TUJUH - UNDANGAN MAKAN MALAM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DARA

"Ada Lindt nih. Bagi dong." Mbak Sherly baru saja pulang dari perusahaan klien. Mukanya kusut seperti nggak dikasih makan saat mencomot Lindt milk chocolate truffle di stoples.

Aku termasuk golongan emotional eater. Semua jenis perasaan kurayakan dengan menambah asupan kalori. Gembira? Jelas harus beli cake untuk self reward. Galau dan sedih? Paling enak makan coklat. Otak lelah capek mikir? Keripik kentang adalah solusi.

Sepuluh stoples bening duduk manis di meja kecil di samping meja kerjaku. Jika isinya habis, pasti segera kuganti dengan snack lain tapi beda jenis. Lima jenis snack manis seperti cokelat, permen, biskuit Pocky, marshmallow, atau jelly. Lima jenis snack asin seperti berbagai keripik atau kacang.

Seisi kantor pasti pernah mencicipi koleksi snack di ruanganku. Pekerjaan kami memeras otak. Kata Ayah, kalau otak lelah, solusinya bukan makan, tapi tidur. Mana bisa aku tidur? Nanti siapa yang menyelesaikan pekerjaanku? Masa hantu penunggu kantor?

By the way, di kantor ini memang ada hantunya. Perempuan berseragam kantoran. Katanya dulu, sebelum space ini dibeli HAD Law firm, ada perusahaan yang salah satu karyawatinya terjun dari jendela gedung. Makanya sekarang jendelanya dibuat mati, nggak bisa dibuka. Takutnya ada yang bunuh diri. Aku sih belum pernah diperlihatkan wujudnya.

Kenapa jadi bahas hantu? Aku cuma mau bilang kalau capek kerja, maka mulutku jadi ingin mengunyah sesuatu. Makanya timbanganku rajin geser ke kanan. Perutku juga mulai buncit. Saat duduk begini, mirip ibu hamil enam bulan.

"Tumben laper, emang Pak Luis nggak nraktir makan?"

Pak Luis adalah manager legal dari perusahaan yang Mbak Sherly pegang. Klien retainer*. Ada saja masalah perusahaannya. Mau mengeluh tapi kok senang. Kalau nggak ada masalah di Indonesia Raya ini, pastilah kami nggak akan dapat penghasilan.

Meeting tadi lima jam. Untung udah makan siang.” Mbak Sherly sudah menghabiskan dua buah cokelatku. Tangannya merambah stoples keripik kentang.

“Kok hambar sih?” Mbak Sherly protes.

“Gue pilih yang no MSG.” Aku ingat nasihat Ayah untuk mengurangi asupan garam. Takutnya nanti hipertensi, lalu ginjalku jadi korban. Harus cuci darah dan yang lebih parah  cangkok ginjal. Lebih lanjut lagi, kalau sampai cangkok ginjal, sebagai resipien alias penerima ginjal harus minum obat imunosupresan seumur hidup agar antibody tubuhku nggak menganggap ginjal donor sebagai benda asing yang harus dihancurkan. Daya tahan tubuhku jadi lemah dan rentan kena berbagai infeksi. Begitulah punya orang tua dokter, hobi menakut-nakuti.

Maunya aku nggak takut, tapi ya aku takut juga. Ayah minta aku mengurangi garam, gula, lemak, dan karbohidrat sebab aku masih muda. Jangan sampai cari uang banting tulang tapi uangnya dipakai untuk bayar rumah sakit. Seperti itulah nasihat Ayah. Meskipun di depannya aku sering menertawakan, tapi aku mulai menuruti nasihatnya.

“Yah, snack tanpa micin gak enak lah, Dar.” Mbak Sherly menggeratak stoples snack manis. “Dark chocolate. Pahit amat, sepahit nasib percintaan lo.”

Aku tertawa melihat muka Mbak Sherly berkerut.

“Gue butuh camilan malah dapat racun,” gerutunya.

“Biar sehat, Mbak,” kataku masih terus mengetik legal opinion.

“Eh, klien lo yang kemarin gimana?” Mbak Sherly mengubah topik obrolan.

“Bebas.”

“Gitu doang?” tanya Mbak Sherly kelihatan kurang suka.

“Emang harusnya jangan bebas?”

“Ya usahain lah jangan langsung bebas. Susahin dikit gitu biar kelihatan kerjaan lo susah.”

“Dih, ngapain?”

“Eh, ilmu ini dari Pak Gilbert.” Mbak Sherly menyebut nama ayah Mas Benedict, pendiri law firm ini.

“Nggak deh, makasih. Kerjaan gue banyak. Lagian Harfandi nego lawyer fee macam di pasar ikan.”

“Harfandi itu yang ke sini pakai seragam PNS?”

“Iya. Mau lo, Mbak? Ambil aja.”

“Terus laki gue mau dikemanain?”

Mbak Sherly sudah menikah. Suaminya jaksa.

“Ya tetep dikelonin lah. Sama Harfandi pacaran aja.” Aku tersenyum jahat.

“Si anjir. Kenapa nggak sama lo aja? PNS kan idaman mertua. Gaji sih kecil, tapi tunjangannya selangit, terus susah dipecat.”

"Mentang-mentang suami situ PNS, semua orang suruh nikahin PNS," sindirku.

“Emang kerjaannya Harfandi apa?” Mbak Sherly masih kepo.

“Dokter puskesmas.”

“Sama kayak bokap lo, dong. Udah sikat aja!” Mbak Sherly menyemangati.

Sama-sama dokter, bedanya Ayah bukan dokter Puskesmas.

“Gigi kali disikat.”

“Eh, kalian cocok lho. Pas jalan gitu persis angka sepuluh.” Mbak Sherly ketawa, lebih tepatnya mentertawakan fisik kami. Benar juga sih kalau dilihat. Harfandi kurus jangkung sementara aku termasuk tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia tapi bentuk tubuhku memang bulat.

Body shaming tuh.” Aku mengingatkan.

“Ya makanya lo diet dong. Perasaan makin lama gue lihat lo makin melembung aja. Takut gue kalau lo mendadak terbang.”

“Lo kira gue balon helium, Mbak?” Aku bersungut-sungut. “Lagian lo nyuruh gue diet, tapi nanyain snack mulu. Gue buang nih snack sama stoplesnya,” ancamku.

“Jangan dong, mending diwarisin ke gue.”

“Gue belum mati, lo udah minta warisan,” cibirku.

“Hibah deh hibah. Salah dikit doang. Udah, snack lo buat gue aja. Lo diet mulai detik ini.”

Salah sedikit katanya. Hibah dan waris saja nggak bisa membedakan. Jangan-jangan Mbak Sherly ini lulusnya nyogok.

“Gue lihat sejak putus sama Giraffe, lo belum ada gandengan baru.”
Ini Mbak Sherly lagi kerasukan jin mana sih, nanya mulu dari tadi. Baterainya nggak habis-habis.

“Giraffe di kebun binatang tuh,” jawabku asal.

“Eh, nama mantan lo yang berondong itu siapa sih? Lupa gue. Maklum lah nggak penting.”

Udah tahu nggak penting kenapa dibahas? Bukan aku yang mulai. Namun aku menjawab juga, “Ghivan.”

“Nah, yang adiknya lo tolongin kemarin kan?”

Ya benar, Nashira adalah adik dari Ghivan, mantan pacarku. Kami putus gara-garanya ibunya.

“He-eh.” Aku menjawab malas.

“Apa lo mau balikan sama Ghibran?”

“Apaan sih, Mbak? Gibran mah anaknya Jokowi. Gue nggak mau jadi pelakor.”

“Eh, siapa sih namanya? Udah nggak penting, susah lagi namanya.”

“Ya udah, siapa suruh bahas? Gue jadi nggak konsen bikin LO.”

Syukurlah legal opinion itu selesai juga di tengah keruwetan otakku meladeni ocehan unfaedah Mbak Sherly. Aku mengirimkan ke email untuk diperiksa Mas Benedict. Setelah dia ACC, baru dikirim untuk klien.

“Gue kan kasihan lihat lo jomblo. Enakan nikah tau, ada temen mikir dan berantem, ada temen olahraga di ranjang.” Mbak Sherly memanas-manasi.

"Apaan ranjang-ranjang? Ngeres aja lo, Mbak."

Setelah menikah dia memang rajin pamer kebahagiaan dengan Eric, suaminya. Foto profile WA-nya gonta-ganti dan lokasinya di tempat yang estetik pula. Bikin jomblo nggak kuat iman jadi iri. Kalau aku sih jomblo kuat iman, bodo amat dia mau pose mesra.

"Main catur kan olahraga ranjang, Dar." Mbak Sherly ngeles.

Dasar pengacara. Aku nggak kebayang hebohnya rumah tangga Mbak Sherly dan suaminya. Sesama sarjana hukum, pengacara dan jaksa. Bakal ribut tiap hari. Aku mikir dua kali kalau suruh nikah sama sesama pengacara atau jaksa.

"Lo kalau berantem sama suami, seru ya, Mbak?" tanyaku.

"Cie kepo."

"Bukan gitu, gue males nikah sama sesama pengacara atau jaksa. Pernikahan serasa sidang tiap hari. Apa nggak pusing?"

"Nah, cucok!" Mbak Sherly menjentikkan jari.

"Apaan?"

"Harfandi PNS dan bukan sarjana hukum. Dijamin rumah tangga lo aman sentosa."

Kenapa jadi bahas Harfandi? Aku berdecak malas lalu meregangkan badan tanpa membalas ucapan Mbak Sherly. Sebentar lagi waktunya pulang.

Saat akan memasukkan ponsel ke tas, benda itu berdering. Nama Nashira tertera di sana.

“Kenapa, Nash?” Aku khawatir dosen titisan dajjal yang melecehkannya meneror.

“Mbak, Mama ngundang makan malam.”

Ludah yang hampir masuk kerongkongan, tersasar sejenak ke tenggorokan. Aku jadi tersedak dan batuk-batuk. Mau apa nenek sihir itu mengundangku makan malam segala? Aku minum segalas air untuk menenangkan diri.

“Makan malam? Yakin kamu, Nash? Kalian nggak merencanakan pembunuhan? Ada Mbak Sherly di sini. Dia tahu orang terakhir yang bersamaku siapa.”

“Ih, ya nggak lah. Mana mungkin aku gitu? Mama sama Mas Ghivan Cuma mau bahas kasusku aja kok. Mau ya Mbak?” bujuk Nashira.

“Gimana ya…” Aku garuk-garuk kepala. “Ngobrolnya nanti di teras aja lah. Nggak usah pakai acara makan malam segala.”

Kalau aku terkapar kejang-kejang gara-gara makananku ditambahi sianida kan nggak lucu ya.

“Mama udah masak banyak.” Nashira terdengar sedih.

“Kasih ke kucing aja lah,” tolakku.

“Masa kasih ke kucing?”

“Kenapa? Takut kucingnya mati?” tanyaku curiga.

“Ya bukan, tapi… Ya udah lah, datang dulu aja. Kita mau ngobrol biasa kok.”
Di depanku, Mbak Sherly mengangguk-angguk antusias. Senyumnya lebar pula.

“Tapi aku bawa teman ya? Buat jadi saksi pembunuhan berencana.” Aku menawarkan solusi.

“Ya udah deh, bawa aja.” Nashira menjawab pasrah.

Aku mengakhiri sambungan telepon dengan perasaan campur aduk lantas menatap Mbak Sherly.

"Nashira?" tembak Mbak Sherly.

"He-eh. Ngundang makan malam."

"Bagus dong. CLBK. Daripada jones."

“Tanggung jawab lo, Mbak,” todongku.

“Kapan gue hamilin lo?”

“Gara-gara lo gue jadi iyain undangan Nashira. Dia ngajak jalan-jalan.”

“Gue dengernya lo diajak makan malam deh, bukan jalan-jalan.”

“Jalan-jalan ke alam kubur,” jawabku ketus.

Mbak Sherly tertawa terbahak-bahak, sepertinya puas menantikan aku mati muda di tangan ibunya Ghivan.

"Lo sih dari tadi nyinggung masalah kejombloan. Gue kan jadi iyain. Kalau gue mati gimana?" Aku setengah merengek.

“Itu mah derita lo.” Mbak Sherly dengan tidak bertanggung jawabnya keluar dari ruanganku. Sialan, padahal dia yang menyarankan aku menerima undangan Nashira.

***

1. Klien Retainer: Klien yang membayar bulanan kepada firma hukum untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan hukum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro