13. Blitzkrieg

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo~ yang kangen yang kangen mana nih~

***

Ketika gerombolan berbau campuran deodoran, gel rambut dan keringat yang dengan bangga menyebut diri mereka anggota Orion melewati kelompok Una di koridor, membuat mereka harus meminggir untuk memberi jalan, Rahma mengembuskan napas keras.

"Wah, mentang-mentang diterima di Orion mereka udah ngerasa sekelas Saga, Riam sama Mitha," dengkusnya pelan. Tidak berani menyuarakannya keras-keras.

Selemah-lemahnya anggota Orion, mereka setidaknya pemegang sabuk biru dalam Karate atau pernah mematahkan hidung orang sekurangnya satu kali. Karenanya, tidak begitu mengherankan ketika seseorang diterima dalam kelompok Orion, mereka akan merasa jagoan.

Hari ini, tidak seperti biasanya, anak-anak Orion terlihat terburu-buru pulang, bergerombol bersama sesama anggota lainnya.

"Hadu Aa Amin gantengnya!" Rifai menyapa cowok yang berjalan paling belakang, yang menyebabkan cowok berkulit sawo matang itu mendapat sikutan keras dari Rahma.

"Mulut lo dijahit bentar bisa nggak, Jenab?" ujarnya, mengipas-ngipasi wajah yang kegerahan.

Jakarta mungkin mencapai suhu 40 derajat di siang menjelang sore hari ini. Bersama teman-temannya, mereka mulai melintasi gerbang koridor menuju parkiran. Rahma menutupkan hoodie-nya ke atas kepala demi menghalau terik matahari, Una meletakkan tas ranselnya di atas kepala, Anin mengangkat kipasnya menutupi kening, dan Rifai ... memasang kacamata hitam.

Di parkiran, lagi-lagi terlihat anak Orion yang bergerombolan. Bahkan Saga, terlihat bersama Mitha dan Riam, sedang memasang helm. Buru-buru, Rahma menyikut Una.

"Gue punya feeling mereka bakal tawuran nih."

"Siapa?" Una mengedarkan pandang. Ia barusaja ditarik dari lamunannya mengenai menu makan siang sehingga mengalami disorientasi topik pembicaraan.

Rahma berdecap, menangkup kepala Una, lalu mengarahkannya tepat di mana Riam berada. "Calon masa depan lo."

"Silau! Nggak keliatan!" Una mengedarkan pandang, merampas kacamata Rifai lalu memasangnya.

Dengan intensitas cahaya yang menurun, sekarang ia dapat melihatnya lebih jelas, sementara Rifai di sisinya berteriak-teriak panik. "Aw silau! Gimana ini? Mata Bawang Putih bisa rusak!" serunya sambil mengangkat tas Rahma demi menyembunyikan diri.

Riam di sana, menaiki motor sportnya. Ducati Desmosedici D16RR. Tampak ... memiliki aura yang meningkat sepuluh kali lipat.

"Tapi dia nggak bawa mobil," jelas Rahma lagi, tampak berpikir. Menurut bisik-bisik yang pernah beredar, jika Riam sudah membawa mobilnya ke sekolah, alamat akan ada tawuran sore itu juga. "Tapi bisa aja sih, dadakan."

"Nggak mungkin, ah," sergah Anin tiba-tiba, membuat ketiga temannya memandanginya dengan kerutan di kening. "Riam sama Saga itu salah satu murid teladan. Riam... nggak mungkin kayak gitu," cicitnya.

"Nin." Rahma maju, kedua telapak tangannya ia letakkan di pundak gadis berambut lurus panjang tersebut. "Lo masih suka sama Riam?"

"E-enggak!"

"Beneran?"

Anin mengambil satu langkah mundur. "Iya bener kok! Gue engak─"

"Jangan gila, Nin!" Itu Una, yang menyergah tangan Rahma guna menempatkan dirinya di depan gadis yang lebih tinggi itu, Anin. "Batu Bernapas kayak gitu engak pantes disukai oleh lo!"

"Iya gue enggak─"

"Inget pepatah dari Muhammad Ali, letakkan dunia di hatimu tapi jangan di hati─"

Rahma menoyornya, membuyarkan kalimat yang susah payah Una panggil ke dalam ingatan. Setelah mengembalikan kacamata hitam Rifai agar cowok itu berhenti menarik-narik tasnya, Rahma bersedekap. Tatapannya tidak hanya tertuju pada Anin, tapi juga Una.

"Pertama, itu bukan dari Muhammad Ali tapi doa Abu Bakar, Umar dan juga Ali bin Abi Thalib. Tempatkanlah dunia di genggaman kami, bukan di hati kami. Dan itu bisa berlaku untuk lo juga, Una."

Una mengerjap. Kenapa tiba-tiba dirinya?

"Jadikan Riam dalam genggaman lo, bukan hati. Friendly reminder, jangan sampai lo baper."

***

Terkutuklah Naufal yang telah memilih tempat ini sebagai markas sementara mereka! Mitha bersumpah dalam hati sembari berusaha keras agar tetap terlihat tenang. Dan terkutuklah Denis yang tidak henti-henti memamerkan dongeng horornya pada anak-anak yang sedang duduk melingkar di lantai berdebu.

"Jadi, katanya lagi guys, rumah ini tuh bekas rumah istrinya orang Belanda yang tewas gantung diri!" Denis kembali bercerita, dengan suara dan ekspresi wajah yang menggebu-gebu, penuh misteri, ketakutan, yang memperkuat unsur seram dari cerita yang akan ia luncurkan. Di sebelah Mitha, Ojan tampak menyembunyikan wajah di belakang punggung Ali.

Denis menarik napas, bersama dengan tarikan napas di sekelilingnya. Ia tahu pasti, memberikan jeda pada kalimatnya akan membuat mereka semakin penasaran. "Bokap gue kan sering ke daerah sini, dan kadang gue di ajak. Pernah gue lewat ini rumah jam dua pagi. Dan gue liat dengan mata kepala gue sendiri...," Denis mengedarkan pandang, sementara Ojan dan beberapa anak lain terlihat siap melarikan diri, "ada yang berbaju putih, terus terbang di atap sambil cekikikan!"

"Hihihihihihihihi!"

Buk! Dhuak! Prang! Klontang! Gedebuk!

Mitha terjengkang di atas bokongnya dalam usaha kabur setelah Ray, dengan isengnya terkikik di telinga Mitha, membuat cowok bertubuh bongsor itu secara refleks lari ketakutan. Semua anak-anak di ruangan, tertawa seketika. Termasuk Ojan yang langkah kaburnya keduluan Mitha.

"Badan doang lo Mith di gedein! Nyali lo kayak Barbie!" teriak Denis, yang memicu lebih banyak tawa dari anak-anak.

Mitha mendengkus, mengibaskan debu dari bagian belakang celananya, yang berakhir dengan tawa lebih besar ketika Mitha, dalam usahanya melangkah marah, justru tersandung sapu dan kembali jatuh. Denis bahkan sampai menyemburkan air yang sedang ia minum saking gelaknya, dan Naufal berguling-guling di lantai memegangi perut.

"Kebanyakan tertawa itu bahaya, omong-omong."

Seketika, tawa di ruangan itu lenyap. Semua orang menatap Riam yang baru saja lewat dan sekarang sedang meraih sebotol air mineral dari atas meja.

Dengan tampang tidak peduli, Riam mengendikkan bahu, menumpahkan sejumlah air ke kerongkongannya, lalu menutup botol apat-rapat. Ia lalu menjelaskan. "Tertawa berlebihan bisa memicu pengempisan paru, rahang terkilir, hernia, aneurisma dan serangan jantung. Kalian bisa ketawa sampai rahang kalian nggak bisa balik ke tempatnya, atau pingsan. Yang terparah, menyebabkan kematian."

Semuanya menjadi bungkam selama hampir satu menit, hingga Denis angkat bicara. "Ah, lo Am. Jadi nggak seru, kan."

"Gue nggak melarang kalian tertawa. Silakan aja," jawab Riam, membawa botol air mineralnya berjalan melintasi ruangan. Ia kembali ke tempat istimewanya, di meja di pojok ruangan. Tempat paling bersih di rumah itu karena Naufal dan yang lain sudah mengelap mereka sebagai tempat untuk para pemuka Orion untuk berdiskusi.

Di sana juga telah ada Saga yang memperhatikan dengan senyum geli di wajah, sedang menikmati Cheetos kejunya.

"Silakan lanjutkan, guys." Saga menambahkan.

Namun semuanya hanya menatap satu sama lain, tidak ada lagi yang berani tertawa. Tidak ada yang meragukan pengetahuan Riam, atau jusru karena terlalu ragu apakah Saga hanya sedang bersikap ramah atau justru sarkastik. Lalu, sebelum semuanya semakin canggung, Yayan muncul tergopoh melintasi halaman setelah memarkirkan sepeda motor matiknya dengan sembarang.

Saga dan yang lain dengan sigap berdiri. Pemimpin Orion bertubuh setinggi 164 cm itu maju ke depan, melewati jalan yang telah diberi seluruh anggota Orion lainnya. Riam dan Mitha berdiri di belakangnya.

"Mereka ada sekitar lima puluh orang, Bang," lapor Yayan, napasnya masih jumpalitan.

"Kamu yakin? Udah dihitung semua?"

"Yakin, Bang!" Yayan mengangguk. "Mereka kumpul di belakang sekolah, terus sekarang udah berangkat ke TKP, ada yang numpang truk, ada yang pake motor."

"Senjata?"

"Ada yang bawa rantai, bat, gear, ... ada yang bawa golok sama celurit juga, Bang."

Orang-orang di sekitar Saga bertatapan. Tawuran kali ini tidak main-main, Taman Siswa memang berniat balas dendam. Sementara Saga sendiri, hanya mengangguk dengan santai dengan tangan terlipat di depan dada. "Ada lagi?"

"Udah Bang."

"Gimana?" Kali ini, Saga memindahkan tatapannya pada Riam, yang tampak berpikir.

Cowok berkulit keterlaluan putih itu berjalan kembali ke tempat mereka semula lalu mendudukkan diri, diikuti Saga yang mengambil duduk di depan Riam, lalu Mitha yang berdiri di sisinya. Anak Orion lain seperti Denis ikut berdiri di sekitar dengan memberi ruang. Riam meraih karton dan spidol yang sudah tergelar di atas meja. Ia mulai membuat titik-titik dari denah yang ada.

"Kita bakal ambil tempat tempat di sini, Flyover Pegangsaan Dua," tunjukkan menggunakan spidol. "Belum rampung. Ada banyak- yang bisa dipake di sana. Jadi kita nggak perlu khawatir dengan senjata sendiri." Telah menjadi kesepakatan tersendiri dalam Orion untuk sebisa mungkin menghindari membawa senjata tajam. Bukan hanya karena hal tersebut dianggap tindakan pengecut, tetapi risiko ketika ada anggota yang tertangkap polisi atau pihak sekolah akan menjadi jauh lebih runyam. Sebisa mungkin, mereka menghindari membawa barang bukti.

"Yang patut kita antisipasi lebih dulu adalah para pemimpinnya, si Gumala sama Franky. Mereka adalah otaknya, jadi seperti biasa, Saga lawan Franky, Mitha hadapin Gumala. Ketika para pemimpinnya udah tumbang, anak buahnya nggak butuh waktu lama buat mencar. Kita di sini kalah jumlah dan kalah senjata, jadi harus hati-hati. Gue pikir kita bisa mengadopsi stategi Blitzkrieg. Intinya, kita harus menyerang dengan cepat, dengan kilat. Tujuan kita adalah mengacaukan strategi mereka."

Tidak terdengar suara lain selama Riam menjabarkan. Kecuali geretan kursi yang ditarik Saga mendekat. Cowok itu mencondongkan tubuh melalui meja. "Oke. Jelasin."

"Jadi kita akan bagi beberapa kelompok untuk mengecoh, dan juga untuk mengepung. Kita bagi dalam 4 kelompok, totalnya. Kelompok 1 dan 2 bergerak lebih dulu, diam-diam, dari belakang. Sisanya bakal menghadapi kayak biasa, dari depan. Tim pertama lo yang pimpin, Ga," pada kalimat itu, Riam mengalihkan tatap dari peta di atas meja kepada Saga sebagai penekanan. "Lo bawa lima orang anak buah sama lo, yang cekatan dan pintar sembunyi. Kalian bakal menyerang dari belakang. Tugas lainnya, kalian serang informan mereka, si Rizky sama Topan biasanya yang jaga di belakang. Jangan sampai mereka tahu ada anak Orion lain."

Saga mengangguk sekali, Mitha setidaknya mengangguk sepuluh kali sepanjang penjelasan. Tidak ada yang menyela, ini adalah momen langka khusus menghadapi tawuran ketika Riam bicara, benar-benar bicara.

Kemudian cowok itu mengangkat pandangnya lagi, kali ini menemukan Denis yang bersandar di dinding.

"Tim kedua, gue saranin Denis sama anak buahnya. Si Dito mantan anak TS, seharusnya mereka tahu kebiasaan dan rencana-rencana si Franky CS. Menurut kebiasaan, TS nggak bakal langsung bawa senjata di awal, mereka sembunyikan dulu lalu diambil saat genting." Kepada Denis, Riam mempertahankan tatapannya. Dingin, tajam, serius. Seserius ucapannya. "Yang harus kalian lakukan adalah, temukan dimana mereka simpan senjata itu, buang."

Ketika Denis mengangguk, Riam dengan kasual mengangguk pada Mitha.

"Tim Mitha datang dari depan sama sisa anak Orion yang lain. Karena terakhir kali kita udah mengecoh mereka dengan jumlah, jadi sekarang kita harus membuat mereka yakin dengan jumlah kita."

Sekali lagi, Riam menoleh pada cowok tinggi besar itu. "Suruh kira-kira sepuluh anak jalan di belakang lo, ngumpet. Jangan terlalu rapi, biar mereka temukan dan anggap trik kalian terbongkar. Anak TS nggak bodoh, tapi juga nggak sepintar itu. Buat mereka percaya bahwa mereka udah berhasil ngakalin kalian."

"Siap!" Mitha mengacungkan kedua jempol besarnya. "Ntar gue suruh Naufal sama anak-anak yang jago ngumpet kalo ditagih hutang itu."

Riam menganguk. Seskali lagi, ia memusatkan perhatian pada titik-titik hitam di atas karton putih di atas meja. "Jadi, Mitha dari depan, Saga dan Denis di belakang. Tumbangkan informan dan buang senjata mereka. Ingat, begitu ini dimulai, lakukan dengan cepat. Tujuan kita adalah memecah mereka. Jangan sampai mereka punya waktu untuk back out terus jadi solid lagi. Serang dari segala arah. Sampai sini, ngerti?"

Ketika ketiga orang di depannya sudah mengangguk paham, Riam menggulung kartonnya, menyerahkannya pada Yayan untuk segera dibakar. Mereka, semuanya, segera berdiri, bersiap-siap. Pertarungan sudah dimulai. 

***

So, it was a long wait, hope you like this chapter XD

Jujur aja, ini chapter paling berat buat saya karena mesti guling-guling meres otak dulu buat mikirin strategi orang berantem gimana lol. Nggak bisa nulis action aku tuh :(

Makanya, lama. Moga suka, ya. See you (hopefully) soon!

PS: Chapter berantemnya bisa dibaca di seri Orionis: Epsilon nanti ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro