11. Kotak Makan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hi, setor emot favorite dulu, dong!

Tebak dulu, bakso-bakso apa yang dilarang? Jawabannya nanti ya.

Happy reading <3

***

"Gue mau... gue mau jadi pacar lo!"

Terlambat untuk menampar mulut sendiri. Sebagai gantinya, Una menyengir, menunjukkan pada Riam bahwa dia serius dengan ucapannya.

"Lo apa?"

"Gue mau jadi pacar lo. Lo mau, kan?"

Ada saat-saat Una merasa minder dengan dirinya. Namun Pak Ibram, guru Geografi di sekolah yang menjabat selaku ayahnya selalu mengatakan: Kalau kamu melakukan sesuatu, percaya dirilah. Hasilnya akan baik. Dan saat ini, Una memegang prinsip itu kuat-kuat. Meskipun ya, ia tahu siapa yang sedang ia hadapi.

Riam Zarel Albion. Cowok yang sama yang menolak Anin dengan kejam di lapangan sekolah waktu itu. Cowok yang sama sekali tidak punya hati! Sementara tugasnya di sini adalah menemukan hati itu, dan mematahkannya. Sebelum ia yang lehernya dipatahkan oleh si Batu Bernapas.

Riam mengambil satu langkah maju, membuat Una otomatis melangkah mundur. Apakah cowok ini akan benar-benar menamparnya? Menjambaknya? Atau...

Cowok itu meraih perekam suara di tangan Una dan mematikannya. "Sudah lima menit," ujarnya sebelum mengembalikan perekam suara itu, lalu berjalan pergi dengan tangan tersimpan di saku.

Perlu beberapa detik, bagi Una untuks adar apa yang tengah terjadi. Ia segera berteriak di belakang Riam. "Oi! Jadi gimana?!"

Namun tentu saja, Riam tidak menggubris.

***

Petang sudah berlalu ketika Riam sampai di rumah dengan lampu-lampu kamar di lantai dua yang belum menyala. Dan mengetahui seberapa banyak yang sedang berada di rumah itu sekarang, rasanya merupakan satu pemborosan besar. Rumah yang terlalu besar untuk tinggal seorang diri. Mbok Mus, satu-satunya asisten rumah tangga yang ada. membantunya membuka pintu pagar lalu segera menghampiri begitu Riam turun dari motor dan melepaskan helm.

"Mau langsung makan atau mandi dulu, Mas? Mbok mau angetin dulu soalnya udah dingin. Masnya ditunggu-tunggu baru pulang," ujarnya dengan logat Jawa yang kental.

Riam meletakkan helm di atas motor, lalu dengan langkah yang lebar melewati teras, menaiki undakan tangga menuju teras diikuti Mbok Mus di belakangnya. Earphones yang masih terpasang di telinga ia lepaskan.

"Mama belum pulang?"

"Belum, Mas. Ini Mbok daritadi nungguin Ibu sama Mas-nya sampai dingin masakan Mbok."

Riam mengangguk, lalu melepaskan sarung tangan kulitnya dan mendorong pintu terbuka. Tedengar keriut amat pelan, kemudian tidak ada apa-apa lagi setelahnya. Sunyi. Teramat sunyi.

Cowok setinggi 180 cm dengan kulit putih nyaris seperti porselein itu menarik napas dalam, dadanya tiba-tiba serasa terhimpit. Namu kepada Mbok Mus, ia memaksakan satu senyum tipis. Tidak sopan untuk tidak melakukannya pada wanita yang telah berbaik hati memasak untuknya dan menunggunya pulang. Sayangnya, wanita itu bukan wanita yang ia harapkan, bukan wanita yang seharusnya melakukannya, bukan... wanita yang memiliki ikatan darah dengannya.

"Saya mau ganti baju aja, Mbok. Setengah jam lagi turun," pesannya, lalu beranjak menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.

Dingin, kesan pertama yang selalu didapatkan ketika membuka kamar dengan dominasi warna abu-abu tersebut. Riam melepaskan pakaiannya saat itu, baju kaus khusus klub renang SMA Bucin, kaus lengan pendek berwarna biru dan putih, serta celana training hitam dengan garis-garis putih di bagian sisi. Ia meletakkan semuanya dengan rapi di keranjang cuci, lalu meraih kaus putih polos dari bagian atas tumpukan baju di lemari. Sambil menunggu setengah jam yang dijanjikannya, Riam merebahkan diri.

Di ponselnya, tidak ada sosial media apapun. Saga, Mitha dan yang lain kerap memprotes hal itu, mengatainya manusia gua karena ketidaktertarikannya terhadap peradaban. Hanya ada WhatsApp ter-install, yang juga jarang diperiksa sehingga menghubungi Riam diperlukan pulsa, mereka harus menghubunginya lewat telepon langsung, seperti waktu jaman dinosaurus belum punah.

Jadi ketika membuka ponsel, tujuan Riam hanya untuk mendengarkan lagu atau audiobook ketika melihat satu pesan masuk. Tanpa sengaja jarinya telah menyentuh papan tombol buka. Dan itu adalah pesan dari nomor tidak dikenal yang sama.

Kak, lo mungkin nggak bakal bales tapi lo pasti baca ini.

Ayah mau ulang tahun. Dan kita mau Kakak datang. Please?

"Fuck!" umpatnya di bawah deru napas, meraih bantal dan menutupi wajahnya. Lalu seolah belum cukup, ia kembali menyuarakannya keras-keras. "Fuck! Fuck! Fuck!"

Rupanya, satu pesan teks untuk merusak malamnya saja belum apa-apa. Terdengar derum mobil dari halaman. Riam menyingkirkan bantal dari wajahnya, bangkit, lalu berjalan ke jendela kamar untuk mengintip.

Ibunya terlihat turun dari jok samping kemudi, tersenyum lebar. Diikuti seorang pria yang turun bersamanya. Pria yang sama dengan yang Riam lihat tempo hari.

Lanjtannya seperti tayangan sebuah drama dalam gerak lambat. Mereka mengobrol sebentar, tertawa, ada gesture malu dan sentuhan-sentuhan ringan. Seolah mereka dua remaja yang baru pertama kali menyukai seseorang. Malam mereka yang tampak indah kemudian ditutup dengan kecupan selamat malam di pipi. Ada gelak yang bahkan terdengar samar hingga kamar Riam.

Mengepalkan tinju, Riam memukul dinding di sisinya.

***

"Riam, kamu belum makan?" adalah sapaan Lidya ketika Riam menuruni tangga.

Riam tidak segera menanggapi wanita itu. Ketika Lidya sibuk mendudukkan diri di sofa dengan desah lelah begitu punggungnya menyentuh sandaran empuk dan memijat kaki yang pegal, Riam hanya mendekati meja makan dan menarik satu kursi. Mbok Mus telah menyiapkan beragam makanan untuk makan malam. Tumisan kangkung, ikan goreng, sosis, telur mata sapi. Tidak ada yang begitu istimewa namun lebih dari cukup.

Mendengar tidak ada jawaban dari Riam, Lidya beranjak dari tempatnya, berjalan mendekat.

"Kamu makan lauk itu aja? Ini mama bawain take-out tadi dari restoran tempat mama makan. Kamu mau? Biar Mbok Mus panasin dulu."

Ia menarik kursi di samping Riam, senyum melintang di bibirnya, tidak mengekspektasikan hal buruk akan terjadi. Namun ketika Riam tidak sedikitpun menoleh, senyumnya luntur. "Am? Kamu sakit?"

Ketika Riam tidak kunjung menyahut juga, wanita itu mengerutkan alis. "Riam? Kalau diajak ngomong orangtua tuh, jawab!"

Hening sesaat. Riam akhirnya menoleh, menatapnya tajam. Kemudian terdengar bunyi sendok yang jatuh kembali ke piring. "Nggak usah, udah kenyang."

Keriut kursi yang terdorong ke belakang dengan kasar akibat Riam yang tiba-tiba berdiri terdengar keras mengisi ruangan. Piringnya masih kosong, makanan Mbok Mus belum tersentuh, namun Riam sudah kehilangan minat. Ia memilih pergi.

"Riam? Kamu kenapa, sih? Ada yang salah?!"

Riam masih tidak menyahut. Sikapnya seolah menunjukkan bahwa wanita itu tidak ada, bahwa ia tidak mendengarnya. Dan Lidya hafal benar dengan sifat pembangkang yang tersimpan dalam diri putranya tersebut. Meski begitu, ia tidak pernah mengerti. Ia lelah dan tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk menolerir perilaku Riam.

"Riam?!"

Sehingga, saat cowok itu tetap melakukan aksi diam dan justru meneruskan langkah ke tangga, Lidya membanting kotak makanan ke atas meja.

"RIAM!!!" Nada suaranya menggelegar dengan seketika, menahan Riam di undakan tangga ."Nggak sopan kamu sama Mama!!! Memangnya Mama mendidik kamu untuk jadi kurang ajar kayak gini?!"

Riam menghela napas. Dengan wajah yang masih tidak menampilkan ekspresi apa-apa, dengan nada santai dan senyum sinis, ia kemudian membalas. "Emang Mama pernah, mendidik aku?"

Lidya membuka mulut, hampir melampiaskan amarahnya. Namun di detik terakhir sebelum sumpah serapah sempat lolos, ia menahan diri, menarik napas dalam-dalam. Lalu mencoba mengembalikan akal sehatnya. Ini bukan kali pertama ia dan Riam bersitegang. Hubungan mereka memang tidak pernah seakrab itu, sejak awal.

"Kamu kenapa, sih, Am? Kalau ada masalah, kamu cerita aja sama Mama. Bilang sama Mama, kamu itu kenapa?!"

"Mama yang kenapa?!" Di luar dugaan, Riam membentak. Rasa marah itu terasa pekat di udara. "Om-om tadi siapa?!"

"Dia─," Lidya menghentikan dirinya, menyusun kembali rangkaian kata di bawah lidah. "Temen Mama."

Riam tergelak. "Temen, ha? Oke."

"Riam─"

"Kalau gitu nggak usah ketemu dia lagi. Bikin malu!"

Dalam gesa, Riam melanjutkan menaiki anak tangga, hingga wanita di belakangnya luruh. Lidya jatuh berlutut di lantai dengan airmata di wajahnya, yang berusaha ia tutupi dengan kedua tangan, dengan gusar.

"Sesalah itu?" tanyanya, suaranya bergetar. "Sesalah itu kalau Mama pengen.... pendamping? Hidup sebagai dewasa itu berat kamu nggak tahu! Mama cuma ingin seseorang untuk berbagi, salah?"

Hening. Tanggapan Riam adalah keheningannya.

"Sudah lebih dari sepuluh tahun. Ayah kamu nggak akan pernah kembali, Riam. Tolong paham," isaknya pelan. Lidya mengangkat wajah kemudian, menatap punggung Riam yang tampak dingin. "Sesalah itu? Kalau Mama.... jatuh cinta lagi?"

"Yes, it's that wrong," balas Riam tanpa menoleh.

"Itu perasaan yang normal, Riam. Kamu juga pasti─"

"Such feeling is bullshit, Ma!" Ia berbalik, gusar. "Your so called love... Aku nggak kenal. Nggak pernah. Dan nggak akan pernah!"

Lidya berdiri, ingin merengkuh sepasang lengan yang kokoh itu. Ingin menunjukkan cintanya yang tidak pernah bisa Riam pahami. Namun sebelum semua itu sempat terjadi, Riam menepisnya.

Seperti malam-malam dingin biasanya, Riam berlalu begitu saja ke kamarnya.

Hingga sulit mengingat kapan terakhir kali mereka bertukar ucapan selamat malam.

***

Seharusnya Riam sudah menduga, sejak hari pertama ia melihat senyum kelewat lebar itu, hidupnya tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi. Pagi-pagi, ketika ia masuk ke kelas, teror telah dimulai.

Di atas mejanya, terletak sebuah bungkusan kotak makan siang yang dibalut pita merah muda demikian besar. Sebuah kartu ucapan tersemat di bagian atas.

Pagi, Iyam! Biar harinya semangat, jangan lupa sarapan ^^

Una udah masakin nasi goreng spesial buat Iyam. <3

Una? Alis Riam terangkat dengan natural. Siapa?

Lalu ia melihat sosoknya melambai-lambaikan tangan di pintu. Senyum yang terlalu lebar, dan seketika, serentetan kalimat perkenalan yang cewek itu ucapkan kemarin muncul ke permukaan.

Skala Aluna. Kelas XI IPS 5. Pelajaran favorit olahraga dan jam kosong.... Riam buru-buru menggeleng. Tidak seharusnya hal setidak-penting itu berada dalam kapasitas otaknya. Harus enyah.

"Iyam!" sapanya dari pintu.

Panggilan aneh apalagi itu?! Ia segera mengalihkan pandang, tidak bersedia diasosiasikan dengan cewek sememalukan Una, yang saat itu tengah memeluk pintu.

Ia duduk dan segera mendengar bunyi yang ia bersumpah bukan bunyi keriut kursi. Tangannya beristirahat di perut, di situlah sumber masalahnya. Ia melewatkan makan malam kemarin, juga melewatkan sarapan hanya karena melihat sosok mamanya di meja makan.

Dan sekarang, aroma yang keluar dari kotak makan siang di depannya menggoda, teramat menggoda.

Sayangnya, cewek seukuran botol kecap itu masih setia di pintu.

"Oi, Am! Pagi lo dateng! Syukurlah!" Mitha melambai dari sisi Una, kemudian bergegas masuk sementara Riam mengangkat alis.

"Mau apa?" Pertama, ini bukan kelas Mitha. Kedua, ia tidak memiliki janji dengan anak itu. Ketiga, pemandangan wajah Mitha di pagi hari bisa memicu asam lambungnya naik.

"Bro!" Mitha menarik kursi terdekat, menggeretnya sehingga bisa duduk di dekat Riam. "Pinjem buku paket Bahasa Inggris, dong. Gue pelajaran pertama ada Bahasa Inggris, nih. Lo jam terakhir, kan?"

Riam bersedekap. Hanya ada sedikit kemungkinan jika Mitha sudah meminta tolong padanya: Saga belum datang, tidak ada lagi yang bisa menolongnya, atau kehidupan nyaris punah. Opsi pertama terdengar lebih masuk akal. Karena, tidak biasanya Mitha meminta padanya, tahu bahwa Riam tidak akan mentolerir kerusakan sedikit pun pada buku-bukunya.

Namun anehnya, hari ini Riam langsung memberikannya.

"Wahhh makasih, bro! Janji, abis istirahat gue balikin!"

"Hm."

"I love you, Riam!"

Riam menyergahnya, membuat gesture mengusir yang tidak lagi bisa melukai Mitha. Sudah terlalu sering, terlalu terbiasa.

"Istirahat ya, gue balikin!" Mitha berbalik pergi. Namun di langkah kedua, ia kembali memutar tumit. Tangannya menujuk kotak makan berpita pink di atas meja Riam. "Omong-omong dari siapa, tuh?"

Riam berdecap, mendorong kotak itu ke arah Mitha. "Ambil gih."

"Hah? Buat gue? Serius?!"

"Hm."

"ICIKIWIR! Makasih, bro! Kebetulan gue belum sarapan!"

Dan, seiring dengan Mitha yang bersorak kegirangan membawa buku paket bahasa Inggris dan satu set kotak makan dalam dekapannya, Riam melirik ke arah pintu. Ia menyunggingkan senyum tipis di sudut bibir, puas menyaksikan ekspresi kesal cewek itu.

***

Haaaa? Bagaimana, bagaimana???

Maaf ya, telat lagi, hehe. Semoga suka chapter ini.

Tebak-tebakan tadi jawabannya Bakso Aurat XD Ada yang bener?

Yang vote dan komen semoga bisa makan bakso lagi secepatnya ❤

Dahla, gajelas banget saya, wk. Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Jangan lupa baca cerita Saga juga ya di Epsilon. Oleh okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro