XXXVI. Terlalu Merindu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari kejauhan terlihat lelaki menggunakan kaos kebesaran tengah berjalan ke arahnya dengan dua cup minuman dalam masing-masing genggamannya. Walau lumayan jauh jarak antar mereka, tapi bisa terlihat senyum mereka di wajah imut tersebut. Gigi-gigi kecilnya ditampakkan hingga mata menjadi segaris.

"Hati-hati, nanti minumannya tumpah," ucap Tae Yeon begitu lelaki itu sampai.

"Jika tumpah, maka akan kubeli lagi yang baru. Aku tidak akan membiarkanmu kehausan," timpalnya membuat pipi Tae Yeon bersemu malu. Tae Yeon mengambil cokelat dingin yang diserahkan oleh Baekhyun.

"Bisa berada di pantai berdua denganmu terasa lebih menyenangkan," ungkap Tae Yeon tiba-tiba. Matanya tidak melirik Baek Hyun yang duduk di sampingnya, melainkan terus menatap lurus pada tenangnya air.

Baek Hyun tersenyum seraya menyesap minumannya, untuk menutupi rasa kikuk. "Semua orang juga begitu jika dekat denganku. Aku tahu itu tanpa kamu beritahu."

Tae Yeon tertawa mendengar jawaban stafnya tersebut. "Bukan begitu maksudku. Aku merasa lebih bebas karena tidak ada kru di sini. Tidak ada Bo Ra, Chun Hei atau pun A Reum. Aku bisa menghirup udara segar ini tanpa harus memikirkan apa pun. Aku benar-benar merasa tenang." Tae Yeon mulai memejamkan matanya, meresapi setiap udara yang menyentuh tubuhnya.

"Kamu tidak khawatir akan ada orang yang memotret kita dan memunculkan skandal baru?" bisik Baek Hyun yang membuat Tae Yeon bergidik karena kaget.

"Kamu akan melakukan apa pun untuk melindungiku, kan?" tanya Tae Yeon dengan tatapan menantang.

Baek Hyun pun tidak ingin kalah. Ia sampai membusungkan dada. "Tentu saja. Aku memang penata rambut, tapi untukmu aku adalah pelindung. Jadi, aku akan memastikan keselamatanmu."

Lagi-lagi Tae Yeon tertawa dibuatnya karena rasa percaya diri yang berlebihan itu. Sementara Tae Yeon tahu, tidak semudah itu bisa melindunginya sementara tameng terbesar berada dalam keluarganya sendiri.

"Kamu tahu apa yang akhir-akhir ini selalu kusyukuri?" Tae Yeon menarik napas sejenak, dan mengalihkan pandangnya pada Baek Hyun. "Dipertemukan denganmu." Ia pun kembali membuang wajah dan melihat lagi sekitaran. "Ada banyak rasa sakit yang aku rasakan, bahkan sampai saat ini. Tapi, dengan kehadiranmu yang selalu menghiburku dengan lelucon kecil aku bisa tertawa dan melupakan permasalahanku sejenak. Terima kasih karena telah hadir dalam kehidupanku."

Dua sampai lima detik tidak ada tanggapan. Tae Yeon dikejutkan dengan tangan yang melingkar di lehernya. "Aku pun bersyukur diberikan kesempatan untuk membuatmu bahagia. Memasuki kehidupan seorang penyanyi besar yang terkenal di dunia dan memiliki posisi penting benar-benar tak pernah kubayangkan. Aku tidak menyesal sama sekali mengambil peran ini. Tugasku masih belum berakhir, aku akan terus berada di sampingmu sampai kita menemukan yang kamu cari selama ini," responsnya dengan nada serius.

"A-apa setelah itu kamu akan pergi?" tanya Tae Yeon gelagapan. Ia sampai menggigit bibir bawah karena khawatir pertanyaan itu tidak akan disukai Baek Hyun.

Tidak mendengar jawaban apa pun, Tae Yeon memutar kepalanya dan tercekat ketika wajah mereka sangat dekat. Baek Hyun tetap tidak menjawab dan hanya menyunggingkan senyum simpul. Senyum yang tidak berani Tae Yeon artikan. Namun, senyum itu membuat Tae Yeon meneteskan air mata tanpa sadar.
🍁🍁🍁

"Kak Tae Yeon, are you okay?" Jin Kyong mengguncangkan tubuh kakaknya yang dipenuhi peluh. Di luar tidak ada matahari, dan ini sudah sore. Suhu kamar juga tidak panas, tapi kenapa kakaknya berkeringat sampai seperti ini?

"Kak, bangun. Haruskah aku panggil Nenek?" Jin Kyong bolak-balik mengecek suhu tubuh kakaknya.

"Ada apa, Jin Kyong?" Ha Neul yang melewati kamar Tae Yeon melihat adik sepupunya sedang keresahan.

"Kak Tae Yeon sepertinya demam tinggi. Wajahnya pucat. Aku bangunkan sedari tadi tapi tidak ada reaksi," jawab Jin Kyong khawatir.

Ha Neul turut memeriksa bagian dahi Tae Yeon, sangat panas. "Naikkan suhu pemanas ruangan," titah Ha Neul. Ia segera mengambil tindakan untuk membantu menurunkan demam sang adik. Dengan cekatan mengambil air hangat di dapur dan mengompres bagian dahi Tae Yeon. Begitu pula dengan Jin Kyong yang turut mengompres bagian tubuh Tae Yeon yang lain.

"Sejak kapan dia seperti ini?" tanya Ha Neul dengan tatapan cemas.

"Aku tidak tahu pasti. Tadinya, aku datang ingin mengajaknya keluar menikmati akhir pekan. Aku tahu, dia sedang banyak permasalahan, aku ingin menghiburnya. Tapi, yang kulihat malah dia tertidur dengan keringat di mana-mana," jawab Jin Kyong seadanya.

Ha Neul duduk di samping ranjang seraya menatap wajah pucat Tae Yeon. "Aku merasa kasihan padanya. Ia terkenal hingga ke pelosok negeri. Ia pasti mendapat penghargaan di setiap acara. Lagu-lagunya selalu menduduki peringkat pertama. Tapi sayang, semua itu tidak memberinya kebahagiaan yang nyata. Ia tertekan dan tersakiti dengan kenyataan yang tidak diketahui orang-orang. Mungkin jika aku menjadi dia, aku sudah menyerah sejak lama. Dia sangat tangguh sebagai seorang perempuan. Adikku yang malang," ratapnya.

Mata Jin Kyong teralihkan pada hal lain. Tangan Tae Yeon menggenggam ponsel dengan sangat erat. Jin Kyong pun mengambil paksa ponsel itu dan menyalakannya. Matanya melebar ketika melihat yang ada di layar adalah potret Tae Yeon dengan Baek Hyun.

"Dia pasti merindukan lelaki itu hingga sakit seperti ini," tanggap Ha Neul cepat.

"Mungkinkah kak Tae Yeon memiliki perasaan padanya? Bisa kacau kalau Papa dan Mama tahu," sahut Jin Kyong yang semakin khawatir dengan kakaknya.

Ha Neul tidak bisa menjawab apa pun. Bukankah perihal perasaan tidak ada yang bisa mengatur harus terjatuh pada siapa? Tidak ada yang bisa melarang dengan berkata tidak? Tidak ada yang bisa menghentikannya jika bukan pemilik hati itu sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro