itu dengan wajah sedih. Aku tahu pasti itu ekspresi palsu. "Kau selalu mengharapkan yang terburuk dariku. Itu menyakiti hatiku."

"Kau menjadikan hantu-hantu budakmu, tentu saja aku selalu mengasumsikan hal-hal buruk," kataku, lalu teringat beberapa hantu korban sumur itu pun sudah jadi budaknya juga sekarang.

Mereka ... tidak berkeliaran di sini, 'kan? Apakah ada yang sedang berjalan menembus-nembus badanku sekarang? Kugelengkan kepalaku untuk melenyapkan pemikiran berat itu.

"Bagaimana denganmu?" tanyanya mendadak.

"Apa?"

Mata Naya masih mengawasi pintu kamar Sophia. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Kenapa kau dikirim ke sekolah ini?"

Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku dan bersandar di sebelahnya. "Entahlah. Ibuku yang mengurus kepindahanku ke sini. Kurasa, dia tidak butuh alasan buat itu."

"Tapi pasti ada satu kejadian pemicunya," kata gadis itu lagi. "Dari sekian banyak alasan, pasti ada satu yang orang tua gunakan buat menyingkirkan anaknya ke lubang neraka ini supaya mereka tidak terlihat buruk-buruk amat."

"Seekor ayam bisa saja buang hajat di sepatu ibuku, dan dia tetap bakal menemukan cara untuk menyalahkanku."

Naya kali ini menatapku dan mengangkat sebelah alisnya. "Kau pelihara ayam?"

Aku mendesah. "Kuharap iya. Ayam pasti lebih asyik daripada kucing. Aku punya dua kucing peliharaan—mereka bikin aku miskin. Mereka tidak bertelur kayak ayam, tidak laku dijual, dan kerjaannya hanya tidur atau makan. Tapi cuma mereka temanku di rumah. Jadi, suatu hari ibuku lupa mengirimiku uang bulanan dan tabunganku sudah habis dikuras ayahku buat beli miras. Singkat cerita, aku mengambil beberapa barang dari supermarket tanpa membayarnya."

Naya mengangkat alisnya tinggi sekali. Sepertinya dia juga tidak menyangka aku punya tampang maling.

"Tidak banyak, kok." Aku melanjutkan. "Cuma beberapa kaleng makanan kucing dan camilan buat diriku sendiri. Oh, dan juga charger baru, lalu sekalian saja aku ambil casing HP yang dipajang—pola tengkoraknya keren banget."

"Ketahuan?"

"Jelas saja. Maksudku, separuh diriku waktu itu memang menginginkan perbuatanku ketahuan. Waktu mereka memanggil polisi, lalu menanyai kontak orang tuaku, pikiran pertamaku adalah: Yes, mampus kau, Ma!"

Naya berdecak dan tangannya menepuk-nepuk lenganku dengan simpati. "Tapi, ibumu tidak mampus?"

"Tidak. Dia menemukan cara untuk menyelamatkan mukanya. Dia bikin alasan-alasan aneh bahwa aku ini kelainan jiwa dan sebagainya, lalu mengirimku ke sini."

Naya masih menepuk-nepuk lenganku saat kami mendengar suara langkah kaki dari tangga. Aku hampir menoleh ketika gadis itu langsung menarikku ke arahnya. Dia berbisik singkat, "Ini dia—Damian datang. Pura-pura jadi pacarku lagi, Rowan."

Datang dengan kasual lewat tangga? Tidak lewat jendela? Namun, aku tidak sempat memikirkannya lebih jauh karena Naya menarik leherku dan menciumku di bibir.

Aku menahan napas.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga ....

Ketika akal sehatku kembali dan aku ingat untuk bernapas, aku mencoba menarik diri, tetapi Naya mencengkramku dengan erat dan matanya terpejam dan wangi parfum gadis ini seperti citrus dan kudapati diriku memejamkan mata—

Ikut menikmatinya.

Wangi citrus ternyata enak.

Dan Naya ternyata kecil sekali. Dia bahkan berjinjit meski aku sudah membungkuk ke arahnya.

Kukunya tajam, tetapi tangannya lembut.

Lalu, gadis itu melepaskanku. Pikiran pertamaku adalah: Lho, sudah?

"Damian masuk ke kamar Marry," kata gadis itu.

Responsku cuma: "Ha? Eh, uh."

"Damian pacaran dengan Marry. Kau tahu kenapa? Karena kamar Marry di sebelah kamar Sophia."

Lagi-lagi, responsku cuma: "Ha? Eh, uh."

"Tunggu sampai beberapa jam lagi, cowok itu bakal memanjati jendela Sophia lewat jendela kamar Marry."

"Ha? Eh, uh."

"Saat itu, kau mesti ambil fotonya dan ancam dia kau bakal memuatnya di majalah sekolah."

Naya menarik tanganku, tetapi aku berkelit. Lama dia memandangiku dan aku menatap tanganku sendiri.

Kemudian, aku meninju pipiku sendiri.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Naya, campuran antara kebingungan dan geli.

"Meninju wajahku."

Kali ini, hanya ada kebingungan di matanya. "Kenapa?"

"Supaya aku tidak meninjumu."

***

Rachel, teman sekamar Naya, sudah pura-pura tidur lagi. Dia bergelung menghadap tembok di atas tempat tidurnya dengan selimut sampai leher, tetapi aku bisa melihatnya berkedut kaget saat mendengarku suaraku.

Saat kami melongok lewat jendela, Damian sedang bergelantungan pada selasar sempit dan berusaha menempelkan wajahnya ke kaca jendela kamar Sophia. Dilihat dari cahayanya, Sophia tidak menutup tirainya.

Buru-buru kuambil fotonya.

Blitz-nya lupa kumatikan.

Wah, sial.

Naya dan aku langsung menarik diri dari jendela, tetapi tentu saja Damian memergoki kami. Tak lama kemudian, laki-laki itu mengetuk pintu kamar ini dan memanggil dengan suara lembut, "Naya? Rachel? Kalian sudah tidur? Bisa buka pintunya? Kurasa, ada kesalahpahaman di sini."

Dia tidak sempat melihatmu—Naya berbisik tanpa suara. Kusadari dia benar. Barangkali Damian hanya menyadari blitz kamera ke arahnya, melihat kelebatan sosok, dan menghitung jendela ke kamar Naya.

Rachel menarik selimutnya sampai telinga dan tampak betul-betul gemetar ketakutan.

"Jangan biarkan dia tahu fotonya di ponselmu." Naya mendorongku ke arah toiletnya, lalu menutup pintu di depanku. Kubuka kembali pintu toiletnya, menyisakan sedikit celah untukku mengintip.

Naya tengah memaksa Rachel menaikkan selimutnya sampai kepala, menutupi tubuh teman sekamarnya seluruhnya. Saat melihatku, Naya memberi isyarat ke arah ponselku, kemudian menempelkan satu jari ke bibir. Bibir yang tadi kucium ....

Kutinju mukaku sekali lagi.

"Damian," kata Naya riang saat membuka pintu, "apa yang membawamu malam-malam ke sini? Penjaga asrama mengizinkanmu masuk?"

"Tadi aku melihat Rowan di lorong." Damian berkata seraya masuk ke kamar begitu saja.

"Oh, Rowan sudah kembali ke kamarnya."

"Hanya ada kau dan Rachel di sini?"

"Rachel juga tidak ada. Dia mungkin tidur di kamar teman sekelasnya. Cuma ada aku—"

Aku membeku saat Damian mengangkat tangannya dan menghantam pipi Naya.

"Mana fotonya, Jalang?" Damian bertanya seraya mengibas-ibaskan tangannya. Di depannya, Naya tertunduk dengan rambut menutupi separuh wajahnya sehingga aku tidak bisa melihatnya. Tangan Damian bergerak menepuk-nepuk pinggang dan celana Naya. "Kau mengambil fotoku, 'kan? Berikan HP-mu."

"Ponselku disita."

Damian kembali mengangkat tangannya, dan aku tidak bisa menahan diriku lagi. Aku keluar dari toilet dengan membanting pintu sampai terbuka dan mendorong Damian ke tembok. Rachel meloncat keluar dari selimutnya sambil terisak-isak dan berlari ke arah Naya.

"Fotonya sudah kukirim ke Ezra!" Kudaratkan satu bogem ke sisi kanan wajahnya. Aku menindih Damian dengan kaki, lalu meninju sisi kiri wajahnya biar pas. "Kau tamat besok, berengsek! Perbuatanmu bakal jadi berita utama!"

Kurasakan tangan Naya di bahuku, lalu kudengar suaranya. "Rowan—"

"Jangan hentikan aku!"

Namun, Naya justru menyodoriku sebuah tongkat kasti dengan tulisan Punya Rachel tercetak di gagangnya. Aku pun teringat Rachel sempat jadi anak klub olahraga. "Maksudku, pakai ini. Supaya tanganmu tidak sakit."

***

Tanganku sakit. Damian anak blangsak. Dia ternyata punya tindik dan buku-buku jariku berdarah karenanya. Namun, dia sudah kabur. Dan aku ragu dia bakal menampakkan mukanya lagi di depan kami.

Rachel pura-pura ke toilet dan menangis lumayan lama. Gadis itu muntah-muntah juga di dalam sana karena syok. Sedangkan Naya tidak tampak trauma sama sekali, hanya ada bekas merah di pipinya.

"Sebetulnya, kau tidak perlu keluar tadi." Naya berkacak pinggang seraya memelototiku. "Kau seharusnya mengambil fotonya saat dia memukulku. Kau juga seharusnya tidak perlu mengatakan fotonya sudah dikirim ke Ezra—sekarang kita tak ada pilihan selain menjalankan beritanya."

Aku mengernyit sambil masih menempelkan tisu pada tanganku yang terluka. "Kau tidak berniat mengeksposnya sejak awal?"

"Tidak. Kartu as mesti disimpan. Itu bakal jadi bahan ancaman yang bagus. Dia tidak bakal berani mendekati Sophia lagi dan aku bakalan punya budak baru." Naya menggeleng sedih. "Rowan, kau butuh diajari cara mem-blackmail orang."

Kulemparkan tisu bekas darahku ke bak sampah, tetapi kemudian kupungut lagi karena terbayang Naya bisa menyantetku pakai itu. "Jadi? Alasanmu masuk ke sekolah ini?"

Gadis itu mendesah. "Masalah sepele."

"Pembunuhan berencana?"

"Bukan. Kunci mobil."

Lalu, dia bercerita tentang rekan kerja ayahnya yang kaya dan dibuntuti banyak sekali hantu. Tentang kunci mobil. Juga tentang insiden sepele itu.

Yah ... memang sepele kalau dibandingkan dengan cerita sebagian besar anak di sekolah ini. Orang tua Naya terdengar hampir sama payahnya dengan orang tuaku.

Begitu aku kembali ke kamar asramaku sendiri, aku langsung membuka laptop untuk membuat banyak salinan foto Damian. Aku membuat beritanya untuk jaga-jaga, tetapi entah cerita itu kujalankan atau tidak akan kuputuskan besok saja.

Lalu, aku mulai mengerjakan cerita tentang Naya.

Rowan, kau masokhis, ya?

Aku memelototi layar laptop. Tidak—aku tidak mungkin masokhis.

Jadi, kenapa aku terus-terusan terbayang Naya sejak tadi? Kejadian di lorong, di kamarnya, dan saat gadis itu bercerita tentang alasannya dikirim kemari sambil memainkan ujung karpet dengan kakinya ....

Aku mengacak-acak rambut dengan jengkel. Mustahil—aku tidak mungkin naksir Naya.

Ini cuma gara-gara satu ciuman tadi! Padahal itu cuma pura-pura—sadarlah, Rowan! Kau bukan masokhis, dan hidupmu bakal hancur kalau jatuh hati pada cewek seperti itu!

Ciuman tadi bukan apa-apa! Hanya pura-pura ....

Apakah barusan aku merasa sedih karena itu pura-pura?

Aku menghantamkan jidat ke tembok sampai teman sekamarku terbangun, tetapi dia langsung tidur lagi setelah menggeram jengkel ke arahku.

Lupakan. Ayo, Rowan, kau laku, kok. Ada dua orang kakak kelas yang naksir padamu dan satu anak cewek di kelas 10-2 yang sering curi-curi pandang ke arahmu—kau tidak seputus asa itu untuk memacari Naya. Dia menyimpan jari mayat di tasnya!

Dan dia juga menciummu.

Sebelum akal sehatku melayang, kukerjakan saja tugasku dan membuat cerita tentang alasan Naya dikirim ke sekolah ini.

Kunci mobil ... ini terlalu sepele untuk gadis semacam Naya.

Kupejamkan mataku dan berpikir sebentar, lalu menghapus semuanya dan mengulang dari awal. Kudapati diriku terkekeh sendiri sepanjang mengetik. Aku pasti sudah gila.

Hah ... Naya.

***

"Bagaimana? Cowok yang kemarin lumayan imut, 'kan?"

"Tidak sama sekali. Cowok yang kau kenalkan waktu itu—dia pembunuh bayaran. Dia mencoba membunuhku dua kali."

"Tapi, tetap imut, 'kan?"

"Naya, berhenti mencoba menjebakku. Tidak akan berhasil."

Dan begitulah cara seorang Naya dikirim ke sekolah ini. Gadis itu mencoba membunuh temannya sendiri.

:.:.:

"We start believing that we belong

But every sun doesn't rise

And no one tells you where you went wrong."

Waving Through A Window,
song by Tori Kelly
Originally by Ben Platt

Doakan saya masih hidup sampai 1 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 28 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro