28 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 28 || 1833 words ||

| Buat cerita dengan latar revolusi industri di Inggris |

| Historical fiction, Tragedy |
|| Buruh, Mesin, dan Borjuis ||

Biasanya pada jam-jam ini Maurice sedang mendorong sekereta penuh batu bara. Namun, dia tidak bisa ke tambang hari ini, bukan gara-gara kakinya telah kutung sebelah, melainkan karena dia sudah dipecat. Tentu saja pemecatan itu disebabkan kecacatannya sekarang, tetapi Maurice sebenarnya telah menyanggupi untuk tetap bekerja 12 jam sehari di tambang batu bara hanya dengan satu kaki. Orang yang menggajinya tidak sependapat.

Maka, dia menyusuri emperan jalan dengan tongkatnya hari itu. Dia sudah setengah jalan menuju pabrik tekstil tempat adik perempuannya bekerja, karena sang ibu menyuruhnya menjemput Louisa yang sebentar lagi jam kerjanya usai, ketika dia melewati seorang pria muda yang tampak kebingungan.

"Anda tersesat?" Maurice bertanya, membuat si pria muda agak terkejut.

"Ya ..." jawab orang itu ragu-ragu. Dia memakai pakaian bagus, bicara dalam aksen asing, dan jelas tidak sadar dia berada di tengah kawasan industri. Matanya membelalak saat Maurice memberitahunya bahwa semua bangunan yang baru dilewatinya adalah pabrik. Wilayah pertokoan dan hotel yang dia cari berada di sisi lain kota.

Setelah Maurice memberinya petunjuk arah yang benar, Oscar—nama turis itu—menunjuk salah satu bar dan menawarinya segelas bir untuk berterima kasih.

Maurice mempertimbangkan apakah dia harus menolak atau menerimanya karena Louisa mungkin sudah ingin pulang sekarang. Kalau dia tak ada di sana untuk menjemput adiknya, bisa-bisa jam kerja adiknya ditambah satu atau dua jam lagi karena Louisa tak pernah bisa berkata 'tidak'.

Maurice melirik bar itu, yang pernah dimasukinya tiga atau empat kali saat dia masih memiliki sisa uang berlebih. Sekarang, tanpa pekerjaan, dia mustahil bisa ke sana. Maurice putuskan adiknya masih bisa menunggu sejam lagi saja.

"Pamanku pemilik toko baju ini." Oscar memulai obrolan saat mereka berdua duduk menghadapi gelas masing-masing. Tangannya memegangi potret sebuah toko yang tadi diperlihatkannya pada Maurice. "Kau bisa datang nanti dan akan kuberi potongan harga."

Bahkan meski harga baju-baju itu dipotong lebih dari setengahnya, Maurice tahu dia tetap takkan bisa membelinya.

"Pamanku ingin mewariskan tempat itu untukku. Mulanya aku tidak mau. Kau tahu, ibuku dulu pembuat baju. Dia dan empat saudaranya biasa menenun dan mewarnai kain sendiri sejak mereka muda. Satu kali, aku melihatnya membuat pemutih pakaian dari urin—dia bilang ammonia-nya penting atau apalah. Jadi, aku selalu menjauhi ruang kerjanya dan paman-pamanku. Sekarang,"—Oscar meneguk minumannya hingga tandas—"ah, mereka menemukan bahan yang lebih baik. Aku juga tidak tahu apa itu sulfuric acid, tapi pasti lebih baik daripada air kencing. Jadi, kurasa oke saja kalau aku ikut berbisnis tekstil."

Oscar melirik tongkat bantu jalan Maurice sekilas, lalu ke sebelah kakinya yang tidak ada—digantikan ikatan kain celana sampai lutut. Kelihatannya pria itu penasaran, tetapi sungkan bertanya. Jadi, Maurice memberinya jawaban lebih dulu, "Ini? Ini gara-gara kecelakaan kerja."

"Pekerjaan macam apa? Kelihatannya kau terlalu muda untuk mendaftar jadi prajurit—"

"Ini bukan luka akibat perang," sanggah Maurice. "Aku bekerja di tambang batu bara—setidaknya sampai aku dipecat beberapa waktu lalu."

Oscar mengangkat alisnya. Dia lantas memandang sekeliling. Gumamannya rendah, nyaris tak terdengar oleh Maurice, "Begitu. Aku salah mengira saat pertama masuk ke lingkungan ini." Oscar kembali menatap Maurice. "Kukira, orang-orang yang berkeliaran di sini mantan prajurit yang baru pulang dari medan perang, tapi mereka jelas kelihatan terlalu muda. Malah, kalau aku melihat mereka di jalan lain, aku bisa saja mengira mereka masih anak-anak."

Maurice mengernyit mendengar itu. "Memang anak-anak."

Oscar membuka mulutnya terkejut. Dia sepertinya hendak memekikkan sesuatu ketika seseorang lewat di belakangnya dan menabrak punggungnya. Orang itu menyumpahi Oscar, lantas berlalu menuju pintu saat pemilik bar menghardiknya.

"Yang barusan kelihatan mabuk parah itu,"—Oscar menunjuk anak yang menabraknya tadi, masih berusaha menarik pintu keluar, tak sadar pintunya harus didorong—"umurnya tak mungkin lebih dari 10 tahun—"

"Itu cuma Percival," imbuh Maurice, "dan dia 6 tahun."

Oscar sontak berdiri dari kursinya. "E, enam—?"

"Dia hanya stres dan kelelahan."

Oscar menganga. "Kelelahan dari apa tepatnya? Dia cuma bocah 6 tahun."

"Yang bekerja 14 jam sehari di tambang." Maurice mengangkat bahunya. "Kurasa, dia baru bisa pulang setelah semalaman tertahan di tambang, makanya mampir ke sini. Sejak kecelakaan itu, bukan aku saja yang kena. Ada pekerja lain juga yang terluka—jadi kurangnya pekerja pasti membuat jam kerja mereka ditambah sampai anak-anak baru datang."

Sorot mata Oscar berubah, dari yang tadinya dipenuhi binar tertarik dan penasaran, kini dipenuhi rasa ngeri. Oscar kembali terduduk. "Tadi kau bilang kau juga bekerja di tambang?"

"Ya." Maurice mencoba menghabiskan minumannya, tetapi susah sekali untuk sekadar meminum setengahnya karena Oscar terus-terusan mengajaknya bicara. "Adikku di pabrik tekstil—barangkali memproduksi apa yang nantinya bakal kau jual."

"Tidakkah kau mendapat dispensasi untuk ..."—Oscar melirik kaki Maurice lagi—"lukamu?"

Maurice menelengkan kepalanya. "Apa?"

"Dispensasi—bantuan medis?" Oscar menggaruk kepalanya. "Ganti rugi kecelakaan? Tidakkah saat kalian bekerja kalian memakai pakaian atau peralatan khusus? Atau, apakah kalian dapat pelatihan keamanan kerja sebelum memulai?"

Maurice mengernyit. "Kami bisa dapat itu?"

Oscar membuka mulutnya, tetapi tampak kehilangan kata-kata. Maurice gunakan jeda itu untuk menandaskan tiga perempat gelas minumannya.

"Tapi kalian pasti dibayar, 'kan?" Oscar bertanya lagi. Nadanya yang penuh pengharapan mengingatkan Maurice akan adik perempuannya, yang mengira gaji kakaknya sebagai penambang batu bara bisa membelikannya baju baru dalam beberapa hari.

Maurice ingat kekecewaan yang terpatri di wajah adiknya saat gaji mereka disatukan sekalipun masih kurang untuk membantu ibu mereka membeli kebutuhan dapur.

"Dibayar," jawab Maurice singkat, ragu-ragu apakah dia harus memberi detail atau tidak. Dia kemudian berdecak. "Tapi bayaranku tidak sebesar orang dewasa. Ayahku dibayar 10 kali lipat untuk pekerjaan yang sama."

"Di mana ayahmu sekarang?"

"Sudah mati. Mayatnya masih di dalam tambang—tidak tahu di bagian mananya."

"Tunggu dulu!" Oscar berdiri lagi. "Berapa umurmu sebetulnya?"

"Bulan depan 10 tahun."

Maurice baru menempelkan bibirnya lagi ke ujung gelas saat Oscar merebut gelas bir itu, lalu menghabiskannya sendiri.

"Biar kuganti pakai permen di toko seberang jalan," kata Oscar seraya mengelap bibirnya. "Dan sesuatu yang manis untuk adik perempuanmu. Ayo keluar dari sini."

"Maurice," panggil Percival, yang sempoyongan masuk kembali ke dalam. Diabaikannya pemilik bar yang berusaha mengusirnya. "Maurice, tadi barusan aku berpapasan sama si yatim-piatu."

"Percival, kau juga yatim-piatu."

"Maksudku, yatim-piatu satunya. Yang bekerja bareng adikmu." Percival menghalanginya saat Maurice mencoba keluar bersama Oscar. Maurice baru akan mendorong anak itu ke samping saat Percival melanjutkan, "Si yatim-piatu menangis. Katanya, anak yang bekerja di sebelahnya masuk ke dalam mesin dan kepalanya copot."

Maurice membeku. Sosok Louisa segera membayak di benaknya. "Siapa?"

"Mana kutahu. Dia barusan pulang sambil masih terisak-isak, berusaha menceritakan ke semua orang—darah berceceran di lantai, lebih deras dari air keran di rumahnya sendiri. Gigi-gigi dan potongan jari peretelan, terlontar keluar. Mereka masih berusaha mengeluarkan tulang dan sisa daging dari dalam mesinnya."

Jangan Louisa ....

Maurice menabrak Percival, meninggalkan Oscar di dalam bar, mengabaikan panggilan orang-orang, dan berlari mati-matian menuju tempat adiknya—secepat yang bisa dilakukannya dengan satu kaki dan satu tongkat. Di belakangnya, Percival berteriak, "Ke mana kau, Maurice?! Di jalan itu masih ada kericuhan—orang-orang dewasa demo di pabrik sebelah! Berbalik arahlah sepertiku dan lari ke arah satunya! Mereka sedang menghancurkan mesin mencukur wol saat aku lewat di sebelah sana!"

Namun, Maurice tidak mendengarkan. Dia terus berlari menyusuri jalan dan berbelok menuju pabrik tempat Louisa bekerja. Dia hampir masuk ke dalam kericuhan itu saat adik perempuannya menarik tangannya yang memegangi tongkat.

"Louisa!" seru Maurice lega.

"Jangan ke sana!" pekik Louisa panik. Dia bertelanjang kaki, ujung roknya sedikit sobek dan ikat rambutnya terlepas. "Aksi protesnya makin besar—ada seseorang yang membakar alat tenun listrik dan apinya sudah ke jalan!"

Maurice melepaskan jaket peninggalan ayahnya dan membungkuskannya ke tubuh adiknya, lalu berusaha menggendongnya menjauhi jalan itu. Namun, Louisa menolak dan memaksa membantu Maurice berlari menggunakan tongkatnya.

Terseok-seok dan sempat terbawa arus orang-orang yang panik, Maurice akhirnya berhasil mencapai jalan kecil menuju rumahnya. Digenggamnya erat lengan Louisa sampai mereka dekat dengan rumah.

Di sana, ibu Maurice tersedu-sedu, ditenangkan beberapa wanita lainnya. Ada Harriet yang juga tengah duduk di depan pintu rumah mereka. Ketika melihat anak-anaknya, sang Ibu mengeluarkan raungan lega bercampur kesedihan.

"Anakku!" Sang ibu buru-buru mendekap Maurice sampai tongkatnya jatuh. "Anakku!"

"Kami baik-baik saja, Ibu ...." Maurice berusaha melepaskan diri dari dekapan itu karena malu dilihat ibu-ibu lainnya, sampai kemudian dia menyadari tangan ibunya menggenggam secarik kain berlumur darah.

Sobekan dari baju yang Louisa kenakan pagi itu.

Maurice berbalik, tetapi yang dilihatnya cuma jaket peninggalan ayahnya. Tidak ada Louisa di dalamnya. Tidak ada lengan adik perempuannya dalam genggaman tangannya.

"Tapi—" Maurice tergagap. Kakinya terasa dingin. Sekujur tubuhnya mulai bergetar. Dia pasti akan jatuh ke tanah andai ibunya tidak mendekapnya. "Tapi dia tadi bersamaku! D-dia di sini! Dia membantuku berlari ke sini! Louisa di sini! Tadi dia di sini! Aku memegangi tangannya!"

Harriet, yang Percival panggil si yatim-piatu, masih terisak-isak menatap mereka. Tangannya kemerahan, bukti dirinya membawa carikan kain baju Louisa pulang ke rumah mereka.

"Dia di sebelahku, Maurice," isak Harriet. Punggung tangannya menyeka air mata di pipinya. "Dia tepat di sebelahku. Celemeknya terjepit. Dia berusaha menariknya, tetapi bajunya ikut tersangkut. Wanita di sebelahnya berusaha merobek baju Louisa untuk melepaskannya—tapi semuanya cepat sekali. Tiba-tiba dia masuk ke dalam, sebelah badannya, lalu semuanya, dan darahnya menyembur ke lantai."

"Tapi dia di sini!" Maurice menjerit. Air matanya berjatuhan. Ibunya memeluknya lebih erat, tetapi Maurice memberontak. "Tidak! Dia bersamaku! Dia menyelamatkanku sebelum aku memasuki kerusuhan! Dia membantuku berlari! Aku membungkusnya dengan jaket Ayah! DIA DI SINI!"

Namun, separuh kesadaran Maurice telah menerima kenyataan bahwa Louisa tidak ada bersamanya. Bahwa mungkin dia hanya mabuk, mengkhayal, atau hantu adiknya memang membimbingnya pulang agar ibu mereka tak perlu jadi janda yang kehilangan dua anak sekaligus.

Di dalam kepala Maurice, sosok si turis dan dirinya sendiri terus berputar seperti rekaman rusak. Andai dia tidak meladeni Oscar. Andai dia tidak membantu Oscar. Andai dia biarkan saja turis berengsek itu tersesat selamanya. Namun, pada akhirnya Maurice sadar bahwa kesalahannya adalah menerima tawaran si turis masuk ke bar—turis yang bahkan tak menyadari di mana dirinya sendiri berada, salah mengira Maurice anak remaja, dan menyangka bahwa sekawanan buruh anak-anak adalah prajurit perang yang kehilangan sebelah tangan atau mata mereka.

Turis yang tidak tahu dari mana barang jualannya sendiri berasal—menggunakan darah dan keringat anak-anak yang bahkan tidak mampu membeli apa yang mereka buat tiap hari.

Maurice terduduk lemas di tanah, memandangi ibunya yang masih memeluknya, menangisi Louisa.

Andai dia masih punya sebelah kakinya, mungkin dia bisa berlari sedikit lebih cepat dan berada di sana sebelum Louisa memulai jam kerja tambahan.

Andai dia masih bekerja di tambang, mungkin Louisa tak perlu masuk ke pabrik tekstil.

Andai ayah mereka di sini—

Andai pabrik-pabrik itu tak pernah ada. Andai mesin-mesin itu tidak tercipta. Andai sumber energi baru itu tidak pernah diolah. Andai tambang-tambang masih kebanjiran.

Siapa peduli pada produksi baju? Atau tenunan kapas super cepat? Atau pintalan yang bergerak sendiri? Atau pemutih pakaian yang berganti bahan? Maurice tidak peduli. Toh, bukan dia dan keluarganya yang menikmati semua itu. Seseorang yang tolol dan tak tahu apa itu ammonia yang menikmati itu semua. Seseorang yang tak perlu menyisihkan receh tetapi tetap mampu membelikan orang lain minuman ke bar, menggantinya dengan permen, dan mengoceh tentang toko baju; sementara adiknya yang masih 6 tahun mati tersangkut mesin, masih bermimpi dia akan mampu mengganti baju tua itu dengan baju baru esok hari.

"Buruh anak, atau praktik penggunaan anak-anak sebagai pekerja, pelayan, dan pekerja magang, telah dilakukan hampir sepanjang sejarah manusia, tetapi mencapai puncaknya selama Revolusi Industri ... Anak-anak dianggap sebagai karyawan yang ideal karena dapat dibayar lebih sedikit (daripada orang dewasa), memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil sehingga dapat mengerjakan tugas di ruang sempit, dan lebih kecil kemungkinannya bagi mereka untuk mengatur aksi protes atas kondisi kerja yang menyedihkan."

—diterjemahkan dari History.com

.

.

.

Mesin yang tidak dijaga menjadi masalah utama bagi anak-anak yang bekerja di pabrik. Sebuah rumah sakit melaporkan bahwa setiap tahun mereka merawat hampir seribu orang karena luka dan mutilasi yang disebabkan mesin di pabrik. Michael Ward, seorang dokter yang bekerja di Manchester mengatakan kepada komite parlemen pada tahun 1819: "Ketika saya masih seorang ahli bedah di rumah sakit, rumah sakit sering menerima korban kecelakaan, mulai dari tangan dan lengan anak-anak yang tersangkut di mesin; kebanyakan kasusnya adalah otot dan kulit terkelupas sampai ke tulang, dan dalam beberapa kasus lain satu atau dua jari yang hilang. Musim panas lalu saya mengunjungi Lever Street School. Jumlah anak pada waktu itu yang bersekolah, dan bekerja di pabrik, ada 106 orang. Jumlah anak-anak yang terluka akibat mesin berjumlah hampir setengahnya. Ada empat puluh tujuh yang terluka dengan cara ini."

—diterjemahkan dari Spartacus Educational dalam artikel Child Factory Accidents.

.

.

.

Gelap ya ceritanya. Coba salahin yang bikin tema.

Next>>> 29 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro