30 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 30 || 1582 words ||

| Pergi ke website https://springhole.net/writing_roleplaying_randomators/causeofdeath.htm dan buat cerita berdasarkan hasil yang kalian dapatkan |

Tema dari Generator Penyebab Kematian:
Kematian yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah dari berbagai luka fisik

| Mystery, Crime |
|| Sekar Sapada - Sebuah Prolog ||

"Penyebab kematiannya adalah kehilangan banyak darah akibat beberapa luka tikaman." Sang detektif muda menjelaskan. Sang jurnalis magang mencatatnya. "Kesimpulan sementara dari penyidik adalah perampokan—ponselnya hilang dan para saksi di dekat tempat kejadian mengaku sempat mendengar perkelahian antara pelaku dan korban."

Sang jurnalis magang menggaruk sisi kepalanya dengan ujung tumpul pena, lalu gerakannya mendadak berhenti. Dia mengernyit, matanya melirik ke samping. Bahkan saat sang detektif bicara lagi, gadis itu masih tak mencatat maupun menyimaknya.

"Nona," panggil sang detektif. "Kau ingin aku melanjutkannya atau tidak?"

"Oh, iya, maaf." Sang jurnalis buru-buru membalik halaman catatannya. "Tadi saya sedang mendengarkan."

Sang detektif bersandar ke belakang dan menyilangkan kakinya, kedua tangannya bersedekap. "Kau jelas tidak sedang mendengarkanku."

"Memang tidak." Sang jurnalis mengakui, membuat kerutan di kening sang detektif bertambah dalam. "Saya sedang menyimak sesuatu yang lain. Silakan lanjutkan, Tuan Detektif."

"Ini bukan tugasmu, ya?" tuntut sang detektif. Pemuda itu menelengkan kepalanya saat sang jurnalis magang menghindari tatapannya lagi. "Sebenarnya, ada beberapa keganjilan dalam kasus ini. Kusarankan padamu untuk menunggu sampai hasil akhir otopsinya keluar jika kau ingin membuat berita yang lebih akurat."

"Tuan Harold menginginkannya selesai hari ini karena pihak polisi sudah memberi keterangan pada publik."

Sang detektif mengangkat alisnya. "Kalau begitu, mengapa datang padaku? Mengapa tidak meminta keterangan dari para penyidik? Lagi pula, aku bukannya disewa langsung oleh para polisi itu. Klienku adalah para saksi itu sendiri. Hasil penyelidikanku terbatas."

Sang jurnalis menekan ujung penanya ke pipi. "Ada yang memberi tahu saya untuk datang pada Anda. Tadi, Anda bilang ada beberapa keganjilan dalam kasus ini—jadi saya rasa, keputusan saya mendatangi Anda sudah benar. Bisa Anda ceritakan keganjilan yang Anda maksud?"

Sang detektif muda kembali mencondongkan tubuhnya ke depan. Sikunya bertumpu ke lutut. "Pertama, ini bukan sekadar perampokan. Polisi mengira ini perampokan hanya karena korban tak memiliki ponselnya lagi. Kesimpulan ini juga datang dari para saksi yang mendengar sekilas perkelahian antara korban dan pelaku. Mereka mendengar pelaku berteriak, 'Serahkan ponsel itu!' yang kemudian dibalas oleh korban 'Takkan kubiarkan kau mengambilnya.'"

Sang jurnalis magang mengangkat wajahnya dari catatannya. "Artinya para saksi mengenal salah satu di antara korban atau tersangka, secara personal."

Sang detektif mengangkat alisnya, tampak terkejut sekilas. Dia kemudian tersenyum. "Benar sekali, Nona. Para saksi dapat mengidentifikasi suara mana yang milik korban dan mana yang milik pelaku meski tidak melihat secara langsung, mengindikasikan bahwa mereka mengenal salah satunya secara personal."

Sang detektif meraih selembar foto di atas meja sampingnya, lalu menyodorkannya pada sang jurnalis.

"Wajah korban sulit diidentifikasi karena banyaknya tikaman yang diterimanya. Namun, kedua orang saksi meyakini bahwa korban adalah guru SMA mereka—itu sebabnya mereka menyewaku untuk menyelidikinya. Ini foto korban saat masih hidup. Perawakannya memang sama. Pihak kepolisian menyimpulkan bahwa ini adalah kasus perampokan: pelaku berusaha merampok seorang guru di halte bus yang sunyi; halte itu berdekatan dengan kantor polisi, rumah sakit, dan sebuah minimarket. Kedua saksi sedang mengantre di kasir minimarket saat mendengar perkelahian antara pelaku dan korban, yang mereka yakini adalah suara guru mereka. Saat orang-orang keluar, korban sudah menggeletak di halte, bersimbah darah dengan wajah tak berbentuk, tetapi masih hidup. Korban sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi terlambat ditangani.

"Ada tiga keganjilan yang kutemukan. Pertama, jika motifnya memang uang, mengapa pelaku mengincar seorang pria yang berpenampilan sederhana seperti guru ini, dan di dekat kantor polisi? Dompet korban memang ditemukan jatuh di halte, nyaris tak terisi apa-apa kecuali tanda pengenal dan beberapa uang receh. Mungkin kau akan mengira dompet itu hampir kosong karena uangnya dirampok, tetapi perampok yang habis menikam seseorang pasti akan berlari membawa dompetnya serta, lalu membuangnya di tempat lain setelah mengambil isinya. Dia takkan repot-repot mengeluarkan uangnya langsung di TKP dan meninggalkan dompet korban di sana. Artinya, dompet itu jatuh saat pelaku berusaha merebut ponsel korban. Sejak awal, incarannya adalah ponsel itu.

"Keganjilan kedua adalah alasan korban turun di halte malam itu. Ke mana dia hendak pergi hanya dengan sebuah ponsel dan uang receh di dompetnya? Dia turun di halte yang paling dekat dengan minimarket, rumah sakit, dan kantor polisi. Apa yang mau dilakukannya di dua tempat itu tanpa uang? Jadi, aku menelusuri jejaknya dan menaiki bus yang dinaikinya. Di sanalah aku menemukan benang merahnya. Sempat terjadi pelecehan di bus itu—pelaku tertangkap tangan oleh penumpang bus lain di tengah aksinya, lalu diturunkan paksa di tengah jalan. Tak lama kemudian, korban minta diturunkan di halte yang menjadi TKP. Korban terlihat membawa-bawa ponselnya saat memberi tahu sopir bus. Artinya, ada kemungkinan yang cukup besar bahwa korban merekam aksi pelaku pelecehan di dalam bus, lantas pelaku menyadari dan mengejarnya sampai halte untuk merebut barang bukti dari tangan korban.

"Keganjilan ketiga adalah lambatnya penanganan rumah sakit. Meski mengalami pendarahan yang cukup parah, korban bisa saja selamat karena dekatnya lokasi kejadian dengan rumah sakit. Dia juga langsung dibawa setelah ditikam. Luka paling parah adalah wajahnya. Tikaman tidak mengenai titik vital—korban tewas semata-mata karena ketiadaan donor darah. Tapi, penyelidikanku tersendat di sini karena aku belum bisa mengakses informasi apa-apa dari rumah sakit sebelum para polisi sendiri."

Sang jurnalis berhenti mencatat lagi. Pandangan matanya menerawang ke lantai.

"Nona?" panggil sang detektif.

"Maukah Anda barter dengan saya?" tanya sang jurnalis magang. "Akan saya beri Anda informasi yang belum bisa Anda akses kalau Anda mau ke kantor polisi sekarang juga dan menyampaikan kebenarannya."

Sang detektif muda tersenyum lagi. "Sekarang aku tahu aku pernah melihatmu di mana. Kau yang dulunya sering meliput peristiwa paranormal di kota ini—"

"Menurut Anda," sela sang jurnalis magang, "korban tewas karena menyaksikan aksi pelecehan dalam bus dan merekamnya, lalu turun di halte untuk menyerahkannya ke kantor polisi—pelaku pelecehan menikam korban karena ingin mendapatkan rekaman tersebut. Saat ini, pelaku pelecehan sekaligus penikaman itu sedang buron. Begitu, 'kan?"

"Benar. Tentu saja, jika aku bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap—"

"Biar saya lengkapi informasi itu untuk Anda." Sang jurnalis magang menutup catatannya dan menaruh pena di antara halamannya. "Golongan darah korban tewas adalah O, bukan AB."

Sang detektif tercenung untuk sesaat, kemudian kesadaran mengisi matanya, sebelum berganti lagi dengan rasa heran bercampur tertarik. "Dari mana kau mendapat informasi itu, padahal kau bahkan baru mendengar kasus lengkapnya dariku?"

"Seperti Anda yang membaca orang mati melalui barang bukti dan kehadiran saksi," ujar sang jurnalis, "saya mendengarkan orang mati. Jika Anda tidak percaya, Tuan Detektif, Anda bisa tanyakan sekarang juga ke penyidik atau pihak rumah sakit. Saya yakin Anda sudah punya kontak mereka. Anda bisa sambungkan benang merahnya sekarang juga."

Maka berangkatlah sang detektif muda beserta sang jurnalis magang ke lokasi kejadian, yang masih dipasangi garis polisi. Sang detektif mengonfirmasi golongan darah korban dan polisi mendengar penjelasan sang detektif.

Korban tewas adalah pelaku pelecehan dalam bus. Pernyataan resmi dikeluarkan malam itu juga. Korban merekam dirinya sendiri saat melancarkan aksinya dalam bus, tetapi tertangkap tangan dan diturunkan paksa oleh para penumpang tanpa sempat mengambil ponselnya kembali. Seorang guru SMA yang juga merupakan penumpang sekaligus saksi mata, menemukan ponsel pelaku tertinggal dalam bus dan berniat menyerahkannya ke kantor polisi. Namun, setelah bus pergi usai menurunkannya, pelaku pelecehan mencegat sang guru SMA dan mengancamnya dengan sebilah pisau. Di tengah perebutan barang bukti, sang guru SMA berhasil merebut pisau korban dan menikamnya berkali-kali sebagai upaya pembelaan diri.

"Pemilik golongan darah O adalah pendonor universal. Tapi, meski dapat mendonorkan darahnya ke semua jenis golongan darah, orang yang memiliki golongan darah O hanya bisa mendapat transfusi dari golongan darah O yang sama. Berbeda dengan orang yang memiliki golongan darah AB, yang merupakan penerima darah universal. Guru itu bergolongan darah AB, tetapi korban tewas bergolongan darah O—karenanya polisi meragukan kesaksian kedua siswa tersebut. Itu juga alasan lambatnya penanganan rumah sakit. Mereka sedang kehabisan stok darah O saat itu."

"Terima kasih," ucap sang jurnalis pada sang detektif, "sudah mau mendengarkan dan menyetujui barter dengan saya."

"Kau boleh berhenti bicara formal, Nona," ujar sang detektif. Senyumnya mengembang. "Tapi aku penasaran—kau tahu bahwa korban tewas adalah pelaku pelecehan itu?"

"Ya, setelah mendengar penjelasan Anda—maksudku, penjelasanmu. Seperti yang kubilang, aku bisa mendengar orang mati. Aku tahu dari korban tewas itu sendiri bahwa bukan dia yang melakukan penikaman."

Sang detektif mengernyit, masih memasang senyum tertarik. "Tidakkah kau pikir, orang itu pantas mendapat akhir demikian? Dia pelaku pelecehan—dia pantas mati dan dicurigai sebagai pelaku penikaman."

"Tentu saja aku, secara subjektif, merasa dia pantas mendapatkan itu." Sang jurnalis mengangguk. "Tapi, tugasku menyampaikan kebenaran, tak peduli apa yang kurasakan tentang itu. Mungkin orang itu pelaku pelecehan, tapi dia bukan pelaku penikaman—membersihkan namanya dari satu kasus sama sekali tak menghapus kejahatan sebelumnya. Itu cuma bagian dari kebenaran kasus ini. Lagi pula, guru yang malang itu jelas ketakutan setelah menyadari tindakannya."

"Ya." Sapada mengerjap ke dalam kantor polisi, di mana sang guru telah duduk menyerahkan diri. "Meski pada akhirnya dia dinyatakan tak bersalah karena perbuatannya termasuk pembelaan diri, dia sempat buron dan mempersulit penyelidikan. Melihat latar belakangnya yang tak memiliki keluarga dan tinggal seorang diri, dia mungkin akan melakukan sesuatu yang lebih disesalinya lagi jika kasus ini diulur-ulur. Jadi, terima kasih, Nona—"

"Kau boleh berhenti memanggilku Nona," tukas sang jurnalis. "Dan tidak perlu berterima kasih karena kaulah yang melakukan paling banyak penyelidikan di sini."

Sang detektif menggeleng. "Mungkin aku akan mendapat informasi lengkap dari rumah sakit besok, dan polisi akan menyelidiki jalur bus itu hari ini, tapi siapa yang tahu apa yang akan dilakukan guru itu saat semuanya terlambat terungkap sedetik saja? Dengan kehadiranmu, kejadian ini terungkap lebih cepat dan guru itu bisa menghadapi situasi dengan benar sekarang." Sang detektif muda mengulurkan tangannya kepada sang jurnalis magang. "Jika aku tak salah ingat, namamu adalah Sekar? Senang bisa bekerja sama denganmu, Sekar."

Sekar menyambut jabat tangan sang detektif. "Senang bisa bekerja sama denganmu juga, Sapada."

Cerita Sekar Sapada pernah saya tulis di Caesura. Judul chapternya "Sekar Sapada - Aubade" '-')/

Hore habis _(꒪ཀ꒪」∠)_

Escapade lagi diusahain yah (꒪ཀ꒪)

Next>>> Silakan balik ke:

'-')~ MULAI LAGI ~('-'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro