Chapter 1 : Awal Mula

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sensei, apakah sensei tidak salah memilih orang ? Mohon dikoreksi lagi, Maeda-sensei," pinta seorang gadis berparas cantik dengan riasan natural menghiasi wajahnya serta surai hitam panjang dan dihiasi oleh manik yang senada dengan surainya pada wanita paruh baya yang merupakan wali kelas sekaligus badan kesiswaan Dienga kokou.

Guru itupun bergeleng pelan, "Tidak apa-apa, Rin-san. Lagi pula, syarat utama untuk melakukan pertukaran pelajar ke Jepang adalah .... "

"Kemampuan berbahasa Jepang," jawab gadis yang memiliki nama Rin.

"Pintar," puji Maeda-sensei dengan nada riang.

"Tapi sensei, jika dia berbahasa Inggris ... "

"Maka jawab menggunakan bahasa Inggris," sahut Maeda-sensei dengan santai.

"Tapi sensei juga mengetahui jika bahasa Inggris saya cukup hancur dibandingkan dengan siswa lainnya," ucap Rin yang mengembalikan fakta jika dia memang kurang dalam kemampuan berbahasa asing, terutama Inggris.

"Rin-san, sensei menyarankan mu untuk mengurus siswa pertukaran pelajar itu, karena sensei yakin jika Rin-san bisa membantu siswa itu untuk lebih mengenal tentang negara serta budaya kita," jelas Maeda-sensei dengan penuh aura keibuan.

"Rin-san, sensei menaruh banyak ekspektasi dan kepercayaan pada mu. Jangan kecewakan sensei, ya," ucap Maeda-sensei yang kini tengah mengelus surai siswanya dengan penuh pengertian.

"Baik, sensei," ucap Rin dengan pasrah.

"Besok, kita akan menjemputnya di bandara. Sekaligus, mengantarnya ke rumah mu," ucap Maeda-sensei yang mematri senyuman di wajahnya.

"Baik, sensei," ucap Rin yang hanya bisa mengiyakan ucapan sekaligus amanat dari sekolahnya.

Sungguh, Rin tak menyangka jika tahun ini ia kedapatan untuk membawa sekaligus mengenalkan siswa pertukaran pelajar pada negara ini. Ya, tugas berat telah ia terima di awal semester ganjil di tahun keduanya ini. Dan Rin hanya bisa berharap agar semuanya berjalan lancar tanpa adanya hambatan apapun, serta ia pun berharap agar siswa hasil pertukaran pelajar itu tidak merepotkan seperti siswa asli disini.

Setelah mendengar penjelasan dari sang wali kelas, Rin pun segera kembali ke kelasnya dengan aura lelah walaupun wajahnya terlukis kedataran.

"Rin, kenapa kau dipanggil oleh Maeda-sensei ?" tanya seorang gadis sebayanya dengan surai hitam sebahu.

"Nanti kau akan tahu sendiri," jawab Rin singkat, sementara sang lawan bicara pun langsung menggembungkan pipinya yang menandakan jika ia kurang puas hingga tidak suka atas jawaban yang ia peroleh.

"Sachi, mungkin mood Rin sedang buruk untuk hari ini. Jadi, jangan diganggu dia dulu, ya," sahut seorang gadis dengan surai hitam kecoklatan sebahu lengkap dengan manik karamel dan dibungkus dengan kacamata yang menggantung di batang hidungnya.

"Begitu ya ... terima kasih, Yukia," ucap Sachi dengan nada sedikit lega.

Helaan nafas pun keluar secara teratur dari gadis yang akrab dipanggil dengan Sachi ini. Ia pun duduk mendekati lawan bicaranya sebelumnya.

"Ada apa, Rin? Mendekati akhir pekan di minggu pertama kelas dua ini, kau terlihat murung begitu," ucap Sachi yang mencoba membujuk Rin secara perlahan untuk menceritakan hal yang membuat auranya berbeda.

"Rin, kami tidak memaksamu untuk bercerita. Tapi alangkah baiknya jika kau membagi beban mu pada kami," sambung Yukia yang mencoba membantu Sachi.

"Eh? Bukannya itu sama saja dengan memaksanya bercerita?" tanya Sachi yang langsung mendapatkan cubitan dari Yukia di lengannya.

"Ittai ..." ucap Sachi dengan pelan sembari mengelus lengannya dengan harapan bahwa rasa sakit itu akan hilang.

"Kelas ini akan kedatangan siswa baru yang merupakan hasil dari pertukaran pelajar," jelas Rin dengan tatapan serius.

"Dan siswa itu akan ditempatkan di rumahmu ?" tanya Sachi dengan sedikit keterkejutan yang terlukis di manik hitamnya.

Rin pun hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Akhirnya kau mendapatkan pengalaman baru, Rin. Semoga kau bisa akrab dengannya." Hibur Yukia sembari menepuk pelan pundak Rin.

"Ya, semoga saja dia tidak merepotkan seperti teman kita yang lainnya," sahut Rin dengan nada pasrah.

"Aku tak sabar untuk bertemu dengannya," ucap Sachi dengan nada riang.

"Kau ini, temanmu sedang kebingungan kau malah senang," tegur Rin yang tak terima melihat ekspresi bahagia temannya itu.

"Biarin. Biar Rin bisa berbahasa Inggris dengan lancar, baik, dan benar," ejek Sachi.

"Harap berkaca dahulu sebelum berbicara," balas Rin yang tak mau kalah dari temannya.

"Kalian ini ..." ucap Yukia yang berusaha bersabar atas tingkah teman dekatnya yang mulai mengibarkan bendera perang.

"Tapikan, Rin lebih parah dibandingkan diriku," bela Sachi.

"Separah-parahnya ku dalam bahasa Inggris, ku masih bisa bahasa Mandarin," bela Rin yang sangat tak ingin kalah dari temannya.

"Sepulang sekolah nanti, apakah kalian ada ekstrakurikuler ?" sambung Yukia yang mencegah mereka untuk semakin menjadi-jadi.

"Iya, aku kosong," jawab Rin.

"Hah ... ku ada ekskul," jawab Sachi dengan malas.

"Hmmm ... Kalau begitu, kita pergi nya malam saja. Mumpung kita masih di jadwal-jadwal yang longgar," ucap Yukia dengan pose berpikir yang membuat dua gadis dihadapannya pun saling tatap, seakan memikirkan hal yang sama.

"Tumben sekali anak pintar keluar malam," ucap Rin yang seakan-akan menggoda Yukia.

"Aku tak menyangka seorang Tsukigami Yukia bisa seperti ini," timpal Sachi.

"Kalau tidak mau, tidak masalah. Ku akan pergi sendirian," ucap Yukia sembari membenarkan kacamatanya yang tak bergeser sedikitpun.

Kedua temannya pun saling bertatapan untuk kedua kalinya dengan tatapan terkejut.

"Aku ikut !" ucap mereka secara serempak.

"Apa Chiba akan ikut ?" tanya Yukia pada pria yang duduk dibelakang Rin.

"Aku ...."

"Chiba akan ikut," timpal Rin dengan semangat.

"Aku tidak ikut," ucap Chiba dengan datarnya.

"Oh ayolah, apakah kau ingin membiarkan tiga wanita jalan sendirian di malam hari," jelas Sachi dengan nada memohon.

"Yang akan pergi adalah kalian, kenapa aku ikut terseret seperti ini," ucap Chiba dengan eskpresi yang tak berubah.

"Tenang, akan ku urus. Chiba akan ikut malam ini," ucap Rin dengan tatapan penuh keyakinan.

"Memangnya kita mau kemana?" tanya Sachi sembari menopang dagunya.

"Jalan-jalan, mungkin. Sekedar untuk mengembalikan mood Rin agar tidak datar saat menyambut anak pertukaran pelajar itu," jelas Yukia yang memasang senyuman simpul.

"Aku lagi ... " ucap Rin yang terkesan tidak terima.

"Pfftt ... hahahaha ...." Sachi pun tak bisa berhenti tertawa mendengar jawaban dari Yukia.

"Urusai !" ucap Rin sambil mendengus kesal.

"Baiklah, jam tujuh malam. Kita bertemu di taman kota," ucap Yukia yang tampak tak mendengarkan ucapan dua temannya yang sedang berperang ini.

"Baiklah," ucap Sachi dengan semangat, sementara Rin dan Chiba hanya bisa diam mendengarnya.

Jika Rin, bukannya ia tak semangat. Hanya saja ia sedikit malas keluar rumah, tetapi berhubung teman dekatnya yang mengajak, maka ia hanya setuju dalam diam. Jika Chiba, tak ada yang mengetahui isi hati Chiba sedikit pun sehingga tak ada yang tahu Chiba setuju atau tidak.

*****

Malam yang ditunggu pun telah tiba, mereka pun bersiap ke lokasi yang merupakan tempat pertemuan mereka. Walaupun hanya jalan-jalan, mereka tetap harus berdandan rapih layaknya anak sekolahan seperti biasanya.

"Rin, mau kemana?" tanya wanita paruh baya yang memiliki Surai serta manik yang sama dengan Rin.

"Aku akan jalan-jalan bersama temanku, Mama," jawab Rin sembari memeriksa tas nya untuk memastikan agar tak ada barang yang tertinggal sedikitpun.

"Tumben sekali anak mama pergi, tapi pergi dengan siapa ?" tanya Mama Rin dengan tatapan penuh kekhawatiran.

"Hanya dengan temanku, Ma," jawab Rin singkat.

"Oh ... dua gadis yang pernah kemari saat kalian masih kelas satu itu? Dan juga dengan Nak Chiba, bukan?" tanya Mama Rin sembari mengingat teman Rin.

" Iya, Ma. Temanku hanya mereka, tidak ada lagi selain mereka," ucap Rin yang telah selesai memeriksa tasnya.

"Siapa tahu kau sudah dapat pacar, tapi di depan mama masih menyebutnya teman," ucap Mama Rin sembari tertawa kecil.

"Aku tidak pacaran, Ma. Yosh ! Aku berangkat," Ucap Rin yang kemudian melangkahkan kakinya menuju tempat yang telah dijanjikan.

"Hati-hati di jalan," ucap Mama Rin sembari menatap kepergian anaknya.

Ya, Mama Rin merasa jika anaknya tumbuh dengan begitu cepat. Ia merasa jika baru kemarin ia menggendong nya tapi sekarang ia telah tumbuh menjadi remaja yang cantik dan tak banyak bicara.

Sesampainya di lokasi, Rin pun langsung mencari dimana temannya berada. Maniknya terus mencoba menelisik dibalik ramainya para pejalan kaki sekaligus para pasangan yang menyempatkan waktunya untuk menghabiskan liburan dengan kekasihnya walaupun di malam hari.

Puk~

"Mencari siapa?"

Tepukan di pundak sekaligus suara lelaki itu membuat Rin ingin mengutuk dirinya seketika. Karena inilah yang ia takutkan jika berjalan di malam hari sendirian, walaupun banyak orang disini tetaplah menjadi ancaman untuknya. Karena tangan itu tak kunjung lepas, Rin pun mencoba berbalik dan menghadap orang yang menepuknya itu.

"Chiba ..." ucap Rin dengan datarnya.

"Tuh, sudah ditunggu oleh yang lain," ucap Chiba yang tak kalah datar sembari menunjuk dua temannya yang tengah asik dengan ponsel mereka.

"Tak kusangka kau datang kemari terlebih dahulu," ucap Rin yang kemudian melangkahkan kakinya terlebih dahulu.

"Akan bahaya jika mereka menunggu disini tanpa pengawasan," ucap Chiba dengan datar sembari menyamakan langkahnya dengan Rin.

"Rin, kau terlambat," ucap Sachi dengan nada sedikit kesal.

"Hei, aku kemari sempat tersesat jika Chiba tidak menepuk pundakku, tahu!" ucap Rin yang tak kalah kesal.

"Kalian, bisakah hentikan keributan kalian untuk sebentar saja?" sela Yukia yang masih mencoba bersabar.

"Maaf ..." lirih Sachi dengan nada bersalah.

"Jadi, kita akan kemana terlebih dahulu?" tanya Rin sembari melipat tangannya di depan dada.

"Wow ... santai lah sedikit, nona. Yuk, kita ke toko buku terlebih dahulu. Ada beberapa buku yang ingin ku beli," ucap Yukia yang kemudian melangkahkan kan kakinya pada toko buku yang berada tak jauh dari lokasi mereka.

"Yukia ... kenapa kita jauh-jauh kemari hanya untuk mencari buku?" tanya Sachi yang terlihat sedikit keberatan dengan keputusan gadis berkacamata ini.

"Karena ku kekurangan bahan untuk materi pembelajaran baru, jadi ku ingin membelinya," jawab Yukia singkat.

"Yukia itu pintar, tidak seperti kau. Yang bisanya hanya bermain game saja," ucap Rin dengan santainya.

"Sudahlah kalian, disaat seperti ini pun masih mau beradu mulut. Kapan kalian akan akur?" tanya Yukia yang sedikit kehilangan kesabaran.

Sementara Chiba, ia hanya berdiam diri sembari mengikuti kemana para gadis pergi. Sungguh, ia tak ingin sedikit pun terlibat dalam situasi ini jika tidak mengingat mereka adalah seorang wanita.

"Kami tidak akan pernah akur. Sama sekali tidak," jawab Sachi tanpa berpikir terlebih dahulu.

"Oh, begitu. Kalau begitu jangan cari aku kalau ada apa-apa," ucap Rin yang membuat lawan bicaranya sedikit terkejut.

Ya, Sachi terkejut karena ia selalu meminta bantuan pada Rin jika ia tak paham pada materi ekonomi. Karena baginya, pelajaran menghitung hanya hal yang menyusahkan.

"Sudahlah kalian, apa kalian ingin ribut juga di toko buku ini?" tanya Yukia yang telah menghentikan langkahnya, beberapa meter dari pintu masuk toko buku yang terkenal mewah di daerah ini.

"Maaf," ucap Sachi dengan nada bersalah.

"Tak apa, mari masuk," ucap Yukia yang kemudian mengambil langkah seribu untuk memasuki tempat itu terlebih dahulu yang di ekor oleh empat temannya dibelakang.

Setelah puas melihat-lihat hingga membeli buku, mereka pun mulai berjalan-jalan menyusuri keindahan kota di malam hari. Orang berlalu lalang kesana kemari, para kekasih sedang memadu kasih, hingga gedung pencakar langit dengan pencahayaan bak bintang di langit pun turut menghiasi kota ini.

"Aku lapar, yuk kita cari makanan pinggir jalan," ajak Sachi dengan nada riang.

"Yah, kalau dipikir benar juga," sambung Rin yang menyetujui perkataan Sachi.

"Baiklah, ayo," ucap Yukia sembari melirik kanan kirinya yang menemukan satu toko takoyaki si sudut jalan.

"Bagaimana kalau itu?" sambung Yukia sembari menunjuk dimana toko itu berada.

"Hmmm, boleh juga, ayo!" ucap Rin yang kemudian menarik dua temannya dan membiarkan Chiba berjalan mengikuti mereka sendiri.

Sesampainya di toko itu, mereka pun langsung memesan empat takoyaki dan duduk di meja yang telah disediakan.

"Kira-kira, seperti apa ya anak pertukaran pelajar itu?" tanya Yukia yang tiba-tiba menarik minat dari dua teman wanitanya.

Sementara Chiba, dia tak memiliki minat untuk mengetahui atau tidak. Karena dia sangat tidak ingin mengurusi kehidupan orang lain.

"Entahlah ..." jawab Rin singkat.

"Bisa saja dia akan menjadi bintang sekolah seperti bule-bule sebelumnya" ucap Sachi dengan riang.

"Bisa jadi," ucap Rin seadanya.

"Tapi, bukankah aneh jika bule bernama Jepang?" tanya Sachi dengan pose berpikir.

"Memangnya kenapa? Tidak boleh?" tanya Rin yang sejurus membuat sang lawan bicara gelagapan.

"Silahkan menikmati makanannya."

Suara pelayan itu menyelamatkan hidup Sachi. Ya, karena suara itu dapat mencegah Rin mengganggu bahkan menjahilinya lagi.

"Ittadakimasu~," ucap mereka serentak dan mulai mencicipi olahan dari gurita tersebut.

Saat memasuki mulut, tepung yang lembut itupun langsung lumer begitu saja, rasa yang gurih, pedas, dan ditambah dengan kekenyalan dari gurita pun membuat siapapun tak ingin menolaknya.

"Enaknya, sudah lama tak makan ini," ucap Sachi yang makan dengan lahap.

"Hei, Sachi," panggil Rin dengan tatapan serius.

"Iya?" ucap Sachi setelah mendengar namanya dipanggil.

"Kulihat ada ibumu di sekitar sini," ucap Rin sembari melihat ke arah belakang Sachi.

Dan Sachi yang penasaran pun langsung berbalik serta mencari sosok yang telah mengandung serta melahirkannya.

"Dimana ?" tanya Sachi yang masih berusaha mencari sosok itu.

Namun ditengah kesibukan Sachi, Rin pun mengambil satu takoyaki Sachi dan langsung melahapnya begitu saja. Yukia yang menyaksikan itu hanya bisa bergeleng pelan.

"Rin, tidak ada ibuku," ucap Sachi yang kemudian menghadap temannya lagi.

"Tadi ada, kan Chiba?" ucap Rin yang mencari pembelaan.

Sementara Chiba hanya mengangguk saja. Dan saat Sachi melihat takoyaki nya, ia merasa kehilangan satu bola makanan itu. Ia pun bingung dan menduga Rin sebagai pelakunya. Namun tampang Rin tak menunjukkan jika dia pelakunya dan membuat Sachi hanya mendengus kesal.

Chiba pun berdiri, dan kembali seperti memesan satu takoyaki lagi. Dan yang benar saja, ia kembali dengan satu bungkus takoyaki ditangannya dan ia berikan pada Sachi begitu saja yang membuat tiga gadis itu terheran-heran.

"Ambil saja, dan nikmatilah," ucap Chiba dengan datarnya.

"Waahhhh, terimakasih," ucap Sachi dengan riangnya.

"Hei, Chiba. Kenapa cuma Sachi saja?" tanya Rin yang tampak tak terima.

"Aku ? Jadi duta shampo lain?" ucap Chiba yang kemudian tidak ingin melanjutkan perkataannya.

"Ayo tertawa!" sambung Rin yang hanya dibalas oleh kedataran pria itu.

Mengingat waktu yang mereka habiskan di luar telah cukup lama, mereka pun segera kembali ke rumah masing-masing.

"Tadaima~," ucap Rin sembari menutup pintu.

"Darimana saja kau, Nak?" tanya pria paruh baya setelah menyeruput secangkir kopi panas.

"Papa, aku ...."

"Anak kita telah mendapatkan teman, makanya dia keluar sebentar untuk bermain dengan temannya," jelas Mama Rin yang memotong ucapan anaknya.

"Baguslah jika kau memiliki teman. Karena kau sudah besar, kau harus pintar-pintar mencari relasi untuk kepentingan saat kau telah dewasa," jelas sang ayah.

Rin pun mendekati kedua orangtuanya yang tengah duduk di ruang keluarga. "Papa, Mama ada yang ingin ku sampaikan ..." ucap Rin dengan tampang lesu.


To be continued~

[Neko Note]

Kokou : sekolah menengah atas
Sensei : guru (bapak guru / ibu guru)
Ittai : sakit
Urusai : berisik
Tadaima : aku pulang (merupakan salam yang dipakai saat hendak memasuki rumah sendiri)

Jangan lupa vote dan komennya ya ^-^
Jumlah kata : 2347 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro