PART 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


PART 13


_Jati_

Sabitah Marga menyediakan dua jenis ukuran unit, Type 220 hingga Type 275 sebagai unit paling luas. Konsep tiap-tiap unit merupakan perpaduan konsep modern, tropis dan minimalis. Dalam dunia real estate, sudah menjadi hal biasa menggabungkan dua atau lebih konsep dalam satu desain. Karena terkadang, pilihan terhadap satu konsep dirasakan belum pas, sehingga membutuhkan kombinasi dari konsep lain. Hal tersebut menyesuaikan keinginan owner serta melihat kebutuhan pasar. Dalam hal ini, konsep yang diusung Sabitah Marga cukup sukses. Sebulan sejak diperkenalkan, ¾ unit sudah terpesan. Ukuran rumah yang luas, di lokasi premium, dilengkapi fasilitas yang juga premium menjadi daya tarik Sabitah Marga.

Hal itu tentu saja menjadi kabar menggembirakan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proyek prestisius tersebut. Terkhusus bagi Jati yang benar-benar memfokuskan diri sejak awal rencana proyek ini dibuat. Kesibukannya semakin bertambah setelah tahap kontruksi mulai dikerjakan. Setiap dua atau tiga hari sekali dia akan meninjau ke lokasi proyek.

Beberapa minggu terakhir ini, cuaca tidak menentu. Langit bisa tiba-tiba menggelap dan turun hujan selama berhari-hari. Lalu beberapa hari kemudian, suhu udara kembali panas, ditandai matahari yang bersinar terik. Tidak bisa ditebak, seperti suasana hati seseorang.

Sekarang, Jati baru saja terbangun dari tidur setelah mendengar bunyi alarm. Biasanya dia akan terbangun sebelum alarm berbunyi. Tetapi tubuhnya kurang fit sejak kemarin dan baru bisa tertidur dinihari tadi. Yasmin sempat membuatkan ramuan jahe, madu dan lemon sebelum tertidur. Sekarang, badannya sudah terasa lebih baik.

"Yas," panggil Jati.

Mungkin sedang berada di dapur.

Jati berjalan menuju pintu sambil mengancingkan baju piama. Semalam, setelah Yasmin membantu membaluri tubuhnya dengan minyak kayu putih, Jati memang sudah tidak ingin mengancingkan baju. Rasanya lebih nyaman saja seperti itu.

"Gimana? Udah enakan badannya?" tanya Yasmin yang sedang mengaduk-aduk nasi goreng. Pileknya juga sudah berkurang, karena Jati sudah bisa mendeteksi aroma masakan yang tengah diolah Yasmin.

"Udah sehat. Terima kasih perhatiannya, dokter cantik."

Yasmin tersenyum.

Setelah mematikan kompor, Yasmin membagi nasi goreng ke atas dua piring yang sudah dihiasi daun selada dan tomat. Yasmin merapikan tampilan nasi goreng, kemudian menambahkan dua potongan timun. Sepertinya tadi terlupa.

"Nasi goreng daging sapi ala chef Yasmin ready to served."

"Nanti saya yang ngambil gelas sama kerupuknya." Jati melakukan apa yang bisa dikerjakan di sana.

"Nggak usah minum kopi dulu, nggak pa-pa ya? Lambung kamu juga lagi bermasalah. Sebagai gantinya aku udah buatin jus wortel."

Hari itu, Nena sedang tidak berada di rumah. Nena sudah ijin sejak kemarin untuk urusan keluarga. Karena Yasmin juga tidak sedang sibuk, Yasmin mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Termasuk mencuci pakaian.

Padahal Yasmin bisa saja menghubungi rumah orangtuanya untuk meminta bantuan sementara dari ART, tapi Yasmin tidak melakukannya dengan alasan masih bisa mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Pengalaman tinggal sendiri saat kuliah bertahun-tahun di luar negeri membuatnya telah terbiasa dengan pekerjaan domestik dalam rumah.

Impressive.

"Thank you. You work hard." Jati mengucapkannya saat Yasmin menuangkan jus wortel ke dalam gelas.

"My pleasure." Yasmin lalu menyentuh dahi Jati untuk merasakan suhunya. "It's going better now."

"As i said before."

"Mm, gimana kalau langsung makan aja? Kamu pasti laper banget. Semalam makannya dikit." Yasmin menarik kursi. "Tadinya aku mau bikin pasta, tapi pastanya tinggal dikit. Jadi aku bikin aja nasi goreng daging sapi. Itu pun cuman pake sliced beef yang kemarin aku buat yakiniku."

"Kapan mau grocery shopping?"

"Rencananya hari ini. Mungkin sejam lagi. Kalo udah agak siang, aku mageran soalnya." Yasmin mengaduk-aduk nasi dengan sendok. "Kenapa? Mau nemenin?"

"Iya. Sebagai ucapan terima kasih karena udah dirawat semalaman. Bonus pagi ini dimasakin nasi goreng seenak ini."

"Tapi beneran udah sehat?" Yasmin memastikan.

"Hmm."

"Atau bentaran aja gimana? Sekalian sehabis itu, kita makan siang di luar."

"Oke."

Yasmin menatap piringnya. "Masih jadi misteri, kenapa kalo ketemu lalapan, atau ketemu garnish timun di atas nasi goreng atau ayam geprek, jumlahnya selalu aja dua."

"Angka hoki barangkali." Jati menjawab sekenanya. "Pernah makan di mana ayam gepreknya?"

"Order Go Food. Sometimes pake Grab. Biar adil, nggak ada yang cemburu. Minta tolong sama Mbak, karena mama nggak mau aku pake nomor ponselku untuk transaksi. Ayam Keprabon enak sih. Kalo nasi goreng, lupa sih kemarin ordernya di mana. Murah banget lagi. Cuma 28 ribu udah kenyang banget."

"Great."

Yasmin lalu bercerita tentang sebuah kejadian di masa sekolah seputar jajanan.

"Aku punya cerita. Aku pernah kan jalan-jalan sama temen SMP. Teman aku tuh dua orang. Yang satu, papanya pengusaha tambang di Kalimantan. Satunya lagi, papanya GM hotel deh kalo nggak salah ingat. Lagi dalam mobil, muter-muter nyari resto, trus aku lihat ada gerobak tulisannya cimol apa gitu, aku pengen nyobain. Kok kayaknya enak, soalnya gerobaknya dikerumunin banyak orang. Temenku yang pertama bilang, ah nggak usah. Itu makanan rakyat jelata. Lo nggak pantes makan. Ntar lo sakit perut. Atau perut lo alergi, trus badan lo gatal-gatal. Aku bilang aja. Kalo emang bakal gitu, pasti yang selama ini jajan di situ bakal sakit perut semua. Bakal gatal-gatal semua. Tapi kan nggak."

Yasmin menarik napas, lalu kembali melanjutkan cerita.

"Aku nggak ngerti sama konsep orang kaya yang nggak mau makan makanan murah dengan alasan seperti itu. Nggak elit dan lain-lainnya. Bukannya konsep makanan itu bikin kenyang dan senang? Kalo harus dibatesi seperti itu, repot juga kan? Kasihan kan makanannya. Ntar makanannya tersinggung dapet diskriminasi."

Jati mengangguk-angguk, tanpa bisa menahan tawa. Terkadang Yasmin mengatakan sesuatu yang non sense, yang anehnya bukan menjengkelkan. Malah jatuhnya menjadi sesuatu yang berbau humor. "Jadi, berhasil nyobain?"

"Nggak di hari itu. Besoknya aku minta tolong aja ke Mbak yang biasa masak, minta dibuatin cimol. Lucu banget, sampe meledak-ledak gitu pas digoreng. Aku mintanya satu macam, eh malah dibuatin macam-macam. Ci...lok, cilok ya? Cimol sama...mmh apa sih yang biasanya digoreng gitu. Ada isiannya. Kadang dipakein sambel."

"Bakwan?"

"No. It starts from C too."

"I have no idea. Oh wait." Jati berpikir-pikir. "Cireng, maybe?"

"Iya itu dia! Cireng! Kok bisa lupa? Nanti deh kapan-kapan aku coba bikin."

Mereka sama-sama tertawa.

Jati memerhatikan tawa Yasmin yang begitu lepas.

Yasmin pernah mengatakan jika Jati mungkin akan mencintainya lebih cepat daripada yang Jati pikirkan. She's adorable. Jati tidak melihat cela di sosok Yasmin. Dengan semua kelebihan yang ada dalam dirinya tidak membuat Yasmin menjadi pribadi angkuh. Sebaliknya, Yasmin memiliki kepribadian yang bisa membuat siapapun betah berada di dekatnya. Ceria, hangat, lembut dan sederhana.

Jadi, apalagi yang dia tunggu?

***

Suasana Kem Chicks Pacific Place cukup lengang saat mereka tiba. Satu-persatu, barang-barang kebutuhan bulanan dimasukkan ke sebuah troli. Jati lebih banyak menjadi pengamat karena tidak begitu paham barang-barang apa saja yang akan dibeli. Tugasnya hanya menemani, berdiskusi hingga membayar tagihan. Dia mempercayakan pemilihan barang kepada Yasmin yang kini tengah berjalan di depan rak bagian peralatan memasak. Diambilnya sebuah loyang pizza berukuran besar lengkap dengan pisau pemotong berbentuk bulat. Dari cara Yasmin menghabiskan waktu begitu lama di area loyang kue, Jati yakin, sebentar lagi ada eksperimen baru.

"Hai. Kak Eliza?"

Jati mendongakkan kepala dari screen ponselnya, mendengar Yasmin menyapa seseorang. Seseorang itu terdengar kaget, tertawa. Disusul tawa renyah Yasmin. Setelah saling menyapa, keduanya mulai mengobrol.

"Bareng sama siapa ke sini, Dek Yas?"

"Bareng Kak Jati."

"Ntar dulu. Jati yang mana dulu nih?"

"Astaga Kak. Ada berapa nama Jati sih yang aku bisa kenal?"

Tidak berapa lama, Eliza sudah berjalan tergopoh-gopoh ke arah Jati, dan langsung menepuk lengan Jati dengan cukup keras. Mereka memang cukup akrab karena mereka pernah sekelas di tahun terakhir SMA.

"Heiiii Jati Prapta Atmaja! Cowok paling ganteng se- Kemang. Ya ampuun. Long time no see. Terakhir sempat ketemu di bandara kalau nggak salah pas awal tahun. Lo baru pulang dari Amrik." Suara Eliza terdengar blak-blakan.

Eliza mengenakan hijab modis, menenteng tas belanja serbaguna.

Yasmin menghampiri mereka, tertawa melihat Eliza yang kini malah mencubit Jati saking gemasnya. "Ya ampun kangen banget gue. Sombong banget lo ya, nggak pernah bunyi di grup sekolah?"

"Sibuk."

"Alesaaan aja. Gue juga sibuk kali, secara bu ibu rempong dengan dua anak balita. Tapi anak gue lagi sekolah jadi gue bisa belanja dengan tenang." Dahi Eliza mengerut. "Kenapa kalian bisa sama-sama?" tanyanya.

"We're married, Kak." Yasmin menjawab.

"Serius? Jati? Lo sama Yasmin udah nikah?" Eliza menunjuknya dan Yasmin secara bergantian.

"Iya. Sampai kaget banget lo. Ada yang salah?" canda Jati. Ponsel dimasukkan ke saku depan celana denimnya.

"Bukan gimana-gimana. Lo berdua kan nggak pernah ada koneksi, eh tiba-tiba saja udah nikah. Congratulations deh! Gue nggak diundang."

"Semua member di grup diundang, Liz. Lo ingat dulu, sekitar tiga bulan lalu lo lagi di mana."

"Hehe. Gue lagi di luar negeri sih waktu itu. Kemungkinan. Tapi di grup kok nggak ada yang bahas?"

"Ada kok yang share foto-foto resepsi." Jati tidak mau kalah. Karena penasaran, mereka mengecek ponsel masing-masing lalu mencari grup kelas.

"Ck. Kok bisa gue nggak ngeh kalo gue udah keluar dari grup? Gue abis ganti nomor sih, trus lupa minta di-add lagi." Tidak lama, Eliza menghubungi salah satu admin untuk memasukkannya lagi sebagai anggota Whatsapp Group. "Nah, berhubung gue ketemu lo lagi, mending abis ini kita ngobrol dulu. Lo masih lama belanjanya?"

"Bukan gue yang belanja."

"Iyaa, istri looo." Eliza memasukkan ponsel ke dalam tas.

"Gini aja. Setelah belanja, kita makan siang bareng aja sama Yasmin."

"Lo bayarin ya?"

"Iyalah."

***

_Yasmin_

Gyukaku, Pacific Place Mall.

Dari obrolan di sela makan siang, Yasmin mengetahui jika Eliza Wirawan bekerja dari rumah mengelola e-commerce. Suaminya, seorang dosen yang sedang kuliah doktoral di Washington DC, Amerika Serikat. Makanya, dia cukup sering menghabiskan waktu -di jalan-, bolak-balik Jakarta- Washington. Eliza memilih menyekolahkan anak-anaknya di Indonesia karena kurang setahun lagi, suaminya akan lulus program doktoral.

"Suami gue itu, dulunya anak Smandel. Lo inget kan, ada temen sekelas kita yang pacaran sama anak Smandel. Hani. Inget nggak? Yang pacaran sama anak OSIS Smandel."

"Gue nggak ingat. Lo ya, Liz? Gosip gini aja lo masih ingat."

Eliza tergelak. "Ingatan gue masih tajam dong. NIP kepala sekolah waktu itu aja gue masih inget."

Suasana meja makan menjadi ramai karena kehadiran Eliza bersama mereka. Benar-benar makan siang yang menyenangkan.

"Teman-teman sekelas kita dulu...ntar gue inget dulu, yang duduk paling depan dekat meja guru, pas dekat jendela, Nanas sama Lele." Eliza menjelaskan. "Nanas yang ada Nasutionnya lah pokoknya. Lele, siapa lagi sih? Leo apa Leonard."

Yasmin lebih banyak menjadi pendengar. Karena dulunya dia adalah junior mereka, dan mereka memang dulunya tidak saling akrab. Kelas Jati dan Eliza merupakan kelas unggulan di antara seluruh kelas senior. Hanya siswa-siswa dengan nilai tertinggi dari enam rombel dari kelas sebelumnya yang bisa masuk ke kelas unggulan. Jati berada di urutan kedua nilai tertinggi di kelas tersebut.

"Hebat banget lo sekarang. Gue sempat lihat iklan proyek townhouse Sabitah Marga di IG. Hunian super eksklusif kelas sultan."

"Masih ada beberapa unit. Siapa tau lo minat. Bisa cash atau kredit."

"Nanti aja kalo gue udah kaya. Harga tanah di situ aja udah gila banget. Mana ukuran bangunannya 220 meter persegi, dua lantai." Eliza tergelak. "Gue ampir lupa, keluarga Yasmin yang punya Hartadi Group." Eliza tersenyum sopan kepadanya. "You're so lucky, punya istri seperti Yasmin."

Keluarganya memang sangat terkenal di bidang bisnis real estate.

Ya sudah. Berhenti di situ saja.

Yasmin ingin orang-orang melihatnya sebagai Yasmin saja, bukan Yasmin, si gadis kaya dari keluarga Hartadi.

Tidak ada yang salah dengan penyebutan nama keluarganya. Yasmin tentu tidak bisa menghilangkan nama itu. Nama keluarga adalah identitas. Tetapi identitas itu menimbulkan perasaan tidak nyaman. Karena orang-orang cenderung tanpa sadar, menekankan penyebutan nama Hartadi di belakang namanya. Orang-orang akan segan, sungkan menjadi temannya.

Yasmin seharusnya sudah mampu membiasakan diri di usianya yang kini sudah dewasa.

Belajar menerima dan bersyukur. Bukan malah mengeluh.

"Yas, wagyu. Buat kamu."

Jati meletakkan potongan wagyu premium yang sudah dibakar ke atas piringnya. Yasmin pernah bercerita soal ketidaknyaman jika seseorang membahas tentang keluarganya kepada Jati, dan mungkin Jati menangkap perubahan reaksinya.

Jati kembali menikmati makanannya, kembali mengobrol bersama Eliza. Masih dengan keseruan yang sama.

Kalau aku bukan seorang Hartadi, apakah Kak Jati masih akan tetap melihat dan menyadari keberadaanku?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro