55. Obrolan Telepon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditanyain Iyam, tuh, sudah makan?

Part ini ... kalau bikin mual ... aku bisa memakluminya hahah. 

Happy reading!

***

"The Lion was so tickled by the idea. Lion itu tadi singa, so itu s

angat. Singa itu sangat ... tickled... tickled..."

Una meraih kamus di atas meja lagi, mencari di huruf T, lalu menelusuri setiap kata huruf kedua setelah abjad pertama. Ta... Te... Ti... Tickle, ini dia! Bahkan mencari satu kata saja begitu memusingkan. Tapi kata Anin, memang harus begitu. Dilarang keras mencari arti kata lewat ponsel yang pasti jauh lebih mudah. Kesulitan yang dialami saat mencari satu kata di kamus bisa menjadi apa yang membuat kita ingat dengan kata tersebut. Bahkan meskipun tidak ingat dalam sekali cari, berkali-kali mencari kata yang sama akan membuat kita ingat, mau tidak mau. Dan katanya juga, sekiranya capai mengerjakan latihan terus, Una bisa membaca cerita pendek bahasa Inggris, setidaknya ia bisa belajar dan menikmati satu cerita sekaligus.

"Tickle artinya menggelitik. Tickled, pakai –ed, berarti bisa jadi telah menggelitik atau digelitik. Kayaknya yang kedua─"

"Cieee yang rajin~"

Una menghentikan gerakannya yang tengah menulis untuk menoleh ke belakang, pada makhluk jadi-jadian yang tengah duduk santai di atas kasur. Una bahkan tidak mendengar kapan ia membuka pintu dan masuk. Benar-benar jadi-jadian. Dan namanya Deon.

"Lo sendiri kan udah ulangan. Nggak belajar?" balasnya sewot.

"Ah, orang pinter dari orok mah beda, nggak perlu belajar," jawab Deon sembari bersiul-siul.

Sekali lagi ia bersiul, Una berjanji, kamus tebal di tangannya ini akan melayang mengenai kepala seseorang di ruangan ini. Yang jelas, bukan kepalanya.

"Awas aja kalo semester ini bagusan gue rankingnya! Nggak jadi dapat sepeda baru lo," ujar Una, memeletkan lidah. Hal yang sedikit banyak, memantik dengkusan dari Deon.

"Nggak mungkin~ Gue kan bukan anak pungut!"

Kurcaci setan ini! Una mengeratkan tinju. Bukan rahasia umum lagi kalau keluarganya terkenal pintar. Ayahnya guru, ibunya adalah pemegang ranking satu tetap semasa sekolah dulu, Argi tidak perlu dipertanyakan kecerdasan dan prestasinya, sementara Irgi, meskipun tipe yang suka main-main, nilai akademisnya cukup fantastis meski Una tidak pernah melihatnya benar-benar belajar. Dan Deon, yeah, sialan, dia juga seberuntung Irgi. Karena itu, mereka kerap mengejeknya anak pungut gara-gara selalu ranking bawah.

Mungkin, waktu di dalam perut, Argi dan Irgi sudah menyerap habis seluruh gen pintar yang diturunkan ayah dan ibu, Una waktu janin tidak berhasil menemukannya, tetapi Deon berhasil mengikis sisa-sisanya sehingga dia jadi lebih lumayan. Ah, menyebalkan!

"Ish! Sana! Sana, lo! Ganggu orang belajar aja!"

Tetapi, Deon bergeming di tempat tidur Una. Lebih lancang lagi, cowok yang hampir tiga tahun lebih muda namun tiga belas senti lebh tinggi itu itu bahkan kemudian membaringkan diri, merasa kelewat nyaman, "Sewot amat. Gue cuma mau liat Kak Skala belajar kok."

Darimana datangnya nada manis ini? Una menatapnya sinis. Ia sudah hafal tabiat Deon. Bisa ditebak dengan mudah. "Lo mau minjem duit, kan?"

Seketika, Deon menyengir. "Tahu aja, Kakakku sayang yang satu ini. Boleh, ya? 50 ribu aja, Senin gue balikin!"

"Nggak ada!" Tidak butuh sedetik bagi Una untuk segera menjawab. Ia kembali menghadap buku-buku pelajarannya, mengabaikan Deon.

"Please, lah. Ntar gue balikin, janji!"

"Yang kemaren aja belom dibalikin! Lo mau duit buat game, kan? Ngaku aja! Gue bilangin Mama nih!"

Tidak ada lagi penawaran dari Deon setelahnya. Una pikir, anak itu sudah pergi, namun saat ia mendongak lagi dari bukunya, ia justru mendapati Deon tengah bermain dengan ponselnya.

"Eh! Eh! Ngapain lo! Balikin hape gue!"

Kursi berderak ketika Una dengan cepat bangkit, melompat ke kasurnya demi menyelamatkan sang benda pusaka. Kalau Deon membuka perpustakaan Wattpadnya kan bahaya. Meskipun ponselnya dikunci dan mustahil Deon dapat membukanya.

Tunggu!

Deon bergerak lebih cepat, melompat ke ujung lain kasur dan mengangkat tangan di udara. Una dapat melihat layar ponselnya tidak lagi terkunci. Hah?!

"Eh! Kok bisa buka kuncinya? Balikin, nggak?!"

"Siapa suruh nyetel kuncinya 1234! Anak bayi juga bisa!

Una mendengkus, lantai mencoba keveruntungannya lagi dengan tiba-tiba mengangkat tangan, berusaha meraih ponselnya ketika Deon lengah. Sayangnya, Deon tidak lengah.

"Balikin!"

"Bentar, gue mau liat lo chat-an sama pacar dulu."

"NGGAK ADA! BALIKIN SEKARANG!"

"Eh, eh! Ada chat masuk!"

Una menghentikan gerakannya. "Siapa?"

"Grup keluarga. Gue bacain, ya. Tanda-tanda akhir zaman yang .... bla bla bla ... Jangan abaikan pesan ini. Kirim ke minimal 10 orang kontak kamu agar selamat dunia akhirat. Mau gue kirim ke 10 orang, nih?"

"Nggak usah lah! Ngapain!"

Dia pikir gue sebego itu apa? Omel Una dalam batinnya. Ia memutar tumit, bermaksud kembali ke tempat duduknya semula dan mengabaikan keberadaan Deon. Mungkin dengan begitu anak ini akan bosan dan menyingkir begitu saja. Sayangnya, ucapan Deon berikutnya lagi-lagi berhasil menghentikan Una.

"Eh, kemaren temen gue mengabaikan pesan kayak gini besoknya tabrakan lho!"

"Hah?!" Una berbalik, seluruh ekspresi wajahnya jelas-jelas menyuarakan keraguan. "Masa, sih? Bohong!"

"Beneran! Sumpah! Suer! Samber gledek kalo gue boong."

Keraguan itu bertambah. Begitu jelas hingga Deon menyengir.

"Kirim nggak nih?"

"I-iya, deh."

"Udah terkirim!"

"Hah! Kok cepet?" Una buru-buru merebut ponselnya. Kali ini, tidak mendapat penolakan. Deon membiarkannya memeriksa pesan yang telah terkirim dan memerhatikan wajah kakak perempuannya itu berubah panik. "Deon kenapa lo kirim ke sini!"

Tetapi Deon hanya mengendik santai. Ia turun dari kasur, menyimpan tangan di saku celana dan berlalu ke pintu. Tentu saja, sambil tertawa jahat. "HAHAHA! Btw temen gue itu tabrakan sama tembok, pas lagi jalan! Cuma benjol dikit! Hahaha"

....

Una terpaku. Dia pikir dirinya bisa lolos kali ini. Ternyata tidak. Mungkin ia benar-benar harus membenturkan kepala ke tembok karena ... ugh! Lagi-lagi dibegoin anak setan itu!

Pesan telah terkirim, telah dibaca bahkan! Hal itu tidak memberi kesempatan pada Una untuk menarik kembali pesannya seolah tidak terjadi apa-apa. Jadi, hal terbaik yang bisa ia lakukan hanyalah ... mengirim pesan minta maaf.

Pesan itu mendapat dua centang biru segera setelah terkirim, membuat Una panas dingin. Jahil sekali memang, Deon itu, mengirimkan pesan laknat semacam ini ke nomor Riam. Dan, ketika Una berpkir semua telah berakhir dan Riam benar-benar mengabaikannya, ponselnya bergetar, lalu berdering.

Batu Bernapas memanggil.

Dalam sekejap, karena seringnya mengerjakan soal pilihan ganda belakangan ini, empat jawaban pilihan ganda segera muncul di otaknya. Tentang apa yang harus dilakukan.

A. Terima panggilan

B. Tolak panggilan

C. Pergi ke kamar mandi dan berguling-guling di sana

D. Pura-pura mati

Dan setelah begitu tergoda untuk melakukan opsi terakhir, Una harus berdamai dengan pilihan pertama. Ia mengangkat teleponnya.

"Halo?" Duh, suaranya. Riam pasti berpikir dia sedang terjepit pintu. "Iyam? Iyam salah sambung?" tanyanya, setengah panik.

"Enggak."

"Mabuk?"

"Enggak."

"Terus? Ada apa? Ada maling? Tawuran? Kebakaran?"

"Enggak," kata Riam lagi, mengambil jeda. Lalu ... suaranya yang tanpa nada kembali menyapa telinga. Namun dengan efek yang berbeda. "Gue cuma ... butuh seseorang."

Hanya kalimat singkat, tapi sanggup membuat jantung menggila.

Lalu, kekacauan sistem itu membawa pada kesenyapan yang mengambil ruang di antara mereka. Dalam diamnya, Una dapat mendengar samar napas Riam di ujung telepon. Cukup lama. Cukup lama dan cowok itu tidak mengatakan apa-apa.

Sehingga, Una memutuskan bahwa dia harus bertanya. "Iyam... butuh sesuatu?"

Ada gumaman singkat. Una kira, cowok itu tidak ingin menanggapinya. Dan Riam memang tidak benar-benar menanggapinya. Dia justru mengajukan pertanyaan balik, dengan topik yang sama sekali tidak berhubungan.

"... Lagi sakit?"

"H-huh?" sahut Una, sedikit gelagapan. Malam ini, ia terkejut mendapati diri menjadi pendiam dan penggugup seperti sekarang. Kemana perginya Una yang tidak tahu malu? "Iyam nanyain siapa?"

"... Kamu."

Tunggu sebentar! Sejenak, Una harus menghentikan jalur udara menuju paru-parunya terlebih dahulu. Lalu ia memutar otak, mengingat-ingat apa dirinya mengenal seseorang bernama Kamu. Ketika ia tidak menemukan apapun, jantungnya menjadi berdebar lebih cepat. Ada rona panas yang menjalar di pipi, tanpa undangan.

"Enggak... Kenapa?"

"Sudah makan?" Bukannya menjawab, ia justru kembali menanyakan pertanyaan lagi.

"Mau ngasih makan?"

"Mau makan apa?"

"Eh, enggak! Enggak! Udah makan!"

Una tidak bisa membayangkan ledekan yang akan diterimanya jika jam segini ada seorang cowok muncul di depan pintu, membawa makanan. Meskipun ia sangat ingin. Pesona makanan gratis suka tidak terkalahkan. Tetapi kali ini, ia harus mewaraskan diri! Sekarang saja, ia harus berulang kali mengecek pintu kamar, memastikan agar Deon atau siapapun tidak menguping.

"Iyam nggak kenapa-napa?"

Setelah sekian waktu, Una akhirnya menyuarakannya. Sejak sapaan pertama, ia sudah dapat merasakannya, ada yang salah. Dan dengan semua yang terjadi belakangan, semuanya terlalu masuk akal. Bahkan akan aneh rasanya seandainya Riam tidak merasakan apa-apa.

Jadi, Una diam di ponselnya, mendengarkan cowok itu menghela napas. Berharap ... ia dapat memberikan sedikit kekuatan, meski mereka tidak dalam jarak dekat, meski tidak bisa saling tatap.

"Lagi apa?" tanya Riam lagi, memilih tidak menjawab pertanyaan Una.

"Belajar? Cuma... baca teks bahasa Inggris, sih. Kata Anin, ini salah satu cara belajar bahasa Inggris yang seru. Seenggaknya ada ceritanya."

Riam tidak mengatakan apa-apa, namun entah bagaimana, ia dapat merasakan cowok itu tersenyum.

"Ceritakan," ujarnya.

Obrolan itu berlanjut. Hanya pembahasan biasa. Una membacakan ceritanya. Mengisahkan apa-apa yang ia pelajari hari ini. Sementara Riam diam di sana, mendengarkan, mengoreksi sekali-sekali, memintanya terus bercerita.

Cewek itu sekarang telah berpindah menjadi berbaring di atas kasur, ponsel terhubung ke telinga lewat earphone. Ia tidak ingat kapan dan bagaimana, tetapi setelah beberapa saat, Una ingat kuap mulai lolos dari bibirnya. Sekarang sudah tengah malam.

"Ngantuk?"

"Hmm... belajar itu ternyata capek. Padahal kalau baca Wattpad atau nonton bisa tahan sampai jam dua pagi," sungutnya. Ia tidak mengerti kenapa membaca teks di buku selama lima menit setara dengan membaca cerita halu lima jam di ponsel?

Lalu suara datar itu memerintahnya. Demi Tuhan, dia memerintah, tidak ada lembut-lembutnya. Kadar ketusnya melebihi Bunda saat sedang PMS. "Tidur," katanya.

"Iya, iya. Tutup dulu, ya."

"Nggak usah."

"Hah?"

"Tidur aja, jangan ditutup."

Una tidak menyahut. Ia terlalu mengantuk untuk berdebat saat ini. Dan ia mulai tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Saat itulah, ia merasa mendengar Riam bicara, pelan saja.

"Malam ini berat, nggak ada bintang, nggak ada yang mau dengar. Tapi sekarang ... semuanya baik-baik aja. Kamu membuat hari yang berat ini ... menjadi tertahankan."

Dalam mimpinya, Una menghampiri Riam, memeluknya dari belakang. Namun ia tahu itu hanya mimpinya. Matanya semakin berat, otaknya telah redup, lalu ... hening. Gelap.

Ketika Una membuka mata, malam telah jauh terlewat, pagi hampir datang. Ia memeriksa ponsel, kelabakan mengingat ia tertidur selama menelepon Riam tadi malam. Dan ia harus dibuat terkejut menemukan derasi telepon mereka. Lebih dari tiga jam! Dan seingatnya hanya ada rentang sekitar satu jam dari ia menerima telepon hingga tertidur.

Cowok itu ... tidak sayang pulsa, data dan baterai, memangnya?

Sementara Una harus kelimpungan di sini mendapati angka lima persen dalam tulisan merah di bagian atas layar ponsel. Ia meraih charger di atas meja nakas, kemudian ketika mengusap layar ponselnya lagi, baru menyadari sesuatu. Ada sebuah pesan yang Riam tinggalkan tadi malam.

Ternyata kamu kalau tidur ngorok.

...

***

Uuuhhh... bagaimana, Kisanak?

Kawal #IyamUna sampai tamat, yuk! Beberapa chapter lagi, kayaknya.

Nantikan Saga ya, besok, di Orionis Epsilon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro