57. MIssion 2.0

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter ini agak pendek. Tapi nggak papa dong? Daripada nggak update, hehe. Voment ya, jangan lupa.

Enjoy reading ^^

***

"50, 52 detik!" Mas Reno berteriak senang segera setelah tangan Riam menyentuh bibir kolam.

Riam menyembulkan kepalanya dari bawah air, mengibaskan rambut yang basah dan mengelap sisa-sisa air yang terlambat turun dari wajah. Ia menatap sang pelatih yang tersenyum lebar padanya.

"Bagus, Am! Berhasil ningkatin 0,02 detik," ulang Mas Reno bersemangat. Ia menyerahkan handuk kecil untuk Riam, yang tidak segera disambut cowok itu.

Riam mengambil waktunya untuk keluar dari kolam, menimbulkan gelombang dan gemuruh ketika ia mengangkat dirinya naik. Ia meraih handuk itu kemudian, mengeringkan wajah serta rambut. Air menetes-netes dari ujung celana renang yang ia kenakan.

"Udah selesai, berarti?"

Mas Reno, beserta murid berikutnya yang sedang bersiap-siap untuk menceburkan diri menoleh padanya. Sang pelatih mengangguk. "Iya, sesi kamu sudah selesai. Kamu boleh pulang hari ini."

Riam mengangguk, ia segera menghilang ke ruang ganti dan keluar dengan kaus hitam lengan pendek serta celana jins. Rambutnya yang masih setengah basah dibiarkan tanpa topi sementara ia memasukkan kembali barang-barangnya ke dalam tas; botol air minum, ponsel, dan satu buah buku pelajaran. Ia masih membacanya sembari menunggu giliran latihan meskipun musim ujian kenaikan kelas telah resmi berakhir hari ini.

Masih sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang disampirkan di pundak, Riam keluar dari ruangan tanpa pamit dan ... menemukan hal di luar dugaan.

Ia menangkap basah tiga orang yang berjatuhan di pintu ketika ia membukanya.

***

"Dia di dalem?"

Rahma menjatuhkan tatapan dan mengarahkan telunjuk pada satu ruangan dengan pintu besi berplang "RUANG RENANG" di depannya. Lalu beralih pada orang di sisinya, pada Anin, yang tidak lain dan tidak bukan adalah orang paling berjasa dalam menunjukkan jalan ke tempat ini.

"Harusnya sih, begitu," kata Anin lambat, sedikit ragu. "Katanya sekolah mau ikut kejuaraan renang se-DKI dalam waktu dekat. Anak-anak klub renang suka latihan sampai malam. Dan Riam, sebagai atlet sekolah, harusnya ada, kan?"

"Iya sih."

"Mereka lagi latihan renang?" Rifai bertanya sembari menggigiti kuku. Tatapan malu-malu yang ia berikan membuat baik Rahma maupun Anin bergidik ngeri. Tapi, tentu saja, Rifai tidak peduli. Kakiny merapat dan digoyangkan, sebagai penyokong tindakan malu-malunya. "Berarti ...," ia mulai mencocok-cocokkan ujung kedua jari telunjuk. "Berarti banyak pemandangan indah di dalem dong?" Kemudian, nada suaranya naik, bersemangat. Kalau tidak bisa disebut nyaris berteriak. "Berarti banyak yang jualan roti sobek dong?! Ahay rejeki anak soleh nggak kemana!"

"Anak soleh! Anak soleh! Bapak lo kan namanya Slamet!" Rahma menoyor kepalanya, lalu menyingkirkannya ke sisi agar cewek itu memiliki akses lebih leluasa pada pintu.

Cewek bermata besar itu kemudian menunduk, berusaha mengintip lewat lubang kunci tentang apa yang ada di dalam sana. Dan Rifai, sebagai pecinta roti sobek sejati, tentu tidak ingin ikut ketinggalan. Dia tidak boleh membiarkan Rahma menikmati ini sendiri. Jadi, mereka mulai berebutan, dengan Anin yang terjepit di antara keduanya.

Pemandangan pertama yang mereka dapati adalah punggung telanjang. Rifai menjerit tertahan sementara Rahma memegangi tangannya kuat-kuat.

"OMG! Seksi banget! Sandarable!" Rifai menggigit kuku lagi.

"Balik dong! Balik dong!" Rahma merapalkan mantra dalam bisikan.

Dan benar saja, orang itu, berputar pelan. Sekarang menampilkan sisi tubuhnya. Bisep yang terbentuk meski tidak terlalu besar. Dan ...

"Perutnya rata cuuuyyy!"

"Papan penggilesan kayaknya tuh!"

"Balik dikit lagi dong. Dikit lagi~"

Dan impian mereka hampir jadi kenyataan. Orang yang wajahnya tidak terlihat─dan tidak menjadi fokus itu─kembali berputar pelan. Mereka hampir melihat bagian depannya, papan cucian yang diimpikan Rahma dan Rifai. Kedua orang itu telah melupakan misi mereka dan sedang bersiap-siap meneteskan mimisan dari hidung saat sesuatu yang hitam memblokir pemandangan.

Gelap. Semuanya gelap total sekarang.

Lalu ..., pintu melayang terbuka dengan cepat, membuat mereka yang menumpukan berat badan pada pintu tersebut tidak dapat menguasai keseimbangan. Mereka berjatuhan.

Di depan mereka ada Riam, berdiri dengan tatap penuh selidik. "Kalian ngapain?" tanyanya.

Rifai, Rahma dan Anin berpandangan. Mendadak, mereka kembali diingatkan pada tujuan semula. Dan segera, kemudian seseorang di antara mereka meneriakkan seruan. "Culik dia!"

***

Penculikan Riam Zarrel Albion berjalan sukses, serta tidak dramatis. Karena memang tidak ada perlawanan sejak awal. Riam, dengan pasrah membiarkan Rahma dan Rifai menariknya hingga ke ruang ekskul menjahit yang tengah kosong, lalu mendudukkannya di salah satu kursi.

"Saudara Riam Zarrel Albion," mulai Rahma. "Lo tahu kenapa lo kami culik?"

Riam menghela napas malas. "Kalau tahu, gue pulang lebih awal."

"Bener! Aa Iyam emang pinter!" Rifai mengangguk, dan segera mendapat sikutan dari Rahma.

Cewek itu membisikkan sesuatu seperti "Jangan belain dia, Revalina bin Slamet!" sebelum kembali menatap Riam dengan serius. Hal ini membuat Riam mengkilas balik apa-apa yang sudah ia lakukan. Apakah salah satu di antaranya menyinggung teman-temannya Una?

Tidak ada. Ia yakin tidak.

"Langsung aja," ujarnya, coba mendapatkan jawaban. "Apa mau kalian?"

"Oke," Rahma mengangguk, tangannya tersimpan di dada dan dagunya diangkat sedikit. Tatapan yang ia layangkan pada Riam amat sinis seolah ia punya dendam pribadi. "Kami udah denger dari Anin, dan udah melakukan riset mendalam juga," ungkapnya.

Sementara yang ditatap, hanya memberikan tatap bosan. Riset, katanya?

"Soal?"

"Soal Una!"

Kali ini, Riam menatap cewek itu dengan alis berkerut. Posisinya duduknya yang berubah dari bersandar menjadi tegak menunjukkan ketertarikan.

"Kenapa?"

"Lo ngaku aja, ya! Jangan kira kita nggak tahu." Kepada dua sahabatnya, Rahma membagi tatap yang dibarengi goyangan alis dan senyum penuh konspirasi, sebelum dirinya kembali menatap Riam. "Lo... nggak tahu cara deketin Una, kan?"

Hening. Riam menatap semuanya satu persatu. Rahma, Rifai (yang mengedipkan mata), dan Anin. Tatapannya berhenti lebih lama di Anin, sumber kecurigaannya. Oke, ternyata semua memang bersumber dari cewek itu.

"Tapi lo tenang aja," kata Rahma lagi. Riam menatapnya semakin tidak mengerti. Hingga, cewek itu menepuk dada dengan amat bangga. "Selama ada Rahma and the gengs di sini, lo nggak akan kecewa. Nggak bisa deketin cewek? Gampang!"

Mata Riam disipitkan. "Maksud lo?"

Rahma tersenyum. "Nah, kami akan bantu. Mission 2.0. Kalau misi pertama adalah demi dapetin Riam. Maka, misi kedua ini adalah ... 1001 cara menggaet Skala Aluna."

***

Bagi yang mau meninggalkan tips-tips untuk Riam, dipersilakan, wkwk.

Enggak ada konflik baru yang gimana-gimana kok. Instead, kita on the way menuju ending. Dan aku sudah memutuskan untuk membuat dua ending berbeda. Satu untuk Wattpad, dan satu untuk...

Yuk, mulai nabung yuk. 2 ribu sehari cukup, kok!

See you again soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro