My Definition Of Family

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning: One Shoot, Hurt/Comfort, Family Fluff, Boys Love, OOC, Typos

TRIGGER WARNING! BULLY!

Pair: John H. Watson x Louis James Moriarty

Seluruh chara bukan punya saya, saya hanya meminjam untuk menistakan dan memenuhi asupan nutrisi yang kurang

Happy Reading!!!

Tidak satu pun dari mereka yang menyangka akan mempunyai kehidupan seperti ini. Bahkan tidak dalam pikiran mereka akan terlintas sesuatu seperti pernikahan. Mungkin iya untuk salah satu dari mereka, tapi dia juga pernah dalam masa menyerah akan kehidupan pernikahan miliknya.

Tak akan terbayangkan akan menjalankan kehidupan, apalagi berumah tangga, dengan orang yang mereka cintai hingga ke tahap memiliki seorang anak. Walau memang bukan anak kandung mereka, tapi mereka sudah terlanjur mencintai dan menganggap dia sebagai anak kandung mereka sendiri.

Pertamanya memanglah sangat tidak mudah. Banyak kesalahan yang mereka buat hingga kadang mereka ingin menyerah saja. Tapi seperti mendapat semangat baru malam itu, keduanya sepakat untuk memulai langkah baru dan berusaha belajar untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah mereka lakukan.

Malam itu bukan sekedar malam biasa bagi mereka. Malam itu mereka tersadar jika dengan bersama semuanya akan baik-baik saja. Malam itu mereka menyadari bahwa hanya dengan keberadaan dari orang yang mereka sayangi disana bisa membuat mereka melupakan beban yang mereka pikul. Dan malam itu juga merupakan malam yang akan mereka ingat selamanya.

***

Pagi itu suasana begitu cerah dan hangat. Sinar mentari tanpa malu-malu masuk kedalam ruangan kamar itu, membuatnya terlihat lebih hidup dari sebelumnya. Ruangan minimalis namun memiliki dekorasi yang penuh dengan tema perbintangan itu kini terlihat lebih jelas dibanding sebelumnya.

Begitu juga dengan sang pemilik kamar yang ternyata masih setia menyelam dalam mimpinya. Tubuh kecil itu semakin masuk dalam helaian selimut ketika merasakan sinar matahari yang mulai mengganggu tidurnya. Sayang sepertinya tidurnya akan mendapat gangguan yang lebih besar.

Tak lama kemudian terdengarlah ketukan pelan dari pintu kamarnya. Namun setelah hampir lima menit mengetuk sang pemilik kamar tak kunjung membuka pintunya. Sedang orang yang mengetuk pintu mulai merasa tidak ada gunanya dia meneruskan kegiatan mengetuknya mengambil inisiatif untuk membuka kamar yang sepertinya memang tidak dikunci.

Orang itu perlahan memasuki kamar dan langsung menuju tempat tidur dimana sang pemilik masih setia menutup matanya. Menggeleng pelan melihat kelakuan dari tubuh kecil itu, sang pendatang mengguncang pelan tubuh itu berusaha membangunkannya.

"Lucas ayo bangun, ini sudah pagi," katanya dengan suara lembut.

Sayangnya itu masih belum cukup untuk membangunkannya. Tapi seperti tak kehabisa ide, sang pendatang kembali menegakan tubuhnya berjalan menuju jendela kamar dan membukanya, membiarkan sinar mentari semakin menyinari kamar itu.

"Sayang bukannya hari ini Ayah akan mengantarmu ke sekolah? Kalau tidak bangun sekarang kau akan terlambat."

Seketika itu juga seseorang yang dipanggil Lucas itu membuka matanya dan duduk menatap orang lain yang ada disampingnya.

"Papa benar. Ayah sudah berjanji akan mengantarku ke sekolah," katanya dengan bergebu-gebu.

Orang yang mendengarkannya mengeluarkan tawa kecilnya sambil kakinya melangkah mendekati ranjang sang anak. Dibelainya lembut rambut yang terlihat berantakan itu bersamaan dengan Lucas yang menggosok matanya pelan karena bangun tiba-tiba.

"Jangan bangun tiba-tiba seperti itu Lucas, tidak baik untuk tubuhmu. Lebih baik sekarang kau bersiap-siap. Dan selamat pagi anakku," dan kecupan lembut itu mendarat dipipi serta dahi Lucas yang mengeluarkan senyum senangnya.

"Selamat pagi juga papa!"

"Nah sekarang ayo bersiap."

"Baik Papa," dengan itu Lucas pun turun dari kasurnya dan berjalan menuju kamar mandi dalam ruangan miliknya untuk bersiap. Sedangkan sang papa yang melihatnya hanya menggeleng pelan sambil berdiri dan membereskan kasur berantakan milik anaknya itu.

Selesai dengan pekerjaannya, dia pun pergi menuju lemari pakaian dan mengambil baju yang akan dipakai Lucas hari ini. Tak selesai disana, setelah maletakan baju yang dia ambil keatas ranjang, dia berbalik dan memeriksa perlengkapan sekolah yang telah disusun anaknya semalam, sekedar memastikan tidak ada yang ketinggalan.

Tak lama terdengar suara pintu yang terbuka dan menampakan sosok Lucas yang terbalut dengan handuk. Pria itu tersenyum kecil dan berjalan menghampiri putranya yang ikut berjalan kearahnya.

"Anak Papa sudah wangi sekarang, tinggal mengganti baju dan dia akan siap menjalani harinya."

"Aku sudah tidak sabar mau ke sekolah."

"Tidak sabar sekolahnya atau tidak sabar akan diantar oleh Ayah hm?"

"H-hahaha iya sudah tidak sabar diantar Ayah."

Pria yang disebut Lucas sebagai Papa itu tertawa pelan sambil menurunkan anaknya dan membantunya berganti baju juga merapihkan rambutnya. Sesekali Lukas akan menghentikan Papanya untuk membantunya dan berusaha memakai sendiri pakaiannya. Sang Papa yang melihat usaha anaknya itu tersenyum dengan begitu lembut sedikit sedih mengingat anaknya sudah sangat dewasa.

Matanya yang terasa sedikit berair dia usap dengan cepat agar anaknya tidak melihatnya. Dirinya kembali tersenyum dengan lebar melihat anaknya yang berbalik memperhatikan hasil memakai pakaiannya sendiri. Sedikit berantakan tapi dirinya bangga akan usaha anaknya.

"Kerja bagus Lucas," katanya sambil sedikit merapihkan bagian kerak baju anaknya.

"Hehehe tentu saja Papa," nada bangga dari Lucas membuat mereka berdua mengeluarkan tawa kecil.

"Nah anak Papa yang tampan sekarang ayo kita turun. Ayah pasti sudah menunggu."

"Baiklah ayo Papa." Selesai mengatakan itu Lucas langsung menarik pelan tangan Papanya seakan mengajaknya untuk cepat turun menuju ruang makan di lantai bawah.

"Pelan-pelan saja Lucas."

"Nanti Ayah semakin lama menunggu."

"Tapi Lucas bisa jatuh jika seperti itu."

"Aku tidak akan jatuh jadi jangan khawatir Papa."

Perjalanan singkat mereka dipenuhi dengan percakapan, kalau tidak mau disebut debat, kecil. Walau begitu sepertinya kedua orang beda usia itu sangat menikmati kegiatan mereka. Sayang hal itu harus segera dihentikan karena keduanya sudah sampai ditempat tujuannya.

Dapat mereka lihat dengan jelas seorang pria yang sedang duduk dikursi kepala meja makan sambil membalik halaman koran yang sedang dia baca. Wajahnya terlihat sangat tampan saat matahari tidak sengaja menyusup dari jendela dibelakangnya. Rambut hijau keabuan dan iris kecoklatan yang terlihat memancarkan kelembutan juga kehangatan disana. Belum lagi lengkungan dibibirnya yang bertambah lebar saat ujung matanya menangkap siluet 'istri' dan anaknya.

Lucas yang menyadari tatapan Ayahnya tanpa menunggu lama lagi berlari dan memeluk erat kakinya, "selamat pagi Ayah," katanya hampir berteriak.

Sang Ayah yang mendengar anaknya mengeluarkan tawa pelan sambil mengangkat tubuh kecil itu dan mendududukan dipangkuan miliknya, "selamat pagi jagoan. Bagaimana tidurmu?"

"Sangat nyenyak Ayah bahkan aku memimpikan Ayah dan Papa!"

"Benarkah? Ayah sangat senang kalau begitu."

Sedang keduanya saling bercakap, sang Papa langsung beranjak menuju dapur dan membuat sarapan untuk mereka semua. Memang hanya satapan sederhana tapi bagi mereka asalkan itu dinikmati bersama maka semuanya akan terasa sangat nikmat.

"Senangnya melihat Lucas dan Ayah bersama seperti ini tapi sekarang waktunya sarapan," katanya sambil meletakan sarapan dihadapan mereka.

Mata keduanya berbinar malihat makanan itu, bahkan Lucas langsung meloncat turun dari pangkuan Ayahnya dan duduk dikursinya sendiri. Ketiganya tampak menikmati sarapan dengan senang sambil sesekali terdengar suara tawa diiringi dentingan peralatan makan.

"Hari ini Ayah akan mengantarku ke sekolah kan?"

"Tentu saja. Ayah sudah berjanji bukan?"

Anggukan cepat menjadi jawaban untuk sang Ayah. Lucas yang semakin tidak sabar cepat-cepat menghabiskan sarapannya dan membawa piringnya ke tempat cucian.

"Ayah tunggu sebentar ya aku akan mengambil tasku dulu. Dan terima kasih Papa, sarapannya sangat enak."

Kedua orang yang ditinggalkan itu mengeluarkan tawa pelan melihat kelakuan dari anak mereka. Lucas memang hanya anak angkat, tapi bagi mereka dia merupakan seorang malaikat yang dikirim Tuhan untuk mereka. Lucas sudah membuat hidup mereka menjadi lebih berwarna dari sebelumnya, serta menjadikan mereka menjadi sebuah keluarga yang lebih lengkap dari sebelumnya.

Seperti teringat akan sesuatu sang kepala keluarga perlahan berdiri dari duduknya dan menghampiri sang 'istri' yang kini sedang mencuci perlatan makan. Berusaha tidak mengeluarkan suara sekecil pun, dilingkarkan tangannya itu dipinggang ramping sang 'istri' membuatnya mendapatkan pekikan kecil dan sedikit cipratan air penuh sabun diwajahnya. Namun bukannya terkejut dan marah, sang 'suami' semakin mengeratkan pelukannya bahkan mulai mengecupi pundak orang yang dipeluknya.

"Lepaskan aku John. Bagaimana kalau Lucas lihat," kata sang 'istri' sedikit panic dan sepertinya juga gugup, terlihat dari rona merah yang mulai menjalar dipipi putih miliknya.

Sayangnya, sosok yang memiliki nama John itu bukannya melepaskan seperti yang diminta malah semakin mengencangkan pelukannya. Bibirnya kini mulai naik mengecupi bagian tengkuk leher pemuda itu hingga dia harus menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Apa salah jika aku ingin bermanja sebentar dengan 'istri'ku, Louis?"

"Bukan tidak boleh tapi sebentar lagi Lucas akan datang kemari bodoh..!"

Senyum lembut serta tawa pelan menggema diruang yang tidak terlalu besar itu. Walau sedikit memberikan rontakan, tapi sepertinya tidak ada yang ingin melepaskan atau menyudahi kegiatan mereka itu. Yang satu semakin membenamkan wajahnya sambil menghirup aroma yang paling dia sukai, sedangkan yang satu semakin menutup mulutnya berusaha agar tidak mengeluarkan suara-suara yang aneh.

Dengan lembut John membalikan tubuh 'istri'nya menghadapnya. John bisa melihat bagaimana wajah merah dan mata yang sedikit berkaca-kaca dari Louis yang kini berbalik menatap sayu dirinya. Menelan ludahnya, John tau ini salahnya karena memulai menggoda Louis duluan, tapi tidak dia sangka akan membuatnya menjadi menginginkan sesuatu yang lebih.

"Louis," tidak tau siapa yang memulai, namun kedua belah bibir itu kini saling menempel membagi kehangatan dipagi yang sedikit dingin ini.

John semakin mendekap erat pinggang Louis dengan tangan kririnya, menariknya mendekat hingga tubuh keduanya saling menempel satu sama lain. Tangan kanannya tidak dia biarkan menganggur karena tangannya itu dia bawa untuk menekan tengkuk dari sosok yang kini dia lumat bibirnya. Louis yang sedikit demi sedikit mulai terlena dengan perlakuan John dengan bibirnya perlahan mengangkat tangannya, mengalungkannya dileher sang 'suami'.

John tersenyum kecil merasakan Louis mulai mengikuti alur yang dia ciptakan, membuatnya semakin berani untuk memakan bibir lembut itu sesekali menggigitnya pelan, meminta ijin dari Louis untuk membuka mulutnya. Mengerti akan keinginan dari John, Louis membuka kecil mulutnya. Tidak disia-siakan sedetik pun kesempatan itu, John langsung memasukan lidahnya dan mulai menjelajah rongga basah itu.

Keduanya kini terlibat perang dalam mulut mereka. Tidak ada yang ingin mengelah walau pada akhirnya kita tau siapa pemenangnya. Louis membiarkan sang dominan untuk bermain yang tentu dengan senang hati dilakukan oleh John. Belum lagi usapan lembut yang diberikan Louis pada rambutnya, membuat John makin bersemangat melancarkan aksinya. Tangannya kirinya sekarang tidak hanya diam, namun beranjak mengelus punggung kecil milik sang submisif yang sedikit melengkung karena sentuhannya.

Mata yang tidak sadar dipejamkannya kini terbuka memperlihatkan manik semerah darah yang menatap sayu wajah pasangannya yang masih asik bermain dengan rongga mulutnya. Merasa kebutuhan akan oksigen yang harus segera terpenuhi, Louis menepuk pelan bahu tegap itu yang berhasil ditangkap maksudnya oleh yang bersangkutan.

Walau sedikit tidak rela, John perlahan melepaskan pungutannya serta melihat wajah memerah Louis yang kini terengah-engah karena perbuatannya. Senyum lembut dia keluarkan bersamaan dengan jarinya yang mengusap saliva yang berada di dagu dan bibir sedikit membengak milik Louis. Sedikit menurunkan kepalanya John mengecup pelan leher jenjang itu, meninggalkan tanda baru menemani tanda yang semalam dia buat.

Louis yang masih terengah-engah sedikit tersentak merasakan bibir 'suami'nya yang kini bersarang di lehernya. Dirematnya kemeja John sambil berusaha mempertahankan keseimbangan dirinya. Kakinya mulai melemas akibat serangan yang diberikan John sedari tadi.

"Nngh.. John.."

Kalau tidak ingat sedang berada di dapur dan sebentar lagi harus berangkat kerja  sudah dipastikan John akan membawa 'istri' manisnya itu ke dalam kamar saat itu juga. Berusaha menahan dirinya, John segera menyelesaikan kegitannya dan kembali berdiri tegak menopang tubuh Louis yang sedikit gemetar.

Lain John lain Louis yang kini sedikit menatap tajam 'suami'nya. Dirinya tidak marah kalau mau jujur, yang tidak mungkin diakuinya, Louis juga menginginkannya. Tapi mengingat sekarang bukan waktu yang tepat dan juga tempat yang sangat beresiko dilihat anak mereka, Louis menghilangkan pikirannya untuk melanjutkan kegiatan mereka.

Saat merasa sudah dapat mengendalikan dirinya, Louis mendorong pelan John yang hanya bisa memaklumi perlakuan yang akan dia dapatkan beberapa menit dari sekarang.

"John menyebalkan. Kan sudah kubilang jangan masih saja diteruskan. Nanti kalau Lucas lihat dan bertanya bagaimana? Dia masih kecil, bodoh. Tidak sepantasnya dia melihat hal sepeti ini."

"I-iya maaf Louis. Kau terlalu cantik untuk dilewatkan barang sedetik pun."

Dan wajah manis pemuda pirang itu kian memerah mendengar rayuan yang dilontarkan 'suami'nya. Padahal kalau dihitung sudah tiga tahun mereka menikah tapi tetap saja Louis tidak terbiasa dengan segala rayuan dan godaan yang diucapkan oleh John.

Tidak ingin lebih lama dalam situasi memalukan ini, Louis kembali mendorong pelan pundak tegap John dan kembali melanjutkan pekerjaan mencucinya, membiarkan lelaki bersurai hijau keabuan itu memeluk pinggangnya lagi namun kali ini dia hanya meletakan dagunya dibahu kecil itu.

Keduanya hanya diam. John yang menikmati rasa hangat dari tubuh Louis, sedangkan yang bersangkutan kembali fokus pada pekerjaannya. Kemana pun Louis berjalan John akan mengkutinya, tidak melepaskan pelukannya sama sekali. Herannya, Louis sama sekali tidak merasa risih atau kesulitan. Dirinya begitu santai seakan tidak ada orang lain yang bergelantung dibadannya.

Selesai meletakan piring terakhir dalam lemari, Louis akhirnya berbalik dan menatap bosan pada sang 'suami' yanghanya mengeluarkan cengiran lebarnya. Dicubitnya pipi John yang kini terlihat mengaduh kesakitan akan perlakuannya.

"Ouch, sakit Louis,"

"Siapa suruh mengangguku saat bekerja. Sekarang lepas Dokter John Watson terhormat,"

"Baiklah baiklah aku lepas,"

Merasakan lingkaran tangan itu terlepas perlahan, Louis menghela napas pelan sambil ikut melepaskan juga cubitannya. Tepat saat pelukan itu lepas sepenuhnya, mereka mendengar teriakan Lucas yang meminta sang Ayah untuk cepat keluar dan mengantarnya. Dan saat itu juga Louis yang berniat mengambil kotak bekal milik Lucas kalah cepat dengan tangan John yang kembali menarik pelan dagunya dan mengecup singkat bibir itu.

Selesai dengan itu, John langsung bergegas mengambil kotak bekal milik sang anak dan berlari menuju pintu depan, "Terima kasih sarapannya 'istri'ku, semuanya sangat enak. Sekarang kami berangkat dulu ya. Sampai jumpa saat makan malam."

Louis? Dia hanya terdiam dengan wajah yang kembali memerah kesekian kalinya hari itu. raut kesal yang kentara muncul di wajahnya diiringi dengan teriakan yang membuat John tertawa kecil dan Lucas yang menatap bingung kedua orang tuanya.

"John bodoh! Pergi sana jauh-jauh!"

***

Singkat cerita kini merupakan waktu makan siang bagi seluruh murid sekolah dasar itu. semuanya kini berhamburan keluar kelasnya dan mulai memakan bekalnya, entah yang mereka bawa sendiri dari rumah atau beli di kantin sekolah. Hal itu juga yang sekarang dilakukan oleh Lucas yang membawa bekal serta beberapa buku menuju taman belakang tempatnya biasa menghabiskan waktu makan siangnya.

Sesampainya di taman yang sepi itu, Lucas perlahan duduk di bawah pohon yang biasa dia gunakan sebagai tempat berteduh dan memakan bekalnya. Belum lama dia duduk disana beberapa hewan kecil datang menghampirinya.

Tawa kecil Lucas kelarkan melihat hewan-hewan itu bermain didekatnya bahkan ada seekor kucing hitam yang sudah dia namai sebagai Kuro duduk dipangkuannya dan tertidur disana. Namun seakan sudah terbiasa dan tidak peduli, Lucas melanjutkan makan siangnya sesekali membagi makanannya pada hewan disana.
Merasa perutnya sudah terisi penuh, Lucas kemudian lanjut membaca buku yang sudah dibawanya tadi dan menunggu hingga bel masuk kelas berbunyi. Lucas memang bukan anak yang suka dengan keramaian, namun bukan berarti dia juga anak yang penyendiri. Dia hanya suka untuk menghabiskan waktu untuk membaca yang sudah menjadi hobinya sebelum melanjutkan aktivitas belajarnya. Setidaknya dia ingin mendinginkan otaknya sebelum kembali bertempur dengan berbagai macam materi pelajaran.

Sayang ketenangan itu tidak bertahan lama akibat segerombol anak yang diperkirakan adalah kakak kelasnya datang sambil membuat rusuh. Para hewan yang menyadari kedatangan mereka langsung lari bersembunyi, namun tidak dengan Kuro.
Lucas juga yang melihat kedatangan mereka langsung waspada, takut jika mereka merencanakan sesuatu yang buruk. Dirinya perlahan berdiri sambil memeluk Kuro dengan erat didadanya. Tatapannya masih seperti biasanya dengan senyum kecil terpatri dibibirnya, mencoba tenang seperti yang diajarkan oleh Papanya jika dia mendapati situasi seperti ini.

"Hoi anak orang kaya cepat berikan uangmu pada kami kalau tidak mau kami buat kau babak belur hahaha!"

Sudah Lucas duga mereka pasti akan meminta uang padanya. Benar Lucas adalah anak yang bisa dikatakan berada, namun dirinya sama sekali tidak pernah memakai sembarangan uang yang diberikan kedua orang tuanya. Dia merasa bahwa uang itu bukanlah miliknya sehingga dia harus menggunakannya dengan baik.

"Maaf tapi aku tidak mempunyai uang. Sekarang juga sudah hampir jam masuk kelas karena itu aku permisi dulu."

"Oi! Siapa bilang kau bisa pergi begitu saja bocah!"

BRUK!

Tangan besar itu mendorong kuat tubuh kecil Lucas hingga dia terjatuh didekat semak-semak. Untungnya Lucas masih sembpat membalik badannya hingga kuro tidak ikut tertimpa badannya.

"Kau tidak apa-apa Kuro? Maaf ya kau pasti kaget sekali," ucapnya panik sambil memeriksa badan Kuro. Helaan napas lega dia keluarkan mendapati tidak ada satu pun luka dibadan kucingnya itu. Tatapan matanya kini sedikit menajam menatap gerombolan anak-anak yang masih menertawai dirinya.

"Hahaha makanya jangan melawan lihatlah akibatnya kan."

"Kami bisa melakukan lebih dari itu kau tau hahaha."

"Hei lihatlah tatapannya pada kita. Sungguh tidak sopan."

"Pasti kau tidak pernah diajari Ibumu untuk bersikap."

"Bukankah dia memang tidak punya Ibu? Kau bodoh sekali."

"Hahaha benar juga. Pantas saja dia menjadi kurang ajar seperti ini. Hanya ada Ayah dan Papa yang mungkin juga lupa mengajarinya."

"Benar-benar payah haha- AKH!"

Belum lewat lima detik anak yang sepertinya merupakan ketua dari kelompok itu, dia telah berteriak kesakitan merasakan tangannya dicengkram dan diputar kebelakang tubuhnya yang besar itu. Dirinya yang ingin membalas perbuatan itu seketika terdiam melihat raut dingin penuh amarah dari anak yang dia hina sebelumnya.

"O-oi lepaskan a-aku! Kau akan mendapat hukuman jika guru mengetahunya."

"Be-benar itu!"

Dengusan dan tawa kecil dapat mereka dengar dari lelaki kecil itu yang kembali mengeratkan kunciannya pada anak itu.

"Lalu apa? Bukankah seharusnya kalian yang mendapat hukuman?"

"Bicara apa kau?! Lihatlah siapa yang berbuat kekerasan disini?!"

Dengan hentakan yang kuat anak itu akhirnya berhasil melepaskan cengkraman Lucas ditangannya dan langsung berlari bersembunyi diantara anak-anak lainnya. Sedangkan Lucas yang melihat itu semakin mengeraskan tawanya hingga semua orang yang ada disitu terdiam menatap aneh dirinya.

"A-apanya yang lucu hah?!"

"Tentu saja kalian semua," ucapnya tenang, "kalian ingin melaporkan adanya kekerasan namun kalian duluan yang memulainya. Kalau kalian bilang aku terjatuh sendiri dan mendapat luka seperti ini," Lucas menujuk luka dibagian lengannya, "yang ada mereka akan menertawai kalian," lanjutnya sambil terus tersenyum serta mengelus kepala Kuro.

Kelompok anak-anak itu kembali terpancing amarahnya mendengar perkataan Lucas yang terkesan merendahkan mereka. Salah satu anak dengan cepat mencengkram kerah bajunya dan mengangkatnya hingga Lucas harus sedikit berjinjit.

"Jangan sembarangan kalau bicara ya?! Kau tidak tau siapa Ayahku?"

"Benar Ayahnya adalah kepala sekolah. Kau akan habis jika dia sampai mengetahui hal ini."

Hal itu bukannya membuat Lucas gentar namun sebaliknya, tawanya semakin besar. Tatapan aneh dan kesal mereka lontarkan kearah Lucas hingga akhirnya Lucas menghentikan tawanya.

"Kepala sekolah ya? Kalau begitu ayo kita tanya dia apakah dia akan mengeluarkanku atau tidak?"

***

"Maafkan kelakuan mereka nak Lucas. Mereka masih kecil dan belum mengetahui apa-apa,"

"Tidak, tidak, seharusnya saya yang meminta maaf karena telah mengganggu waktu istirahat anda pak kepala sekolah."

"Ayah ! kenapa kau malah mengajaknya minum teh?! Dia sudah berbuat kekerasan-"

"Sebaiknya kau diam sebentar dan jangan panggil aku Ayah di sekolah," kaliamat tegas itu membuat semua yang disana terdiam ketakutan. Sayang itu tidak bertahan lama karena tawa halus yang keluar dari bibir Lucas. Dirinya perlahan bangkit dan menatap mereka semua dengan senyum kecilnya.

"Maaf kalau aku tidak memberitahu kalian jika orang yang kalian sebut Ayah dan Papa-ku itu merupakan donator utama yayasan ini," sekali lagi perkataan dengan nada tenang miliknya membuat anak-anak yang sebelumnya menatap remeh dirinya berbalik menatap takut.

"Kalian tidak perlu takut seperti itu, aku bukan bocah yang suka menggunakan kekuasaanku untuk hal kecil seperti ini."

TENG! TENG! TENG!

"Sepertinya sudah waktuku untuk kembali dalam kelas. Saya permisi dulu pak kepala sekolah."

"Silahkan nak Lucas. Semoga kau bisa belajar dengan baik."

"Tentu saja, dan bapak bisa memeriksa kamera pengawas taman belakang untuk melihat cerita sebenarnya tentang apa yang terjadi. Saya permisi sekarang, selamat siang semuanya."

***

"Lucas sepertinya kau senang sekali. Apa ada kejadian menarik di sekolah tadi?"

Lucas yang ditanya oleh sang Papa mengeluarkan senyum lembutnya dan menjawab dengan suara yang riang, "tidak ada apa-apa Papa. Aku menjadi menyadari sesuatu yang sangat menyenangkan tadi siang."

"Dan apakah itu jagoan?"

Senyum itu semakin melebar dan sebuah pelukan besar diberikannya pada dua orang yang sangat berharga baginya. John serta Louis menatap bingung, tumben sekali Lucas menjadi manja begini apalagi saat makan malam. Bukannya mereka tidak suka kalau Lucas manja, hanya merasa terkejut saja anak kesayangan mereka seperti ini. Namun apapun itu keduanya kembali mengeluarkan tawa kecil dan membalas pelukan itu dengan lebih erat dan hangat.

Malam itu mereka bertiga menghabiskannya dengan bercerita banyak hal satu sama lain. John dan Louis bahkan sepakat untuk tidur dengan Lucas di kamarnya yang membuat anak itu berbinar dan semakin bersemangat bercerita tentang kehidupan sekolanya.

Baik John, Louis, maupun Lucas sadar bahwa kau tidak memerluka sebuah jalinan darah untuk menjadi keluarga yang utuh. Kau bahkan tidak perlu anggota yang lengkap untuk menyebut diri sebagai keluarga. Karena yang kau butuhkan hanya kehangatan dan senyum lebar di wajah tiap anggota keluargamu.

"Aku sangat menyayangi kalian Ayah, Papa."

"Kami juga sangat menyayangimu Lucas, anak kami, cahaya dalam kehidupan kami."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro