25. Basket Rasa Voli

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit kusam malam ini, seperti biasanya. Bahkan jika Riam membawa binokularnya, ia ragu apakah masih dapat menemukan Sabuk Orion yang berjejer tiga; si delta, epsilon dan zeta, sabuk yang membawa ilham pada predikat untuknya, Saga dan Mitha. Bersinar bersama-sama, dengan warna masing-masing, saling menjaga, menciptakan kombinasi yang sempurna.

Getar di saku jaket mengembalikan Riam dari lamunannya. Ia menarik ponselnya keluar dan tanpa berpikir membuka kotak masuk ruang obrolan.

Una Cute: Iyam lagi apa?!

Riam menatap pesan itu sebentar, mempertimbangkan untuk membalas ataukah mengabaikannya. Kecenderungannya condong kepada opsi kedua; menutup pesan, meninggalkannya dengan tanda telah dibaca. Namun rupanya, jarinya tidak sinkron dengan otak sehingga tahu-tahu, Riam telah menemukan dirinya mengetik balasan.

Nggak ngapa-ngapain.

Pesan yang baru dikirimnya mendapat tanggapan kurang dari satu menit kemudian.

Una Cute: Iyam udah makan?

Memangnya penting? Pikir Riam. Ia tidak sempat memberikan balasan apa pun. Saga telah mengakhiri obrolan ringkasnya di telepon dengan ketua Rascal Crew, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. Riam memasukkan ponselnya kembali ke saku jaket dan memasang tampang default-nya, datar.

Ia sedang berada bersama anak-anak Orion sekarang. Rencananya, mereka mau mengadakan pertandingan futsal yang sebenarnya, sangat malas Riam ikuti. Tetapi mamanya ada di rumah sekarang dan ia tidak ingin wanita itu mengetuk kamarnya atau apapun. Ia tidak ingin melihatnya. Lebih baik terjebak di sini.

Tanpa berkata apa-apa, Saga melemparkan sarung tangan kiper padanya. Yang tentu saja, akan ditolak Riam. Kecuali, Saga punya ancaman kuat.

***

Perkelahian baru saja pecah di halaman parkir gedung futsal yang berseberangan langsung dengan kafe Milazzo. Orion melawan anak TS, begitu saja. Mereka datang, tanpa diundang, tahu-tahu saja mengajar perang.

Anak-anak Orion baru menyelesaikan pertandingan seru-seruan mereka, bercanda-canda di depan gedung dan di atas motor sambil mengunyah kacang, ditemani minuman bersoda, dan batang-batang rokok. Riam berdiri menjauh waktu itu, menghindari asap rokok yang dibencinya ketika tatapannya menyeberang ke arah kafe dan melihat sebuah mobil baru saja membelok ke parkirannya. Riam mengenali platnya. Dan otaknya yang sesaat rileks oleh permainan tim, oleh candaan Orion, oleh pesan-pesan tidak penting di ponselnya, mendadak diingatkan kembali akan perasaan yang merongrongnya acap kali. Perasaan marah. Kebencian.

"Gue duluan," ujarnya, meraih helm. Seketika yang ia inginkan adalah pergi jauh-jauh. Seolah dengan begitu, ia juga dapat membuang perasaan marahnya jauh-jauh.

Namun ia belum beranjak kemana-mana dan bahaya dalam bentuk Taman Siswa muncul di antara mereka. Atau bagi Riam, TS bisa menjadi pelampiasan yang tepat.

Lawannya kali ini tidak begitu menyulitkan. Kebanyakan anak baru. Yang paling berat adalah Randil, seorang senior TS, bertubuh kecil dan ulet seperti Saga sehingga gerakan sulit terbaca. Cowok itu berhasil mendaratkan dua kali bogem mentah yang merobek sudut bibir Riam sebelum Riam menumbangkannya dengan tendangan kuat di kaki dan perut. Secara umum, pertarungan dadakan dengan Taman Siswa seperti pertandingan biasa-biasa. Mereka berhasil mengatasinya.

Kecuali, ada yang berbeda.

Mitha sering hilang kendali di lapangan. Jika ia sudah mulai, ia hampir tidak bisa mengakhirinya, menyerang membabi buta pada setiap lawan. Itu sudah biasa disaksikan. Denis hampir sama, kecuali anak itu sedikit lebih memakai otak agar wajahnya tidak terluka. Saga ..., berbeda. Dia selalu yang paling santai dalam keadaan segenting apapun. Selalu menyengir bahkan jika lawan mereka telah mengayunkan samurai di depan mata.

Kali ini, Saga tampak kalap hingga Riam harus menahannya.

"Ga, anak orang bisa mati, Ga!" Tegur Riam, menahan kuat-kuat anak itu dari menghujamkan patahan kayu runcing pada Franky. Tidak, Orion tidak bermain demikian.

Anak-anak TS telah berhamburan kabur meski tidak ada sirine polisi. Riam membuka mobil Saga bersama cowok itu, luka di kepala ketua geng Orion itu tampak parah. "Gue antar lo ke RS."

Di luar dugaannya, Riam didorong menjauh, lalu anak itu mengemudi mobilnya sendiri dengan cepat, keluar dari lahan parkir dan membelah jalan raya tanpa mengatakan apa-apa.

Mitha buru-buru menghampiri tempat motornya diparkir. "Biar gue susul si Saga."

"Nggak usah." Perkataan Riam menghentikannya. Mitha menurunkan kembali helm yang baru akan ia pasang ke kepala.

"Kenapa? Itu anak lagi luka, Yam!"

"He needs time to be alone." Riam teringat lagi dirinya. Saat ia terluka, ia tidak memerlukan tatapan kasihan, bahkan dari teman-temannya. Ia tidak ingin memperlihatkan sisi buruknya, sisi lemahnya. Sendirian lebih baik. Sekarang, apa yang membedakannya dengan Saga? "Dan dia udah gede, dia bisa ke dokter."

"... Oke deh." Meski ragu, Mitha sepertinya sepakat untuk tidak mengejar Saga. Cowok itu memasang helmnya, kemudian menoleh pada Naufal. "Jadi kan, mau pada nginep di rumah lo? Jangan lupa mampir apotik buat ngobatin yang luka-luka tuh!"

Sejak awal Riam menolak ikut acara kumpul lanjutan yang mereka rencanakan. Jadi tertinggallah ia di tempat parkir yang sepi sementara yang lain telah menggeber motor ke rumah Naufal.

Riam memasang helm, memasukkan sarung tangan kiri, lalu baru akan berlanjut ke yang kanan ketika sebuah bayangan muncul di depannya.

Dia lagi. Riam sempat melupakan keberadaannya dan mobil itu sesaat.

"Kak Riam!"

Cowok yang berdiri di bawah sinar lampu jalan itu adalah Aksal. Ada senyuman yang bisa Riam lihat jelas meski di bawah minimnya cahaya. Cowok itu berjalan mendekat ke arahnya, menghalangi motor sehingga Riam tidak akan bisa kabur dengan mudah.

"Kak Riam kenapa nggak datang pas ulang tahun papa?"

I did. But no one gives a fuck. "Males. Minggir."

"Jangan pulang dulu. Mumpung ketemu, ngobrol dulu."

Ngobrol, katanya? Seolah ia dan Riam adalah saudara akrab. Seolah anak itu tidak pernah merebut satu-satunya sosok Ayah yang Riam punya.

"Lo abis berantem, Kak?" lanjut Aksal lagi dengan pertanyaan-pertanyaan polosnya. Bahkan dinginnya jawaban Riam seolah tidak berpengaruh.

"Bukan urusan lo."

"Lo luka."

Riam menyergah Aksal yang berusaha meraih luka robek di buku tangannya yang tidak mengenakan sarung. Rasanya perih tapi bukan di sana. Keberadaan Aksal menjadi faktor penyebab.

"Bukan urusan lo," ulang Riam. Kali ini, penekanan dalam kalimatnya berhasil membuat Aksal mundur satu langkah.

Riam meliriknya dengan sudut mata. Poninya jatuh menutupi kening, tubuhnya cukup tinggi sekarang, hampir menyamai Riam. Ada banyak perubahan darinya yang dikenali Riam meski hanya dengan bantuan lampu jalan.

Tetapi, Riam seharusnya tidak peduli, otaknya mengingatkan demikian. Jadi ia menstarter motor. Dan masih dengan sebelah tangan tanpa sarung, berdarah di buku-buku, Riam melaju. Ia membiarkan angin malam yang dingin menyerbu, menggigiti lukanya, mengeringkannya.

***

Sabtu pagi lapangan dipenuhi anak-anak. Apalagi kalau bukan anak-anak cowok yang bermain basket dengan seragam klub basket Buana Cendikia dan nomor punggung dengan tulisan nama masing-masing di bawahnya.

Riam ikut. Sekolah mewajibkan setiap murid mengambil setidaknya dua ekstrakulikuler. Riam mengambil renang dan basket yang memang ia kuasai sebelum Bu Mirna mendaftarkan namanya pada kabinet OSIS. Tidak, dia punya alasan untuk tidak pernah berabung dengan organisasi yang satu itu. Ayahnya mungkin bangga, tapi ... Aksal adalah anak OSIS, meskipun di sekolah berbeda.

Dan meskipun ia benci berkeringat, sekarang masih terlalu pagi dan Riam tidak bersikap seperti Denis yang berlarian ke sana kemari, dengan headband di kepala, dan seluruh tubuh dilengkapi atribut handband dan leg sleeves. Keringat bercucuran di wajahnya, membasahi rambut. Di lain sisi, Riam mengandalkan instingnya, membaca situasi, menempatkan diri pada posisi-posisi strategis menunggu kesempatan baginya untuk merebut bola. Baginya, begitu lebih emat energi.

Denis terlihat mendribble bola dari menuju arena permainan lawan, mengecoh beberapa orang. Sayang, hal itu hanya berjalan sebentar. Karena begitu senyumnya rekah, bola yan tengah ia dribble berhasil dicuri oleh Yoga, anak IPS 1 yang berkulit sawo matang dan bertubuh jangkung. Yoga tidak membuang banyak waktu, ia segera mengoper bola ke salah satu rekannya yang sedang kosong, lepas dari pengawasan, si Wawan. Wawan berlari sembari men-dribble bola cepat.

Riam bergerak sekarang, menyejajarkan langkahnya mengikuti Wawan yang berada di sayap kiri, dan ia di tengah lapangan. Riam mengedarkan pandang dengan cepat. Dari tim lawan, Yoga sedang tekepung, Begitu pun Naufal yang dijaga ketat oleh Mitha. Hanya Nito yang agak lapang, bergerak agak di belakang sementara yang lain berada di jarak yang terlalu berisiko untuk melakukan passing. Pasti, dia akan pass ke Nito, tebak Riam. Maka cowok itu mempercepat langkah, berusaha berada di antara Wawan dan Nito saat bola melayang di udara. Riam melompat, bola jatuh ke tangannya, intercept-nya berhasil.

Keriuhan terdengar segera setelah Riam berhasil melakukan jump shoot usai mengelak dari man to man dengan Nito. Anak-anak mengerubunginya, menepuk-nepuk punggungnya. Mitha bahkan memukul belakang kepalanya keras sebagai bentuk perayaan. Dan para penonton, meneriakkan namanya. Riam tidak ingin, tetapi entah bagaimana caranya ia mengenali suara yang memanggilnya paling keras. Riam tidak ingin menengok, tapi tanpa bisa dikendalikan sudut matanya telah menangkap pemandangan Una yang melompat-lompat dari barisan depan.

Cewek itu, astaga.

Skor timnya bertambah bertepatan dengan peluit yang menunjukkan waktu istirahat. Semua anak berkumpul ke ujung lapangan tempat semua tas mereka berkumpul. Tidak ada lagi Tim A dan Tim B sekarang, semua orang berbaur. Riam meletakkan handuk kecil ke tengkuknya, mengelap keringat yang mulai mengumpul. Ia membuka air mineral dan menenggaknya, merasakan sensasi dingin membasuh tenggorokan.

"Ah seger!" Seru Mitha yang baru selesai menghabiskan nyaris sebotol air mineral. "Babak kedua gue nggak main, ya. Eddy aja yang gantiin tuh. Ngantuk gue, mau tidur. Mumpung pelatih ga liat ya kan. Yang penting gue udah main."

"Napa lo? Begadang?" Denis menanggapi. Cowok itu menumpahkan sisa air di botol ke kepalanya, membawa sebagian cewek-cewek di ujung lapangan histeris. Denis melambai pada mereka.

"Iya, lah. Nonton Suzzana seru banget!" Itu Naufal yang menyahut. Kenangan tadi malam rupanya masih membekas dibenaknya hingga ia kembali tertawa sampai tersedak. "Yang Bokir kolornya ditarik panjang banget, hahaha."

"Masih aja nonton film begituan?" Denis menggeleng tidak habis pikir.

"Seru, tahu," sanggah Mitha, dengan gahar ia menyapukan handuk ke suluruh muka.

Ada kediaman sebentar, sebelum Denis kembali buka suara. "Saga mana?"

"Nggak masuk, kayaknya. Semalam kepalanya bocor."

Tidak ada pertanyaan lagi setelah itu, meskipun normalnya orang akan penasaran apa yang terjadi. Denis melempar botol minumannya yang kosong ke tempat sampah dan menyingkirkan tasnya ke sudut agar ia bisa duduk ketika kali ini, Mitha yang menanyainya.

"Eh, elo tadi malem kemana, deh? Katanya mau ikut tapi malah kabur. Lo nggak kabur karena liat anak TS, kan?"

"Enggak lah. Bokap gue nelpon, nyariin."

"Huuu anak papi lo, cemeeen!"

Riam tidak lagi menyimak obrolan selanjutnya. Perhatiannya jatuh ke arah penonton, pada cewek-cewek dan sebagian kecil cowok yang berkumpul di tepi lapangan. Pada seorang cewek yang baru saja menjauh dari kerumunan, dengan sekelompok cewek mengekor di belakangnya.

***

"Lo Una, anak IPS5?"

Pertanyaan itu terlontar segera setelah sekelompok anak perempuan mencegatnya. Dari lambang di bagian kanan seragamnya, mereka anak IPA, kelas XI sama seperti Una.

Una memejamkan mata. Haduh, siapa lagi ini? Nanti aja ngobrolnya, gue mau pipis!

"EH, KALO ORANG NANYA TUH, JAWAB!" Teman dari cewek pertama menggertak, membuat Una berjengit dan keinginannya untuk pipis semakin menjadi-jadi. Ia sampai harus merapatkan paha untuk menahan diri.

"Iya, bener, kok. Skala Aluna, IPS5, Hobi tidur, baca Wattpad sama fangirlingan," jawabnya cepat, mengulurkan tangan. Yang ditepis kasar cewek di depannya.

"Jadi elo yang berani-beraninya deketin Riam?!"

Iya-in aja dah biar cepet! Mau pipis!

"Iya!"

Cewek-cewek di depannya terkesiap dramatis, mengerjapkan mata, lalu mengeluarkan decakan mencemooh.

"Modelan kayak gini?!"

"Ya ampun! Jelata!"

"Lo punya kaca nggak, di rumah?!

Ejekan mereka dilontarkan beruntun. Namun saat-saat seperti sekarang, semua yang dapat Una pikirkan adalah cara ke toilet secepatnya. Tidak ada waktu untuk sakit hati.

"Maaf, nggak jualan kaca. Permisi dulu, ya!"

Una berbalik, namun salah satu cewek menarik lengannya, memutar Una kembali ke posisi semula. Sesaat Una mengerti, ia sedang berada dalam adegan seperti di drama-drama Korea itu, atau FTV, dimana si tokoh utama akan mengalami perisakan dari cewek-cewek yang iri. Kecuali, biasanya tokoh utama tidak sedang kebelet buang air kecil.

"Beraninya lo ya, ngerebut calon pacar gue!"

Cewek itu dengan nametag bertuliskan Meyriska itu mengangkat tangannya ke udara, siap untuk menggeplak Una kalau saja, sesuatu tidak menghentikan mereka.

Bukan Riam. Tapi sebuah bola. Sebuah bola yang melayang ke arah Una.

Dalam keadaan panik dan tidak dapat berpikir, refleks Una mengambil alih. Sudut matanya menangkap pergerakan bola, ia sontak mundur selangkah, kedua lengan bersatu dengan tangan yang dirapatkan satu sama lain. Lalu, Una menyentaknya. Yang selanjutnya terjadi adalah bola memantul keras dari lengan Una ke cewek di depannya, persis mengenai muka, membuatnya terjatuh ke lantai.

Tanpa sengaja, Una telah melakukan passing bawah yang keras ke muka Meyriska. Tidak terkembalikan.

Dan kalau saja ia sedang berada di satu pertandingan voli sekarang, pasti ia telah mencetak skor.

***

Part depan bakal fokus scene Iyam - Una.


PS: Berantem yang lebih seru baca aja di lapak Saga okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro