07. Uppercut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

♂️♂️♂️

Melihat Riam di markas, yang berlokasi persis di dalam ruang ekskul tinju saat tidak ada hal yang penting untuk dibahas sudah merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Melihatnya di atas ring, bertarung dengan salah satu anak yang notabene tidak bisa dianggap enteng adalah sesuatu yang luar biasa.

Meskipun bel tanda pelajaran berakhir telah berbunyi hampir dua jam yang lalu, masih cukup banyak anak yang tersisa di gedung sekolah, lebih tepatnya, gedung olahraga. Satu persatu, anggota Orion berdatangan, berbaris di tepian ring demi menonton hal langka tersebut.

"Anjir! Serius Riam sama Denis?" Mitha berseru, kemudian mengedarkan pandangannya ke luar ruangan.

Sekarang bukan jadwalnya latihan. Jika para pelatih tahu, mereka mungkin tidak akan senang. Terutama melihat bagaimana intensnya pertarungan yang sedang terjadi.

"Gue bilang juga apa, nggak percaya sih, lo," Naufal mengahut sembari menyuapkan sejumput mi instan kering ke mulutnya. "Perlu lapor Saga, nggak?"

Mitha berdecak, selama sesaat, ia tampak menimbang, sebelum tangannya ikut masuk ke dalam bungkus mi Naufal. "Nggak usahlah, nanti bubar. Lagi seru ini."

Di atas ring sana, Denis berhasil memblokir pukulan silang yang Riam alamatkan, lalu membalasnya dengan jab kanan. Riam berkelit, memilih mundur satu langkah. Selama beberapa detik, mereka berhadapan, memutar searah jarum jam dengan kuda-kuda yang siap mengambil setiap kesempatan jika sedikit saja lawan lengah.

Ini tidak akan berhasil. Tidak akan berakhir.

"Capek?" Denis terengah.

Namun, Riam belum puas. Ia menggeleng.

Riam pun memutuskan untuk memulai serangan. Ia menargetkan sebuah hook, menjadikan pelipis kiri Denis sebagai sasaran. Yang sayangnya tidak terlalu berhasil karena Denis telah menekuk kakinya, membuat Riam meninju udara, untuk selanjutnya membalas Riam dengan uppercut tajam.

Pukulan itu membuat dunianya terguncang selama beberapa saat. Riam menggigit keras gamsil (pelindung gigi)-nya, merasakan tubuhnya terdorong dengan keras ke belakang dan pandangannya mengalami disorientasi. Ia menyeka hidungnya dengan lengan, menemukan darah. Lalu, dunianya mengabur.

Dan tiba-tiba saja, kejadian tadi siang yang berusaha keras ia singkirkan membanjirinya seperti air bah.

Ducati Desmosedici D16RR itu membelah jalan raya, menyalip gesit di antara baris mobil-mobil dan kendaraan lain yang terhambat dengan padatnya jalanan. Bagi Riam, hal itu tidak berlaku. Berkendara dengan kecepatan tinggi membuatnya merasa melayang, membuatnya merasa ... bebas. Meskipun bahaya yang ditanggung tidak bisa diremehkan.

Ia baru melambatkan laju motornya dan menepikannya di bawah pohon di pinggir jalan ketika merasakan ponsel di sakunya terus bergetar tanpa henti. Seolah penelepon di sana tidak akan menyerah sebelum mendapat jawaban. Dan Riam tahu pelakunya.

Ketika ia mengeluarkan ponsel, panggilan itu telah terputus. Lima panggilan tidak terjawab dan satu pesan masuk memenuhi kotak pemberitahuannya. Riam membuka pesan masuk.

Dari: Mama

Pesan: Mama hari ini lembur lagi. Kalau mau mau makan, ada makanan dalam kulkas, tinggal panasin. Atau kalau mau yang lain order delievery, ya. Jangan lupa les kamu nanti sore.

Pesan serupa dapat ditemukan di atasnya, berderet-deret. Selalu pesan yang sama. Riam baru mengecek pelaku panggilan tidak terjawabnya ketika ponselnya bergetar kembali. Pelaku yang sama. Kali ini, Riam melepaskan helm dan mengangkatnya.

"Apa?" tanyanya, dengan nada yang kata Mitha selalu seperti tidak ingin diganggu, seolah Riam adalah baju lebaran yang masih baru keluar dari pabrik dan Mitha adalah percikan lumpur yang berusaha menodainya.

Mitha menyambar di seberang sana. "Lo dimana sih, Am? Gue cariin dari tadi! Ngumpet dimana, ha?!"

"Pulang."

Ada jeda sesaat. Riam menjauhkan ponsel dari telinganya, tahu apa yang akan terjadi.

"Anjir! Gue udah nyariin dari tadi!" Semprot Mitha. "Kita kan udah janji abis pulang mau nongkrong dulu! Gimana sih, lo?!"

"Lo yang ngajak, gue nggak jawab iya."

"Lo tadi diem aja ya! Dan diam artinya iya! Cepetan balik sini! Ditungguin anak-anak!"

Riam membuang pandang ke sekitar, napas ia embuskan. Tidak ada kepentingan baginya kembali ke sekolah hanya untuk ... entah, mungkin merokok dan bermain kartu sambil mengobrol tanpa ada juntrungannya.

"Lo aja sama yang lain, gue"

Pandangannya terhenti pada satu sosok di balik dinding kaca kafe. Sosok yang tengah tertawa lepas dengan secangkir kopi di tangan dan seseorang yang tertawa bersamanya. Seorang .... pria.

"Halo? Riam?! Lo kemana? Kok nggak nyahut?!Lo belom sadaqallahul adzim, kan?! Riam! Woy!"

Tut tut. Sambungan diputus sepihak. Riam menyimpan kembali ponselnya di saku celana, meninggalkan motornya di depan halaman kafe, dan berjalan ke sana.

Tidak ada lonceng yang tergantung di atas pintu, tidak ada pelanggan yang menyadari ia masuk. Semua orang sibuk, makan, mengobrol, tertawa. Termasuk wanita itu. Wanita yang sekarang tengah membelakanginya. Bahkan ketika Riam terpaku di tempat, coba memastikan apa yang tengah ia lihat.

"Aku masih lapar, pengin nambah kentangnya. Kamu mau juga?"

"Enggak." Pria yang tampak berusia awal kepala empat yang duduk di hadapan wanita itu tersenyum. "Mau kupesankan kentang lagi?"

"Enggak. Enggak usah repot-repot. Aku pesan sendiri aja. Tunggu sebentar, ya."

Wanita itu berdiri, memperbaiki roknya, blus putihnya yang Riam kenali, merapikan rambutnya yang digelung, kemudian berjalan ke arah meja layan. Riam mengikutinya, di belakang, tanpa ia sadari.

"Mbak, pesan kentang gorengnya lagi satu, ya, sama"

"Iced coffee satu."

Suara itu... Segera, wanita itu menoleh ke sisi. Nyaris melompat dari tempatnya ketika menemukan Riam berdiri di sana. Selama sesaat, mereka hanya saling tatap, dengan keterkejutan yang gagal wanita itu sembunyikan, dan tatapan menghakimi Riam yang sengaja tidak ia tutupi.

"Siang ..., Ma."

Pukulan telak berikutnya mendarat di pelipis Riam bahkan sebelum ia dapat menguasai diri. Ia terhuyung, nyaris menabrak ring seandainya kuda-kudanya tidak cukup kuat. Denis kian mendesak, sekali lagi meluncurkan jab-nya, yang kali ini berhasil diblokir Riam dengan sarung tinju. Riam berputar dan berkelit.

Begitu ia berhasil kembali pada fokusnya, serangan balasan yang Riam lancarkan lebih cepat dari yang Denis kira. Sebuah kombinasi jab kiri, diikuti pukulan silang dengan tangan kanan, lalu hook kiri yang mendarat tepat di rahang Denis, membuat cowok itu terhuyung hingga menyentuh pembatas ring. Ia rebah, tidak mampu lagi bangun.

Ketika pada akhirnya Denis berhasil bangkit, Riam telah siap dengan kuda-kudanya, dengan serangannya yang segera cowok 170-an sentimeter itu hadang dengan mengangkat kedua tangan.

"Gue nyerah! Gue nyerah!"

Riam pun mengendurkan antisipasi. Justru, ia mengulurkan tangan, membantu Denis bangkit.

Denis segera mencopot gamsil dan pelindung kepalanya, dan Riam melakukan hal yang sama. Rambut yang basah oleh keringat menjatuhi kening mereka, menyatu dengan keringat yang mengalih deras dan darah yang mereka seakan bagi jumlahnya. Jika Riam mendapatkan pukulan hingga hidungnya berdarah dan robek di sudut bibirnya, Denis tidak lebih baik. Terlihat lebam yang mulai keunguan pada pipi cowok itu serta luka di bagian wajah yang sama.

"Bro!"

Mitha menyodorkan box berisi botol air dingin dari bawah ring, yang diterima Denis dengan sumringah. Ia melemparkan satu untuk Riam, yang segera menenggak setengahnya, sisanya ia biarkan melewati dagu, kemudian ia sengajakan siram ke wajah. Riam membiarkan napasnya tersengal, kemudian mengambil ice pack serta handuk dan memberikan satu untuk Denis.

"Tadi itu keren," ujar Denis seraya mengambil posisi duduk di dekat Riam, pada bangku kayu yang langsung menghadap ring.

Riam menempelkan ice-pack di lehernya, kemudian menatap Denis sekilas. "Lo juga."

Denis berdecap. Ia sibuk mengelapkan handuk pada leher dan lengannya. Kemudian, tatapannya menyapu sekitar, anak-anak lain tampak sibuk mengobrol di sudut yang lain, sebagian ada yang memukul-mukul samsak, Mitha, contohnya. Setelah memberikan mereka jempol, sebagian besar bahkan sudah bubar. Tidak ada lagi anak di sekitar yang cukup dekat untuk mengikuti obrolan mereka. "Tapi beneran, sih. Keren. Nggak nyangka lo bisa juga sehebat Saga kalo mau."

Dan meskipun Riam benci berkeringat, ia masih tidak melakukan apa-apa melainkan meletakkan handuk itu di atas kepala. "Nggak sehebat itu. Kalau dibanding Saga, masih jauh."

"Bisa aja kali kalo lo serius latihan," Denis terkekeh, tatapannya sekarang tertuju pada anak-anak di seberang ruangan itu.

Riam tidak menyahut. Ia mulai membersihkan diri. Mengelap keringat, merasakan seluurh tubuhnya mulai lengket.

"Serius, deh. Lo nggak niat emang, bisa ... lebih jago gitu, atau nggak, selevel Saga? Bukan apa-apa sih. Cuma, lo kan selalu total dengan apapun yang lo lakuin, kali ini─"

"Enggak."

Riam berdiri, menggosok rambutnya, dan seketika, terdengar sorakan berisik dari luar. Sekelompok cewek-cewek meneriakkan dukungan mereka melalui kaca jendela karena tidak diperbolehkan masuk.

Denis yang juga telah berdiri memberikan lambaian tangannya, dan senyum yang membuat mereka menjerit lebih keras. Riam mengabaikannya, kalau tidak bisa dibilang merasa terganggu. Ia baru akan memberikan punggung dan pergi ke ruang bilas ketika sudut matanya menangkap sesuatu. Tepatnya, seseorang. Seorang cewek yang terus melompat-lompat sambil melambaikan tangan tinggi-tinggi. Teriakannya paling keras di antara semua cewek di sana. Paling ... menyakiti telinga.

"RIAM! RIAAAAMMM!!! I'M HEREEE!!!"

Senyumannya muncul selama sekian milidetik ketika ia terangkat di udara, lalu menghilang, lalu muncul lagi. Dan sepertinya ... senyum itu tidak asing.

♂️♂️♂️


Minta banyakin vote dan komen dong biar semangat update lebih sering 😍


Jangan lewatkan Orionis Epsilon by okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro