28 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 28 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah tulisan yang diawali dengan kalimat: "Kegiatanku hari ini ditutup dengan ...."

|| 1554 Words ||

|| Indigenous - Cerita Lepas ||

Kegiatanku hari ini ditutup dengan menutup kegiatan hari ini.

Sebenarnya aku hampir tidak punya kegiatan seharian, jadi aku sendiri tidak yakin apa sebenarnya yang kututup.

Ini akhir tahun. 31 Desember 2005. Ulang tahunku yang ke-16.

Seharian ini aku hanya tidur dan hampir tidak keluar kamar kecuali untuk ke toilet atau makan. Reward, kata Mama, karena sudah menunjukkan banyak perubahan selama setahun belakangan.

Perubahan yang, jujur saja, menguras tenaga sejibun dan hampir menyedot nyawa sampai lepas dari ubun-ubun.

Sudah setahun belakangan ini aku memang mencoba berfungsi normal dalam bersosialisasi. Aku tidak bolos persami, cuma dua kali absen dalam kegiatan pramuka, berpartisipasi penuh saat bulan bahasa, hadir sepenuhnya saat Pekan Kesenian Sekolah, ikut sesi terapi yang direkomendasikan orang tuanya Safir, dan akhirnya benar-benar menghafal nama seluruh teman-teman sekelasku.

Aku bahkan tidak tahu dan tidak ingat alasan aku melakukannya.

Rasanya, aku punya suatu janji ke Safir, entah apa. Safir sendiri tidak ingat jelas bagaimana terjadinya, tetapi dia tidak pernah lupa bahwa aku memang pernah berjanji bakal membaur dengan benar di sekolah.

Rasanya ada sesuatu yang terjadi Desember tahun lalu ....

Sesuatu yang besar—aku yakin itu.

Namun, aku tidak bisa mengingatnya!

Mama bilang, kepalaku membuat cedera keramik lantai kamar tahun lalu, tetapi aku yakin bukan kejadian itu yang kumaksud.

Magenta bilang, aku nembak Abu. Aku bertanya pakai apa—pistol atau anak panah beracun. Namun, sekali lagi, aku yakin bukan kejadian macam itu juga yang kulupakan hingga hari ini.

Anehnya, saat aku bertanya pada Grey, dia selalu menghindar.

Satu kali, aku mencoba mengambil tangga untuk menaiki loteng kamarku. Karena, setiap hendak mengingat apa yang terjadi Desember tahun lalu, hatiku selalu tergoda ke atas sana—seolah-olah ada yang memanggilku. Lalu, Grey menangkap basah apa yang hendak kulakukan. Anak itu langsung tantrum, menangis di lantai kamarku sampai bergulingan dan menyepaki barang-barangku—padahal seharusnya dia sudah berhenti tantrum sejak dua tahun yang lalu. Akhirnya, aku batal melihat ke loteng, dan ide itu kembali terlupakan.

Malam ini, ketika berbaring telentang tanpa banyak hal memenuhi pikiran, mataku kembali terpaut ke sepetak plafon yang berbeda warna dan celah kecil yang menjadi pintu tingkap menuju loteng. Terpikir olehku untuk mengambil tangga, tetapi rasanya malas gerak.

Memang, apa pula yang ada di atas sana? Apakah aku menyimpan sesuatu yang bisa bikin aku teringat kejadian Desember lalu? Aku tidak ingat pernah menyimpan—

Oh ... bukan aku. Grey yang menyimpannya. Kalau tidak salah, sejak dia dan Mama naik ke atas sana untuk menaruh sisa barang-barang peninggalan mendiang Ayah, juga buku-buku bekasku, pintu loteng itu tak pernah lagi dibuka.

Aku turun dari ranjang dan berjalan ke arah meja belajar. Mataku menelusuri tiap jengkal rak dan lemari, berusaha mengingat buku apa yang tidak ada di sana.

Atau ... mungkin bukan buku. Mungkin kertas-kertas, berisi tulisanku. Aku dulu memang menulis, tetapi entah kenapa aku berhenti.

Kuraih kertas dan pena, lalu mencoba memulai menulis lagi karena aku ingin kembali mengingat rasa dan sensasinya. Namun, ujung penaku tidak bergerak. Tidak ada yang bisa kuguratkan di atas kertas. Tidak ada satu kata pun di kepalaku yang rasa pantas untuk dituliskan. Inikah yang dinamakan writer's block?

Bagaimana caranya aku melakukan ini dulu?

"Kak Nila! Ayo main petasan!" Grey berteriak dari luar kamarku. Suara larinya terdengar mendekat. "Ayo makan jagung bakar di luar!"

Lalu, dia terhenti di ambang pintu kamarku. Matanya melihat pena di tanganku.

"Aku sibuk, Grey," kataku. "Habis ini harus sikat gigi dan tidur—jadwalku padat. Enggak punya waktu buat main jagung bakar atau makan petasan."

Matanya masih terarah ke kertas dan pena di atas meja. "Enggak boleh ...."

"Eh, waktu malam itu memang buat tidur! Makan petasan itu bukan budaya kita—"

"Enggak boleh!" teriaknya ngotot. Matanya akhirnya balas menatapku. "K-kak Nila, 'kan, sudah dikasih tahu ... kebanyakan tidur itu bisa jadi tanda deflasi."

"Depresi," ralatku. Lalu alisku bertaut. "Eh, tahu dari mana kamu?! Apa yang terjadi selama terapi, 'kan, enggak boleh bocor ke siapa pun—Grey!"

Namun, dia keburu kabur.

Kusimpan lagi kertas dan penaku. Aku terbirit-birit ke kamar mandi dan sikat gigi, lalu berganti piama. Aku harus segera tidur sebelum Grey ke sebelah dan memanggil pawang—

"NILA!" Magenta memanggil dari luar pagar seperti mengajak tawuran. "KELUAR, NIL! AYO KITA MAKAN PETASAN!"

"Main petasan," ralat Mama di luar. "Dan makan jagung bakar. Tante juga beli ubi, lho."

"ASYIK, NIL! KELUAR KAU!"

Sudah kuduga. Grey belakangan ini punya senjata baru—dia selalu ke sebelah memanggil Magenta saat aku menolak pergi keluar atau membelikannya sesuatu.

Aku pura-pura tidak mendengar dan menarik selimut sampai kepala, tetapi Magenta mengeluarkan jurus pamungkas, "HALO? SAFIR? IYA, FIR, JAGUNG SAMA UBI! BAWA ZAMRUD, YA, FIR! AWAS KAU KALAU NGAJAK ABU!"

Aku langsung melompat turun dan berlari keluar. Niatku bulat sebulat-bulatnya untuk berkelahi dengannya malam ini juga, di pelataran, karena ini sudah kelewatan. Namun, saat aku mencapai pintu, kulihat Magenta berdiri sambil membentuk tangannya seperti telepon—ibu jari di telinga, kelingking dekat bibir.

Benar juga. Dia juga belum punya ponsel.

"Kututup, ya, Fir," katanya, masih berlagak menelepon, kemudian memasukkan ponsel imajiner itu ke saku jaket.

"Penipu," tudingku.

"Enggak, kok." Magenta.menunjuk ke arah pintu di belakangku. "Barusan kamu selisihan sama adikmu, 'kan? Dia, tuh, ke dalam buat menelepon Safir betulan."

"Anj—" Mataku menemukan mata Mama yang memelotot. Terpaksa aku pindah haluan ke lagu India, "—jani hai ... sapna hai, sach hai kahani hai ..." sambil berlari ke arah Magenta dengan tangan terentang, berusaha mencekiknya, yang malah disambutnya sebagai pegangan tangan. Magenta mengajakku menari berputar sementara dia melanjutkan lirik lagu bagian penyanyi wanitanya.

***

Sementara aku mengambek ke dalam kamar, teman-temanku berpesta di pelataran. Safir sungguhan datang membawa Zamrud sejam yang lalu, diikuti Abu—kelihatannya rumah mereka searah, jadi mereka berpapasan di jalan saat Abu beli petasan.

Magenta dan Grey terbahak-bahak di pelataran, entah membicarakan apa.

Aroma jagung bakar masuk lewat jendela kamarku yang terbuka. Mama pasti sengaja mengipasi arah asapnya sampai sini.

Kudengar suara Safir dan Abu juga, berkelahi masalah petasan—Abu pingin meluncurkan kembang api paling besar yang berpotensi menyebabkan kebakaran, mumpung bukan di rumahnya sendiri, ujarnya. Safir berusaha menghentikannya dengan merapal aturan perundang-undangan pelarangan petasan dan mercon, serta dalil-dalil agama yang mengharamkannya.

Sementara Zamrud menyembulkan wajah dan kepalanya lewat celah terali jendela kamarku seperti penguntit maniak, meski aku tahu maksudnya tidak jahat. Dia masih berusaha membujukku keluar. "Nila, ayo kita makan jagung bakar. Aku bawa daging juga, lho."

Kulap liurku dari bawah selimut. Zamrud tahu benar cara menggodaku. Namun, aku tidak mau menyerah.

Apakah tidak cukup aku dicemplungkan ke lautan manusia tiap siang?

Apakah aku tidak bisa dapat ketenangan di hari ulang tahunku sendiri?

Apakah mereka tidak peduli—

"Ini, 'kan, hari ulang tahunmu, Nila." Zamrud berkata lagi. "Ulang tahun sendirian dalam kamar ... 'kan sedih. Waktu aku ulang tahun kemarin, yang ingat cuma Magenta, lho. Itu pun dia cuma bisa mengucapkan lewat telepon. Orang tuaku juga cuma bisa mengirim hadiah lewat pos. Kamu beruntung, lho, Nila—adikmu sampai menelepon kami semua demi merayakan hari ini."

Aku menyibak selimut dan menatapnya. "Tanggal berapa?"

"Hah?"

"Kamu ulang tahunnya tanggal berapa?"

"Eh, aku cerita begini cuma supaya kamu keluar, kok. Bukan buat minta diingat atau dirayakan atau menyalahkanmu karena enggak tahu—"

"Aku keluar sekarang kalau kamu bilang tanggal ulang tahunmu."

"27 Maret," jawabnya.

"Oke." Aku menghampiri meja dan mencatatnya di kertas. "Ya sudah sana. Tunggu, aku ganti baju sebentar."

"Nila," kata Zamrud lagi. Wajahnya ketakutan di celah terali dan nada suaranya berubah serius. "Tolong, aku nyangkut."

***

Setelah Zamrud berhasil ditarik oleh Safir dan Abu, aku ke toilet buat ganti baju, lalu ke kamar lagi buat ambil jaket. Kutatap meja belajarku, di mana kertas kosong yang tadi masih putih bersih dan tidak bisa kuisi sama sekali sekeras apa pun aku mencoba, kini terdapat tulisan: ULTAH ZAMRUD, 27 MARET.

Aku duduk lagi di depan meja, mengambil pena sekali lagi, berusaha mengingat rasanya menuliskan kata-kata dengan lancar seperti dulu.

Masih tidak bisa.

Kemudian, tanggal ulang tahun Zamrud menjerat mataku lagi.

Akhirnya, di bawahnya kutuliskan nama Magenta, lalu Safir, lalu nama-nama lain di kelasku. Bahkan Abu. Dalam hati, aku berniat mencari tahu tanggal ulang tahun mereka nanti.

"NILA, AYO!" Suara Magenta menyaingi ledakan petasan. "JAGUNGMU DIMAKAN ABU!"

"FITNAH, BANGS—" Sepertinya mulut Abu ditutupi Safir karena aku bisa mendengar desisan cowok itu di sela teriakan Abu yang diinterupsi. "JATAH JAGUNGKU SAJA KAU YANG MAKAN!"

Duh, malas gerak. Padahal, begitu semua nama teman sekelas kutulis, aku mulai merasa jari-jari tanganku jadi relaks. Aku merasa bisa menuliskan beberapa kata lagi sampai jadi kalimat—sampai jadi paragraf, kalau bisa.

"Kak Nila?" Kali ini suara Grey. "Ayo keluar!"

Rasanya aku tergoda buat mengabaikan mereka di luar sana. Rasanya aku tergoda menutup telinga dan diriku lagi. Aku tahu, kalau malam ini aku mengabaikan mereka, meski niatnya cuma untuk semalam, pasti bakal keterusan. Lalu, aku bakal balik jadi Nila setahun yang lalu, dan mereka akan menyerah menyeretku keluar suatu hari.

Kutatap atap kamarku, lotengku ... dan entah kenapa wajah mendiang pamanku membayang di sudut ingatan. Suaranya dari masa lalu sayup-sayup terdengar: Waktu Paman sudah habis.

Namun, tidak dengan waktuku. Waktuku belum habis. Untuk malam ini ....

Mungkin suatu hari aku akan kembali jadi Nila yang itu. Mungkin suatu hari umur mentalku akan kembali menyusut. Mungkin suatu hari aku akan tersesat lagi, atau hilang sekalian. Namun, untuk malam ini ... untuk kali ini saja—

Kuselipkan kertas-kertas itu ke dalam buku.

Kuletakkan penaku di meja.

Kututup jendelaku dan tirainya.

Untuk saat ini saja, aku berlari keluar untuk bergabung bersama yang lainnya. Untuk momen ini saja, aku berusaha hidup di antara mereka.

Katanya hari ini terakhir ._.

Nda tau maksudnya apaan. Jadi ....

Next>>> ?

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro