🥀 Chapter 05

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Changbin POV

“Bagaimana kabarmu hari ini, Binnie?”

Aku tidak bisa menjawab. Bukan hal aneh bagiku untuk tidak menjawab langsung pertanyaan semudah itu. Mama dan Papa paham dengan diriku, tetapi mereka tidak. Aku tahu dengan desas-desus tentangku yang beredar di sekolah. Kuyakin Papa juga tahu, tapi dia belum membahasnya denganku. Papa tidak akan gegabah itu menyerang mereka. Aku berusaha mencari jawaban yang pas secepatnya, atau Yoora akan mengetahui rahasiaku.

Papa tidak mau dunia luar mengetahui apapun tentangku.

Hanya karena tidak mau dunia menjelekkan diriku.

“Aku ... baik, Yoora. Bagaimana dengan ... mu?” jawabku dengan ragu. Sepertinya Mama pernah mengajariku untuk bertanya balik kepada orang-orang yang bertanya seperti itu padaku. Kata Mama itu adalah moral. Apakah seperti itu?

“Aku juga, Binnie. Walaupun, aku terluka sedikit. Tapi, Dokter Haru sudah mengobatiku.” Jawab Yoora dengan sorot yang masih memandang ke depan, ke arah jendela, tatapannya terlihat kosong, bibirnya terus menyunggingkan sebuah senyuman. Sesuatu yang jarang aku temui didalam orang lain.

“Kenapa kamu terus tersenyum, Yoora?”

Aku memutuskan untuk menanyainya. Menurutku, itu bukan sesuatu yang aneh untuk ditanya, dan tidak akan membuat Yoora menyadari kekuranganku. Dapat kulihat dia masih setia dengan senyumannya, dia tidak tampak terganggu denganku yang bertanya seperti itu.

“Karena senyuman bisa membuat dunia menjadi lebih baik, Binnie.”

Jawabannya tidak memuaskan diriku. Aku masih tidak paham.

“Tidakkah kamu merasakan kebahagiaan kecil ketika seseorang menyambutmu atau sekilas menyapamu dengan sebuah senyuman, padahal harimu terlihat buruk? Aku tidak bisa melihat, tetapi aku masih bisa tersenyum. Aku sadar tersenyum adalah hal kecil tetapi, bisa memberikan efek terbesar dalam diri seseorang.” Yoora menjelaskannya dengan tenang.

Aku memutar logikaku, apakah dia tidak mau membuat orang-orang mengasihinya, karena dia tidak bisa melihat?

“Kamu bisa mulai harimu dengan senyum kepada orang terdekatmu di pagi hari. Kamu harus mencobanya, Binnie. Awalnya akan terasa sulit, tetapi akan terbiasa.” Ucap Yoora yang terus memandang ke depan.

Senyum?

Apa aku bisa melakukannya seperti yang Yoora lakukan?

Dia begitu tenang, aura yang dia berikan kepada orang-orang selalu baik dan positif, terlepas dari kekurangan pada penglihatannya.

“Kamu bisa mencobanya pada orangtuamu, Binnie. Aku yakin mereka akan merasa senang dari sebelumnya.”

Apakah seperti itu?

Papa dan Mama ... apakah mereka akan merasakan seperti yang Yoora katakan?

Aku tidak pernah tersenyum, tidak pernah ada sesuatu yang logis membuatku merasakan sampai membentuk sebuah senyuman seperti yang Yoora lakukan.

“Bahkan, sebuah pelukan bisa menenangkan orang yang sedang gelisah, Binnie. Indahnya perlakuan kecil yang terasa sulit untuk dilakukan.”

Aku hanya diam, mencari alasan yang bagus untuk menyetujui pernyataan Yoora. Tapi, nihil. Aku tidak mendapatkan apa-apa.

“Apa kamu sibuk setelah pulang sekolah nanti, Binnie?” tanya Yoora menghancurkan keheningan yang terbentuk beberapa menit yang lalu.

“Tidak, Yoora.”

Setidaknya, belum. Papa belum memintaku mempersiapkan diri untuk mengikutinya di malam hari. Papa memang jarang memintaku untuk mengikutinya.

“Mau ikut bersamaku menjenguk Jiji sepulang sekolah nanti?” tawar gadis di sebelahku, aku tidak tahu harus menjawab apa, akan tetapi, aku sempat melihat beberapa binar bintang berada di sepasang maniknya.

Sedangkan, aku sendiri tidak mampu menolaknya. Tetapi, Papa kemungkinan besar tidak akan memberiku izin untuk menyetujuinya.

▪︎▪︎▪︎

Author POV

“Sudah sampai, Paman?”

“Sudah sampai, Nona. Mau saya bantu?”

Yoora mengulas senyum tipis nan sungkan, “Boleh, Paman.” Sang supir yang telah mengabdi kepada keluarga Kang puluhan tahun.

Supir tersebut segera keluar dari mobil dan membantu anak majikannya turun dari mobil. “Mau saya tunggu, Nona?” tanya pria berusia kepala lima itu dengan sopan.

“Kemungkinan saya akan lama di rumah Jiji, Paman. Nanti saya minta tolong Tante Irene untuk mengantar saya pulang.”

Sang supir mengangguk dan memberikan White Cane yang telah dibentangkan kepada Yoora, “Ini, Nona. Hati-hati, ya. Mari, Nak Changbin, saya duluan.”

Changbin hanya melihat interaksi dua manusia beda usia itu, mobil tersebut meninggalkan area, tatapannya mengarah kembali ke arah rumah di depannya. Tidak begitu megah, terkesan minimalis, dilapisi dengan warna terang, di depannya ada perkarangan mini penuh bunga.

Changbin akhirnya ikut menjenguk sahabat Yoora dengan seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Ayahnya memberi izin untuk pergi dengan banyak amanat.

“Ayo, Binnie.”

Changbin ikut masuk ke dalam dengan tatapan menyorot ke seluruh isi rumah tersebut. Dengan tangan yang menggandeng tangan Yoora sesuai dengan amanat Bapak supir dan ayahnya. Ruang tamunya yang sama pada umumnya, terpajang televisi dengan satu set sofa berwarna cream di depannya, ada meja kecil di depan sofa.

“Tante Irene,” panggil Yoora di depan pintu masuk.

“Yoora, ya?”

“Iya, Tante.”

“Pelan-pelan, sayang. Ayo, masuk- eh! Bawa teman?” Sosok wanita seumuran dengan Bundanya Yoora muncul dari dalam.

Yoora tercengir pelan, “Iya, Tante. Namanya Seo Changbin. Binnie, kenalkan, dia Tante Irene, Mamanya Jiji.”

Changbin membungkukkan badannya, “Selamat siang, Tante Irene. Seo Changbin imnida.” Walaupun, dia tidak merasa perasaan apapun. Tetapi, kata Mama itu adalah bentuk sopan santun.

Wanita disapa dengan sebutan Irene itu pun tersenyum, dengan anggun, dia menggandeng Yoora dan Changbin masuk ke dalam, “Mau bertemu dengan Jiji, bukan? Jijinya ada di belakang. Mau Tante panggilkan?”

“Tidak perlu, Tante. Yoora ke sana saja.” Balas Yoora dengan senyum yang masih terbingkai di wajahnya.

“Ya sudah, Tante temani kalian ke sana, ya?”

Yoora tersenyum dan menuturkan ucapan terima kasih. Changbin hanya mengikuti dari samping dengan sebuah bingkisan kecil untuk Jiyeon.

“Jiji, kemari, sayang. Yoora dan teman kalian datang menjengukmu.” Ujar Irene yang menuntun Yoora dan Changbin duduk di sebuah gazebo terletak di tengah taman belakang rumah.

“Yoora, Changbin.”

“Nikmati waktu kalian. Tante akan bawakan minuman untuk kalian.”

“Eh, tidak apa-apa, Tante. Yoora ambil sendiri saja. Tante seperti bertemu orang asing saja.” Balas Yoora dengan sungkan.

“Baiklah. Tante tinggal, ya. Nanti kalian cobain brownies buatan Tante.”

Yoora mengangguk semangat. Irene pun meninggalkan muda-mudi tersebut.

“Sudah baikan, Jiji?” tanya Yoora mengawali percakapan.

“Sudah. Tidak apa-apa, sebentar lagi sudah sembuh.”

Yoora berdeham, dia menyimpan kembali White Cane-nya di samping, “Cepat sembuh. Kita bisa belajar lagi di sekolah.”

“Bukannya ada Changbin?” ucap Jiyeon dengan salah satu alis yang naik ke atas sambil melihat Changbin diam mendengar mereka.

“Ji, ... ini untukmu.” Ucap Changbin sambil memberikan bingkisan tersebut, hanya berisi buah-buahan untuk gadis yang sedang tidak sehat ini. Changbin melihat jam tangan Jiyeon, kemudian melihat Jiyeon dengan tatapan penuh.

Jiyeon tersenyum, mengabaikan tatapan Changbin, “Terima kasih. Aku akan semakin sehat setelah memakan ini. Changbin, bantu aku untuk membawanya ke dapur, aku harus mengupasnya dan makan sekarang.”

Changbin tak bersuara, dia masih melihat Jiyeon dan Yoora bergantian.

“Pergilah, Binnie.” Ucap Yoora dengan lembut. Seolah majikannya adalah Yoora, Changbin dengan nurut pergi bersama Jiyeon.

▪︎▪︎▪︎

“Aku tahu kamu melihatnya, Changbin. Aku tidak apa-apa, sungguh, aku baik-baik saja. Aku lebih mengkhawatirkan Yoora daripada diriku sendiri.” Jiyeon berucap sambil membuka bingkisan tersebut dan mengeluarkan apel, jeruk dan anggur dari sana.

“Kamu bisa mencuci jeruk dan apel, bukan? Yoora paling suka makan apel di gazebo.”

Changbin mengambil buah berwarna merah, mencucinya dan meletakkannya di atas piring bersih. “Kamu akan meninggal. Tidakkah kamu takut?” tanya Changbin dan menatap manik hitam Jiyeon.

Jiyeon membeku, berusaha mencari jawaban yang tepat, dia takut, teramat takut. Tetapi, dia tidak bisa mengutarakannya pada pemuda yang baru saja datang ke hidup mereka beberapa hari yang lalu.

“Sedikit. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah aku tertidur dan tidak bisa bangun kembali. Mama sudah siap menerima kenyataan ini. Pakaianku sudah disiapkan.” Ucap Jiyeon sambil mengupas apel. “bantu aku mengupas jeruk, Changbin.”

Changbin mengambil jeruk dan mengupasnya dengan teliti. Jiyeon tersenyum kecil dan menuturkan satu kalimat.

“Kamu mau membantuku, Changbin? Untuk terakhir kalinya.”

Changbin menghentikan aktifitasnya, melihat Jiyeon dengan kulit jeruk yang telah terkupas, menunggu kelanjutan Jiyeon. Jiyeon berbalik, menghadap Changbin dengan tatapan putus asa.

“Aku tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Hanya kamu yang lebih dekat dengannya belakangan ini selain aku ... Ketika aku meninggal nanti, gantikan posisiku menjadi temannya, matanya, pelindungnya,”

Jiyeon menatap pemuda tersebut dengan penuh harapan.

“Maukah kamu, Changbin?”

▪︎▪︎▪︎

Our Tomorrow | Chapter 05
Done

︎▪︎▪︎▪︎

Baru kali ini aku menulis dimana tokohnya meninggal dengan cepat. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, aku jarang menulis tokoh yang berakhir meninggal.

Biasanya hanya sampai tahap berpisah tapi, masih hidup.

Ya, sesuatu harus dicoba.

Bagaimana dengan chapter kali ini?

Comment dan feedback akan sangat membantuku dalam menulis.

See ya ^^

▪︎▪︎▪︎

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro