39. Kiss or No Kiss

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pacarnya Riam absen dulu~

Happy reading~

***

Dear, Riam.

Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi kamu tahu siapa aku. Aku tahu kamu baca surat-surat ini. Dan ada satu hal yang aku mau kasih tahu.

I've been crying a lot these days, thinking of you. Aku udah berusaha keras untuk melupakan kamu, I do. Aku tahu kamu nggak suka sama aku. Aku tahu aku udah ditolak. Aku tahu kamu mungkin suka orang lain. Tapi aku nggak bisa berhenti begitu aja, bener-bener nggak bisa. Aku ... nggak rela liat kamu sama cewek lain.

Kalau boleh, aku mau minta tolong. Tolong, kasih aku kesempatan, satu kali aja. Aku janji aku bisa lebih baik dari dia. Aku bisa bikin kamu bahagia. Aku sayang kamu, Riam. Seandainya kamu bisa lihat sebesar apa.

Aku nggak pernah memohon apapun, pada siapa pun. Tapi sekali ini, aku seputusasa itu. Tolong ... kasih aku kesempatan.

Bersama dengan surat ini, aku bawa satu buah apel dan jeruk. Kalau jawaban kamu ya, ambil apelnya, kalau enggak, ambil jeruknya.

Aku mohon.

Riam membolak-balik amplop berwarna putih dan biru pastel wangi yang membungkus surat itu. Tidak ada nama pengirim. Dan ini adalah surat kesekian yang Riam terima dalam dua minggu belakangan. Tulisan yang sama. Goresan kalimat yang terukir cantik dan amat rapi. Jelas bukan Una. Riam tidak mengenalnya. Atau sebenarnya, ia tidak bersedia ambil pusing sama sekali.

Di lokernya atau di laci bawah mejanya, atau bahkan di dalam tas, ia kadang menerima hadiah dan surat cinta. Terutama di bulan Februari, biasanya. Hal itu sedikit berkurang setelah rumor ia yang pacaran dengan anak IPS menyebar (yang sama sekali tidak Riam pedulikan). Tetapi belakangan, surat itu datang semakin sering. Dengan tulisan yang sama, amplop dan kertas dengan motif serupa.

Riam menatap buah apel dan jeruk di dalam loker, keduanya tampak segar. Ia mengambil buah apelnya, lalu jeruk, lalu memanggil Tyo yang sedang berjalan melewatinya.

"Ada apa, Am?" Cowok itu bertanya kebingungan. Biasanya, disapapun Riam tidak akan menyahut. Tiba-tiba hari ini ia memanggil.

Riam melemparkan padanya kedua buah di tangan tanpa aba-aba, membuat Tyo menyambutnya dengan gelagapan.

"Buat sarapan," tukas Riam.

Lalu, seperti yang sudah-sudah, Riam memasukkan kembali surat tadi ke dalam amplopnya dan berjalan menuju ujung loker sebelum, tentu saja, membuangnya ke tempat sampah. Hal yang berbeda kali ini adalah, dan Riam tidak sadar akan hal itu, seseorang tengah mengawasinya, tengah menanti jawabannya.

***

SMA Buana Cendikia memiliki sebuah taman yang memisahkan antara lapangan outdoor basket dengan lapangan voli dan menghubungkan bangunan satu dan lainnya. Taman itu berbentuk persegi panjang dengan petak-petak rerumputan dan semak-semak bunga, dipisahkan oleh jalan-jalan setapak berkerikil, juga dipagari oleh deretan pinus di sekelilingnya. Terdapat sebuah air mancur di tengah, serta dua buah gazebo masing-masing di bagian utara dan selatan.

Di salah satu gazebo, seorang cowok tinggi, berkulit sangat putih seperti vampir namun memiliki rambut hitam yang lebat dan alis hitam yang rapi sedang mengerutkan alis dengan tatap kebencian. Sementara di sampingnya, seorang cewek dengan rambut dikuncir dua tinggi tengah mengemil keripik kentang, terlalu tenggelam dalam dunianya dan keripik kentang hingga tidak menyadari apapun.

Una sedang menjilati sisa-sisa bumbu di ujung jari ketika lagi-lagi, Riam menggeplak kepalanya dengan buku Bahasa Inggris.

"Belajar!"

"Ouch, Iyam!" Una memajukan bibirnya dan mengusap-usap kepala. Riam tidak pernah main-main kalau memukul orang. "Main pukul aja! Kalau gegar otak gimana?!" sungutnya lagi.

"Bagus. Siapa tahu otak lo jadi encer."

Una membuka mulut, ingin membalas kata-kata Riam yang menghina, tetapi batal karena jelas, Teacher Iyam memang selalu segalak itu, dan dia tidak mau mengambil risiko. "Ini kan udah belajar! Apa lagi?"

"Lo cuma makan dari tadi. Ini soal 14 sampai selesai belum dijawab."

"Banyak amat sih! Sepuluh aja, kenapa?!" Una mendengkus. Tetapi, ia tidak punya pilihan lain selain meneruskan menjawab soal latihan yang Riam berikut. Jika sebelumnya ia berhasil melakukan cap cip cup dalam hati dalam memilih jawaban yang pas, soal berikutnya lebih mengerikan. Soal reading text dengan panjang enam paragraf yang memenuhi satu halaman.

"A ... healthy mind in a healthy body," Una membaca dengan pengucapan lokal dan merakyat. Belum apa-apa, dan kepalanya sudah berputar-putar. Sekarang masih sore tetapi bintang-bintang telah berpendar di atas kepalanya. " ... First, we must get regular pisi- pishy- physical exercise-"

Una terhenti, lalu menarik napas yang mulai terengah dan mengelap liur di sudut mulut. Sambil menatap Riam, ia mengibarkan bendera putih yang hanya ada dalam imajinasinya saja. "Au ah! Nggak tahu artinya, susah!"

Riam menurunkan buku lain yang tengah ia baca. Sebuah buku lainnya yang ditulis dalam Bahasa Inggris, bedanya, buku yang dipegang Riam berisi paragraf, seluruhnya, membuat Una bergidik ngeri.

Cowok itu memandangi Una dengan tatap dingin. "Pake kamus kan bisa?"

"Una tuh nggak mau pake kamus terus, Iyam. Pengen bisa pelan-pelan memahami."

"Yaudah, pahami."

"Tapi susah, nggak paham!"

Satu detik. Dua detik. Ketika Riam menatapnya seperti akan mengulitinya hidup-hidup, Una meneguk ludah dan mengalah. Buru-buru ia meraih kamus. "Iya! Iya! Ini nyari artinya!"

Setelah beberapa saat, Una pun menunjuk soal nomor 14 di buku paketnya. "ini jawabannya. D. How to balan- balance," ucap Una, mengeja sekali lagi dengan amat jujur. "Kok kayak nama mbak-mbak cucok yang suka main depan kompleks ya? Mbak Tince."

"Bæləns," ucap Riam, membenarkan. Una mengulangnya pelan-pelan. "Belens? Bæləns. Bæləns."

Keseriusan cewek itu, yang sedang mengangguk-angguk sembari terus melafalkan kata yang sama mau tidak mau membuat bibir Riam tertarik ke arah berbeda. Tangannya telah bergerak di udara, hampir menyentuh rambut Una ketika akal sehat membuatnya membatalkan refleks itu. Terutama ketika Una menoleh ke arahnya, membuat Riam gelagapan.

"Kalau ini dibaca apa, Iyam?" Tangan Una menunjuk sebaris kalimat di buku, bertuliskan. ... Magnesium and phosphorus are necessary for the growth of our bones and teeth.

"Mægˈniːziəm ænd ˈfɒsfərəs ɑː ˈnɛsɪsəri fɔː ðə grəʊθ ɒv ˈaʊə bəʊnz ænd tiːθ"

Una ternganga. Lalu senyum canggung menghiasi bibirnya. Kedua tangannya bertepuk tangan keras. "Iyam hebat! Kalau Una cuma tahu kata ini," ujarnya, menatap Riam berbinar-binar. Kedua tangan sekarang mendekap dada. "Thank you. I love you!"

Dua frasa yang paling umum, yang akan diketahui siapa saja. Dua frasa yang mungkin paling sering didengar. Seharusnya, dua frasa itu tidak berpengaruh apa-apa. Tetapi di depan Riam, Una menatapnya dengan begitu yakin seolah seluruh tubuhnya membenarkan semua yang ia katakan.

Dan hal, mau tidak mau, membuat darah mengalir naik ke wajah Riam. Hingga ia harus berdeham dan membuang pandang agar tidak mempermalukan diri,

"Udah, lanjutin belajarnya."

***

"Kalo pakai -ing belakangnya berarti sedang terjadi?"

"Hm."

"Kalau kamu harus belajar! Itu nyuruh, kan? Berarti nggak boleh pake -ing?"

"Nope, just verb one."

"Maksudnya kata kerja pertama?"

"Hm."

"Berarti study, kan, Iyam? You must study hard, yang B?"

Ketika Riam mengangguk disertai senyum tipis di bibirnya, cewek itu melemparkan kedua lengan ke atas dan berteriak girang. "GUE BISA! Ya ampun gue bisa Bahasa Inggris! Jangan-jangan keturunan bule~"

"Pfft." Riam menahan tawa, berusaha keras untuk tidak terlalu memperlihatkan betapa terhiburnya dia.

Sudah cukup lama sejak pulang sekolah. Dua jam yang lalu. Artinya, sudah dua jam pula ia terjebak di sini, bersama cewek ajaib ini serta bungkusan jumbo keripik kentang yang tidak ada habisnya. Tapi anehnya, Riam tidak merasa keberatan. Sama sekali.

Bahkan jika mungkin, ia tidak ingin senja datang terlalu cepat dan semua ini harus berakhir.

Cewek itu sedang menunduk, bergantian antara membaca di buku teksnya, mencari makna kata di kamusnya, dan sesekali menyuapkan keripik ke mulut. Bibirnya bergerak-gerak, melafalkan kata yang sama terdengar. Dan seketika, ingatan Riam dibawa kembali pada apa yang cewek itu ucapkan tadi. Atau mungkin, ingatan itu memang tidak pernah hilang dari pikirannya seberapa keraspun Riam mencoba untuk melupakan.

Thank you. I love you.

I love you.

I love you.

Dia tidak sedang serius kan?

Bagaimana dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah?

Bagaimana dia bisa mengatakan kata-kata yang akan selalu terhenti di ujung lidah Riam?

Meski mungkin, hanya mungkin, ia turut merasakannya. Sedikit. Hanya sedikit. Rasa ... suka itu.

Riam tidak tahu. Tetapi saat itu, bias matahari sore menerpa wajah Una, angin sore meniup rambutnya sedikit, dan bibirnya tidak pernah berdiam diri. Dan, semua yang ingin lakukan adalah menghentikan waktu dan memiliki momen ini selamanya. Memilikinya. Mendekapnya. Menciumnya.

"Na?"

Cewek itu menoleh, dan keinginan itu tidak berkurang. Justru bertambah.

Jadi, yang Riam lakukan adalah menelengkan kepalanya sedikit, dan mendekatkan wajah dalam upaya menghapus jarak. Ia dapat merasakannya, napas hangat yang terburu-buru di ujung hidungnya, menerpa pipinya. Lalu ...

Riam terhenti.

Una telah menyuapkan keripik kentang ke mulutnya dan menyengir lebar, amat canggung, amat gugup. Ada rona merah yang sangat kontras di pipi cewek itu ketika mereka saling tatap.

Namun sebelum ada kata yang ditukar, atau membuat kecanggungan yang ada semakin jelas, dering notifikasi pesan obrolan di ponsel menyelamatkan Una. Atau sebaliknya.

Na, jengukin Anin yuk. Hari ini dia izin pulang cepet karena sakit.

***

Gimana? Apakah kalian suka dengan part ini? Vote dan komennya ditunggu ya 🥺🥺🥺

PS: Baca cerpen saya berjudul Ketika Hujan yang merupakan antologi dari Wattpad Stars di akun @WattpadIndonesia (ada di following)
Dan subscribe juga work baru berjudul Sebelas Desember di akun ini ^^

PSS: Baca juga Orionis Epsilon by okkyarista

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro