4 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 4 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita dengan tema apocalypse

|| 2558 Words ||

|| Apocalyptic, Thriller ||

Pada zaman dahulu kala, ada tiga babi kecil yang berusaha hidup mandiri di dunia luar yang kejam. Babi pertama membangun rumah dari jerami—seekor serigala menghancurkannya hanya dalam satu embusan napas. Babi kedua membangun rumah dari kayu—serigala yang sama membuatnya ambruk dengan satu lagi embusan napas kencang. Babi ketiga membuat rumah dari batu bata—napas sang serigala tak cukup kuat merubuhkannya.

Apa pesan moral dari cerita itu?

Jadilah anak ketiga dari tiga bersaudara? Sial nian aku anak sulung.

Jangan jadi babi? Yah, kami memang bukan babi.

Berdoalah serigala yang mengejarmu punya gangguan pernapasan? Tapi buat apa juga serigala tolol itu merubuhkan rumah pakai ditiup?!

Aku masih balita saat mendengar dongeng itu—mana sempat aku memikirkan pesan moralnya?! Aku cuma senang babi-babinya selamat!

Kini, kisah itu menjadi amat relevan dalam hidupku semenjak kemunculan bangsa Werewolf, dan aku sama sekali tidak membicarakan alfa seksi yang gemar meromantisasi kekerasan seksual terhadap kelas di bawahnya—apalah itu. Omega? Delta? Gamma? Epsilon? Entahlah, aku tidak sempat baca yang begituan saat dunia kami kiamat akibat para manusia serigala!

Aslinya, mereka disebut shapeshifter. Mereka mampu berubah wujud menjadi manusia, lalu meniru tingkah jelmaannya dengan sempurna. Mereka bicara, tertawa, menangis, dan tersenyum layaknya manusia sungguhan. Namun, wujud asli mereka memang menyerupai serigala—anjing super besar dan ganas dengan taring yang mampu mengoyak batang pohon serta cakar pencabik. Tenaga mereka mampu mencabut kepala manusia dalam satu cengkram dan tarikan.

Akhir dunia dimulai suatu malam, saat tamu-tamu misterius berdatangan. Mereka menekan bel, mengetuk pintu, memanggil si pemilik rumah dari teras ... lalu berubah wujud menjadi serigala dan membantai semua yang keluar menyambut mereka. Usai melahap orang yang menyambut mereka di pintu, para Werewolf masuk ke rumah yang disambanginya untuk menandaskan apa yang tersisa di dalam—anggota keluarga, hewan peliharan, bahkan tikus-tikus dan serangga yang bersarang di sudut-sudut tergelap rumah.

Saat fajar turun, para Werewolf berlarian dan lenyap entah ke mana. Mereka muncul lagi ketika matahari terbenam, mengambil wujud orang-orang yang mereka makan, dan mengetuk pintu-pintu lain.

Para Werewolf itu bukan semata pemangsa ganas, mereka juga pemburu cerdik yang sepertinya menikmati ketakutan kami. Mereka bisa saja menghancurkan semua rumah sekaligus dalam satu malam dan membasmi kami sampai habis, tetapi entah mengapa mereka selalu datang sebagai "tamu" dan menunggu adanya suara dari dalam rumah yang mengindikasikan rumah itu ada isinya.

Suatu malam, dua Werewolf menyambangi rumah kami. Ibu menaruh satu jari di bibir sebagai peringatan agar aku dan dua adikku tak bersuara sedikit pun. Ayah memegangi kapak dengan siaga di ruang tengah. Kakek dan Nenek mengelus-elus punggung kedua adikku yang gemetar ketakutan.

"Permisi," ujar seseorang di luar pintu depan. Suaranya seperti suara seorang pria paruh baya. Dia mengetuk pintu kami dengan sopan dan tidak ada nada mendesak sama sekali di dalamnya. "Halo? Permisi?"

"Apakah ada orang di dalam?" Suara lain ada di balik jendela dapur, terhalang tirai tebal yang dipaku ke dinding tadi sore oleh Ayah. "Jika ada orang di dalam, maukah kau mengizinkanku masuk?"

Adik bungsuku hampir menangis, tetapi Nenek buru-buru membekap mulutnya. Adik pertamaku menggembungkan pipinya, menahan panggilan alam—dia baru akan buang air besar saat matahari tenggelam dan kedua Werewolf itu datang ke rumah kami. Aku sendiri hampir bersin, tetapi mati-matian kutahan sampai mataku berair.

Kemudian, dari rumah sebelah, terdengar jeritan—sepertinya tetangga kami tanpa sengaja mengeluarkan suara, dan Werewolf yang menyambanginya segera menerobos masuk.

Lalu, jeritannya membesar. Mendekat. Tampaknya tetangga kami berhasil berlari keluar rumahnya dan tengah dikejar oleh Werewolf.

Ibuku ternganga sesaat. Matanya disaput ketakutan. Dia berpandangan dengan Ayah. Ekspresi keduanya tegang. Awalnya aku tidak mengerti kenapa mendadak mereka begitu panik, sampai kemudian terdengar suara kaca pecah dari arah kamar mandi kami, diiringi suara teriakan dari tetangga kami, "TOLONG AKU!"

Tetangga kami mencoba menyelamatkan dirinya dengan membunuh kami semua di dalam sini. Dia pasti mencoba menerobos masuk dengan memecahkan kaca jendela kecil di atas toilet.

"Nah, 'kan, ada orang di dalam," ujar suara di balik pintu depan. Gagang pintu kami mulai berderak liar. Werewolf di sisi dapur kami pun terkikik gembira seraya meninju kaca jendela. "Sungguh tidak sopan terhadap tamu. Tolong izinkan kami masuk."

Bahkan tanpa diberi izin pun mereka tetap masuk. Pintu depan kami menjeblak terbuka. Tirai dapur tercabik. Dua pria dewasa masuk ke dalam rumah kami, berpakaian layaknya penduduk sipil, mengulas senyum simpul dan tatapan menyapa.

Saat Ayah mengayunkan kapaknya, pria Werewolf di ruang tamu berubah wujud menjadi serigala berbulu kelabu setinggi satu setengah meter yang cakarnya menggaruk lengan ayahku. Kapak terpelanting bersama penggalan tangan Ayah ke atas sofa. Sementara Ayah melolong kesakitan, meratapi tangannya yang berakhir sampai siku, Werewolf itu memandanginya dengan sabar dan liur menetes-netes ke lantai.

Ibu memasang badan di depan kami, menghalangi kami dari pandangan pria jadi-jadian yang muncul dari dapur. Sebelah tangan Ibu memegangi semangkuk minyak, tangan yang satu lagi menyiapkan macis.

Dari arah kamar mandi, suara meminta tolong tetangga kami berubah jadi lolongan nelangsa. Tak lama kemudian, tidak ada suara lagi yang terdengar darinya.

"Pergi!" perintah Ibu, yang segera saja membuat Kakek menggendong adik bungsuku, Nenek menyeret adik pertamaku, dan aku mengekori di belakang mereka.

Karena aku paling belakang, aku menyaksikannya. Mangkuk minyak di tangan Ibu meloncat dan menghantam pria jadi-jadian di hadapannya, melumuri wajah dan bagian depan bajunya dengan minyak. Ibu menyalakan macis, tetapi tak sempat melemparnya sama sekali. Pria jadi-jadian itu, bahkan tanpa mengubah diri kembali ke wujud serigala, mampu melubangi tubuh Ibu dengan satu tangannya yang bercakar—dari perut tembus ke punggung. Api padam dari macis di tangannya saat jatuh ke lantai. Werewolf ketiga muncul dari balik pintu kamar mandi, moncongnya berlumuran darah dan masih ada jari-jari tangan tetangga kami yang terjepit di antara gigi-giginya.

Aku nyaris berhenti dan hendak berlari kembali ke arah Ibu saat Nenek menarik lenganku, memaksaku berlari mengikuti mereka menuju tangga ke ruang bawah tanah.

Saat aku dan adik-adikku masuk ke gudang, Kakek dan Nenek malah mengambil tongkat dan parang di rak, lalu berderap keluar menuju tangga dan menutup pintu di antara kami.

Aku dan adik-adikku menangis dan saling peluk, mendengarkan pembantaian yang terjadi di balik pintu—suara deguk sekarat, cipratan darah, erangan dan napas terakhir mereka ....

Kami bertiga naik ke atas rak-rak yang menjulang sampai hampir menyentuh langit-langit gudang bawah tanah. Saat pintu terjeblak dan tiga serigala masuk mencari kami, aku dan adik-adikku merangkak perlahan di atas rak. Kami melompat ke anak tangga tepat di belakang punggung serigala, berlari mati-matian keluar gudang, dan menaiki anak tangga lain menuju ke lantai atas.

Sepanjang malam, kami berpindah dan bersembunyi—di dalam lemari, di bawah kolong tempat tidur, di dalam mesin cuci, di balik labirin rak-rak buku Ayah. Para Werewolf berkeliaran, menghancurkan barang-barang, mengendus-endus udara, dan terus-terusan mendekati tempat persembunyian kami.

Tepat saat kami terpojok dan kehabisan ruang bersembunyi, fajar menyingsing. Tak pernah sebahagia ini aku menyambut senin pagi. Ketiga serigala itu buru-buru berlari dan hilang begitu saja.

Pagi itu, semua orang mengais apa yang tersisa dari rumah dan keluarganya—termasuk kami bertiga, yang kehilangan orang tua dan kakek-nenek sekaligus dalam satu malam.

Kami para penyintas berusaha melakukan berbagai cara untuk mempertahankan hidup.

Semua penduduk yang tersisa berkumpul tiap malam dalam satu bangunan, tetapi rupanya itu ide buruk. Hanya dengan satu kesalahan—hanya satu suara—seluruh Werewolf menyerbu masuk dan membantai para penghuninya. Kami kocar-kacir semalaman, bermain petak umpet dengan para serigala sampai pagi. Dari sana, kami belajar bahwa lebih baik satu rumah dihuni oleh satu sampai tiga orang saja.

Tiap siang, kami berusaha mencari sarang Werewolf—pasti mereka berasal dari suatu tempat, bukan? Namun, nihil.

Kami mencoba membangun benteng—sedikit demi sedikit di siang hari. Setelah enam bulan pembangunan, benteng pertama kami berdiri mengelilingi satu-satunya griya di sana. Seseorang menjadi relawan percobaan dengan mendiami griya tersebut dan membuat suara di dalamnya. Lagi-lagi sebuah kesalahan. Para Werewolf tetap merubuhkan bentang, mengoyak tiap tembok pertahanan yang kami dirikan susah payah, dan tetap merubuhkan griya dalam semalam. Pria itu selamat karena dia berhasil berlari semalaman dalam griya yang luas, tetapi dari sana kami pun tahu bahwa para Werewolf itu bisa saja menghancurkan segalanya jika mereka mau. Dari sana kami sadar, monster-monster itu seperti mempermainkan kami—menunggu kami membuat suara di dalam rumah sebelum menyerbu masuk.

Enam tahun berlalu. Semua bangunan hancur dan dibangun kembali dari puing-puing hanya untuk diambrukkan lagi malam berikutnya. Krisis terjadi di mana-mana, mencekik para penyintas yang tidak punya pilihan selain membangun dan membangun tiap hari dari reruntuhan, hanya untuk menyaksikannya rubuh di malam hari. Stok pangan menipis. Siang hari jadi lebih sepi karena orang-orang mencoba tidur, istirahat, melanjutkan hidup sebisanya. Senja menjadi batas hidup dan mati kami, lalu keheningan mencekam ketika malam turun, hingga orang-orang gadungan itu turun ke jalan dan menyambangi tiap bangunan yang berisi mangsa mereka—pintu diketuk, rayuan dan bujukan untuk diizinkan masuk bersahut-sahutan, lalu suara jeritan, dan lolongan, dan kematian sampai fajar.

Aku dan kedua adikku kini tinggal terpisah. Ini adalah keputusan yang akhirnya kami sepakati setelah banjir air mata bertiga—kami terpaksa mempertimbangkan pilihan antara tinggal bertiga dan mati bersama, atau tinggal terpisah agar ada yang tetap hidup di antara kami jika ada yang dimangsa.

Kami membangun rumah sedikit demi sedikit. Mulanya hanya gubuk—semalaman kami harus terjaga dan bertahan untuk tidak membuat suara sekecil apapun. Para Werewolf itu tidak masuk sama sekali dan hanya membujuk dari balik pintu. Dari gubuk, kami mulai menambah ruangan, menjadikannya bangunan semi permanen, lalu rumah sungguhan dengan ruangan-ruangan yang berliku dengan banyak jalan pintas—untuk memberi kami waktu berlari dan sembunyi andai ada Werewolf yang berhasil masuk suatu hari.

Tentu tak semudah kedengarannya. Dalam kurun waktu tiga tahun rumahku hancur sembilan kali. Adik pertamaku kehilangan sebelah penglihatannya karena sebuah kecelakaan saat dikejar serigala sebelum matahari terbit. Adik bungsuku kini bisu akibat trauma sepanjang malam. Jumlah penduduk menurun drastis.

Di kota kami saja, nyaris tidak ada manula atau bayi lagi—hanya ada anak-anak, beberapa remaja, dan segelintir orang dewasa. Tidak ada yang berani hamil lagi. Terakhir kali ada dua wanita hamil yang akan melahirkan di malam yang sama ... benar-benar bencana. Salah satunya mati di jalan saat suaminya mati-matian mengemudi sambil diuber-uber delapan Werewolf. Yang satu lagi berhasil mencapai rumah sakit terakhir yang masih beroperasi, tetapi itu pula yang menyebabkan para Werewolf akhirnya meruntuhkan rumah sakit tersebut.

Enam tahun sejak tragedi yang merenggut orang tua dan kakek-nenekku. Malam ini, aku berencana terjaga semalaman. Masalahnya, genting ambruk baru saja kubetulkan dan kaca pecah baru selesai kuganti. Aku tidak sempat memasang tirai sama sekali. Matahari keburu menggelincir di ufuk barat dan para manusia jadi-jadian pun bermunculan di jalanan.

Aku memegangi busur dengan tegang, wadah anak panah siap di sisi sofa. Aku tidak sanggup membeli pistol bius yang luar biasa mahal dan pistol biasa tanpa peredam suara sama artinya dengan memekik, "MAKAN AKU, KAWAN-KAWAN!" pada para serigala. Aku dan kedua adikku bertahan hidup susah payah dengan stok pangan dan keperluan sehari-hari yang terbatas. Maka, senjata yang bisa kumiliki hanya busur dan anak panah buatan tangan, yang ujungnya dilumuri racun racikan adik bungsuku.

Aku sedang memelototi jendela depan saat suara ketukan terdengar dari jendela di samping tangga. Hampir saja aku terjungkal saat bertatapan langsung dengan sepasang muda-mudi di balik kaca jendela itu. Mereka adalah sepasang suami istri yang tewas di jalan depan minggu lalu.

Dadaku berdebar, menunggu keduanya menyerbu masuk. Namun, mereka cuma berdiri di sana, tersenyum santun. Si suami jadi-jadian mengetuk kaca lagi, istri gadungannya melambai-lambai ke arahku.

"Izinkan kami masuk," mohon si istri. "Dingin sekali di luar sini."

Ini informasi baru. Selama ini, kami selalu bersembunyi dan berusaha tidak membuat suara di rumah masing-masing, semua jendela dan pintu tertutup sampai tak pernah ada kontak mata dengan Werewolf yang menunggu di luar. Kurasa, akulah orang pertama selama 6 tahun belakangan yang menemukan fakta baru ini: meski para Werewolf ini melihat langsung ada orang di dalam, mereka tetap tidak masuk. Tampaknya, hanya suara yang mereka jadikan tanda untuk menyerang ke dalam.

Jika aku bertahan hidup malam ini, aku bisa memberitahukannya ke para penyintas, termasuk adik-adikku. Sejak awal, tirai-tirai dan papan-papan yang dipaku ke jendela itu tidak berguna.

Aku melangkah tanpa suara ke arah jendela. Kedua manusia siluman itu masih berdiri di sana dengan senyum penuh harap.

Kuangkat jari tengah kedua tanganku ke arah mereka. Keduanya hanya memasang ekspresi terluka dibuat-buat. "Itu sungguh tidak sopan."

Namun, mereka tetap tidak menyerang rumahku.

Aku membuka baju atasan, memelintir dan mengibas-ibaskannya di atas kepala, berjoget di hadapan mereka hanya dengan tersekat kaca jendela sambil masih membisu. Kulepaskan rasa stres yang menumpuk bertahun-tahun. Kubuat beragam gestur kurang ajar terhadap keduanya.

Lalu, baju atasan yang kukibas-kibas itu terlepas dari tanganku, meluncur ke arah sofa. Aku membeku. Kedua manusia jadi-jadian itu pun tampaknya menunggu penuh antisipasi dari balik kaca.

Tidak ada suara. Aku selamat. Nyaris saja aku mati konyol.

Kemudian, baju atasan yang menabrak sandaran sofa itu merosot, lalu jatuh dengan ringan ke atas busurku yang tersandar di sisinya. Busur itu pun miring dan dengan mulus jatuh ke lantai, pluk.

Pasutri jadi-jadian itu menyeringai gembira dan menerjang ke dalam.

Bajing! Kampret! Dasar anjing! Kacanya baru kuganti!

Aku melompat, meraih busur dan wadah anak panahku, lalu berlari mati-matian ke anak tangga. Aku harus menjaga jarak untuk menembakkan anak panah, tetapi kedua serigala itu benar-benar cepat.

Aku berlari dan bersembunyi—benar-benar rutinitas malam yang normal di dunia penuh Werewolf. Aku berhasil naik ke atap dan mencapai puncak genting, dengan pasutri jadi-jadi itu merangkak mengikutiku. Aku menembakkan anak panah ke si istri, yang dihindarinya dan menancap ke mata kanan suaminya. Pria itu melolong, lalu jatuh ke tanah, tubuhnya berubah menjadi serigala yang menggeliat-geliut liar, berusaha melepaskan anak panah dari matanya.

Aku membidik lagi, tetapi si istri membesar dan berubah menjadi serigala pula. Anak panahku yang seharusnya mengenai jantungnya, malah menancap ke pahanya.

Kuseret pantatku mundur, sementara serigala itu mendekat dengan liur menetes-netes. Ketika dia akan melompat menerjang, sekujur tubuhnya mengejang. Racunnya mulai bekerja dan melumpuhkannya dari kaki ke atas.

Aku berpegangan ke genting erat-erat, menyaksikan serigala betina itu merosot dan menghantam tanah tepat di samping serigala jantan yang sudah tidak bergerak.

Di bawah sana, beberapa tetanggaku yang sudah mati berdiri menatap kedua serigala tersebut, lalu mendongak ke arahku. Mereka melambaikan tangan ke arahku, bertanya, "Hai, boleh kami masuk?"

Aku sempat berharap bahwa mereka takkan menyerangku di atas sini selama aku tidak mengeluarkan suara, tetapi rupanya mereka malah menjelma menjadi serigala dan melompat ke atas. Satu persatu mulai memanjat naik, jadi aku turun lagi dan masuk lewat lubang atap tempatku keluar.

Saat sudah di dalam, kupandangi lubang di langit-langit. Sepertinya, tetap harus ada sekat yang membatasi kami agar para Werewolf ini tetap berada di 'mode jinak'nya. Aku harus tetap berada di ruangan tertutup agar mereka tidak menerjang masuk. Sekarang, jelas sudah terlambat untuk menambal atap. Maka, aku kembali berlari di dalam rumahku sendiri, dikejar-kejar tiga ekor serigala yang kadang kala berubah menjadi orang-orang yang pernah mereka makan agar mereka bisa muat saat melewati lorong-lorong sempit untuk mencapaiku.

Anak panahku tinggal satu dan kakiku kram saat matahari akhirnya terbit. Para serigala pun berlarian keluar dari rumahku yang setengah ambruk.

Selama beberapa lama, aku tidak sadarkan diri di lantai. Adik-adikku membangunkanku.

Kuceritakan informasi baru yang kuketahui, bahwa para Werewolf takkan masuk meski mereka melihat dan tahu benar ada orang di dalam rumah. Mereka hanya butuh suara untuk menerjang masuk. Dan seluruh ruangan harus benar-benar tertutup tanpa ada akses masuk. Aku curiga, bahkan tanpa mengunci pintu atau jendela pun, mereka mungkin takkan masuk. Toh, mereka selalu menabrakkan diri untuk menerobos ke dalam.

Mereka seperti sekumpulan anjing liar yang bermain-main dengan kami, para mangsanya.

Dengan letih, aku berdiri dan memandangi rumahku—atap bolong-bolong, semua kaca pecah, pintu peretel, lorong-lorong ambruk, perabot hancur, stok makanan berhamburan ....

Kedua adikku memapahku. Kami kembali membangun, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, seperti tiga babi kecil, berusaha hidup di bawah bayang-bayang serigala.

Tersisa delapan jam sebelum matahari terbenam.

Lagu di mulmed gak cocok ya ( '-' )7

Saya pake lagu itu karena suka aja dengerinnya dan ada serigala sama babi-babinya dalam videonya.

Next>>> 5 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro