[29]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ro, " suara serak menyapa telinga Jiro dan Tyas. Seketika mereka pun menoleh kearah ranjang pasien.

"Sudah bangun? Aku panggillan Dokter Helmi ya dulu. " Seno menggeleng. Nampak paras khawatir tercetak jelas di wajah Jiro dan Tyas.

"Aku rasa hidupku tidak akan lama lagi, " ucapan Seno membuat keduanya mendekatkan diri ke dekat ranjang Seno.

"Kalau ngomong jangan ngelantur, Sen." tegur Jiro.

"Ini kenyataanya, " Jiro membuang muka enggan mendengar perkataan Seno.

"Ro, kamu masih ingat rumahku dulu di Bogor?" Jiro mengangguk.

"Kenapa memangnya? "

"Ada ransel yang biasa aku gunakan untuk kerja, tolong bawakan kemari.. ada barang yang mau kuambil."

Tyas dan Jiro saling berpandangan sejenak, kemudian Jiro mengiyakan permintaan tersebut.

"Nanti ku ambilkan. Mau minum air putih? "

Ketiganya larut dalam pembicaraan acak, Dokter Helmi yang ingin mengecek pasiennya pun enggan mengganggu.

•••

Jeffano mengendarai mobil memasuki area parkir, segera Hanin melepas seatbelt dan mengambil barang miliknya.

"Ayo, Jeff."

Mereka berjalan beriringan, langkah kecil Hanin membuat mereka membutuhkan waktu enam menit untuk sampai ke ruang rawat.

Ketika membuka pintu yang mereka lihat adalah ruangan kosong, batin dan fikiran Hanin sudah di penuhi hal-hal negatif.

"A-ayah kemana Jeff kok ruangannya kosong? "

Jiro yang pergi keluar dari Ruang ICU tak sengaja melihat Jeffano dan Hanin. Ia memilih mendekati mereka karena ini di Rumah sakit ia tak berani berteriak memanggil mereka.

"Jeff, " Hanin dan Jeffano menengok ke belakang.

"Papi, Om Seno dimana Pi?" tanya Jeffano mewakili Hanin.

"Ada di ICU, tadi Ayah kamu kondisinya drop tapi sekarang udah membaik lagi paling besok udah dipindah ke ruang rawat lagi. "

Hanin dan Jeffano mengikuti Jiro menuju ruang ICU, disana sudah ada Tyas yang duduk di ruang tunggu.

"Tante Tyas, " Tyas menatap Hanin yang memanggilnya.

"Ayah kamu baru istirahat, Sayang. Tunggu disini aja sama Tante oke? "

"Tante nggak pulang? "

"Nunggu Om Jiro yang mau ngambil sesuatu dulu di sekitar sini, " jawab Tyas.

Jeffano menatap Papinya, sedangkan Jiro pura-pura tidak menyadarinya. Tyas dan Hanin duduk di kursi diikuti oleh Jeffano.

Jeffano masih memandang langkah Jiro yang mulai tak terlihat, mau kemana Papinya.

"Mi, aku ke kamar mandi dulu. "

"Hmm"

Suasana rumah sakit yang cukup ramai membuat Jeffano sulit mengikuti langkah kaki Jiro yang mungkin saja sudah berada di area parkir.

"Papi! " Panggil Jeffano kala melihat ayahnya yang mau memasuki mobil.

Jeffano berlari menghampiri sang ayah, "Papi mau kemana? "

"Mau ke rumah lama Hanin, ada barang yang mau Papi ambilkan buat Seno. "

"Jeff ikut ya Pi? "

"Terserah, " ucap Jiro sembari memasuki mobil.

Perjalanan panjang menuju rumah lama Seno dimulai, berkali-kali mobil mereka tersesat dj jalan buntu dan hampir saja terjun ke jurang.

Memang area rumah lama Hanin berada di daerah dataran tinggi sehingga akses kesana memang cukup sulit. Rumah lama Seno merupakan kampung halaman istrinya, Tatya Liliana.

Mobil mereka berhenti di pekarangan Villa yang cukup sederhana dengan  dinding berwarna putih yang sudah ditumbuhi lumut. Meski begitu Villa ini cukup terawat.

"Ini rumahnya, " ucap Jiro yakin.

Jiro menuruni mobil dan berjalan menuju pagar rumah, ia menekan bel pagar yang terpasang disana. Seorang perempuan tua menghampiri mereka.

"Cari siapa, Pak? "

"Saya mau barang milik sahabat saya, Seno." Wanita tua itu mengangguk dan membiarkan mereka masuk.

"Pak Seno sudah lama tidak disini, terakhir saya bertemu sekitar sebulan yang lalu."

"Kalau boleh tahu Ibu ini siapa? " tanya Jeffano penasaran.

"Oh, nama saya Imas. Sayang yang jaga rumah ini sama suami saya. Dulunya saya pengasuhnya Non Tatya tapi sejak Non Tatya berkeluarga saya jadi pembantu di dapur."

Bu Imas membuka rumah, Jeffano melihat foto yang terpajang rapi disana. Keluarga yang harmonis batinnya.

"Itu keluarganya Non Tatya, namanya Pak Gunadi dan Ibu Mayangsari disisi kiri itu anaknya yang kedua Den Lintang Samudra, sedangkan disisi kanan ada anak ketiganya Non Yunita Arlina. Non Tatya itu anak pertama di keluarganya, yang paling baik hatinya."

"Ada anak laki-laki lain yang belum disebutkan Bu, itu yang berdiri di samping Tatya siapa dia? " Bu Imas tampak tidak ingin menjawab pertanyaan.

"Itu... Den Helmi Aryaguna, anak dari Ibu Mayang dan suami lamanya."

"Lalu dimana semua saudara Tatya? "

"Selepas Pak Gunadi tiada Den Lintang dan Non Yunita pergi ke luar negeri, mereka tidak mau tinggal bersama Ibu tirinya berbeda dengan Non Tatya yang masih berusaha menjaga harta peninggalan milik Pak Gunadi. Sampai akhirnya Non Tatya bertemu dengan Pak Seno dan berkeluarga dengannya."

"Sebentar, tadi Bu Imas bilang Helmi Aryaguna..apa dia seorang Dokter sekarang? " Bu Imas mengangguk.

"Den Helmi itu pintar sangat pintar meski bukan anak kandung , Pak Gunadi sangat menyayanginya dan menyekolahkannya sampai menjadi Dokter."

"Baiklah, Bu Imas. Tolong tunjukan kamar Seno saya hendak mengambil ranselnya. "

"Baik, Pak. "

Jeffano melihat lebih lanjut tentang foto-foto tersebut.

"Hanin mirip banget sama Tante Tatya," celetuk Jeffano.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro