PART 27 (21++)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 27


Yasmin menunggu Jati kembali menghampirinya untuk melanjutkan aktivitas yang selalu membuatnya ekstra kerja keras menstabilkan debaran jantung dan napasnya. Kini keadaan sudah aman karena pintu dalam keadaan terkunci. Ia tersenyum menyadari bahwa mereka sama-sama suka bereksplorasi di tempat-tempat berbeda. Siapa yang menyangka tempat tenang seperti perpustakaan yang biasanya digunakan untuk membaca dan mencari referensi informasi, malah dijadikan tempat untuk bercinta?

"Sofa yang di sana sepertinya cukup nyaman." Jati menarik tubuh menjauh dan mendongak memandang Yasmin.

"Terserah kamu saja. Tapi aku masih suka di sini. Untuk sementara. C'mon, Handsome." Yasmin menarik kepala Jati kembali ke posisi sebelumnya. Dan dalam sekejap, ia kembali terhanyut dalam gairah yang mengentak-entak dan menimbulkan sensasi panas dingin di tubuhnya.

Suaminya ini memang senang memanjakannya. Dengan tekun, Jati menggerakkan lidah dan mulutnya ke titik favoritnya. Mengulum, mencecap, menghisap dengan ahli. Sesekali ia menambahkan variasi tekanan, juga gigitan demi gigitan yang begitu lembut. Semakin lama semakin panas dan berbahaya. Yasmin pernah iseng bertanya, bagaimana Jati bisa memerlakukannya seperti seseorang yang telah terbiasa dengan hubungan seks. Jati menjawab jika ia cukup rajin membaca referensi seputar itu, dan karena Yasmin pun merasa nyaman saat bersamanya, Jati jadi semakin terpacu untuk menyenangkan perasaannya. Memberikan yang terbaik yang bisa diberikannya untuk Yasmin. Lebih meningkatkan kepekaannya memerlakukan Yasmin, dan berusaha untuk fokus dan berkonsentrasi penuh ketika mereka sedang bercinta.

Seharusnya Yasmin memang menyadari hal itu sejak awal. Jati yang dikenalnya sejak dulu memang sangat tekun dan fokus pada apapun yang sedang ia kerjakan. Tidak heran jika Jati bisa masuk ke sekolah impiannya, meraih prestasi gemilang dan mampu menyelesaikan setiap tanggung jawab dalam pekerjaan dengan baik. Ternyata hal itu juga berlaku dalam hubungan asmara. Selalu total dan memberikan yang terbaik.

Suami yang tidak hanya hebat dalam bekerja tapi juga hebat di urusan ranjang, bukankah menjadi impian setiap perempuan. Ditambah lagi dengan sikapnya yang penyayang.

She felt so so lucky.

Yasmin membuka kedua matanya.

Kok dilepas lagi sih? Gerutunya.

Yasmin baru saja hendak protes ketika Jati bersuara.

"Leherku pegal, Sayang. Nanti dilanjutkan di sana."

"Dikit lagi, Kak. Please." Yasmin menahannya. Ia enggan melepaskan Jati saat dirinya masih sangat menikmati sentuhan itu. Rasanya enggan berhenti.

Apalagi Jati selalu melakukannya dengan penuh perasaan, membuatnya ikut menghayati, menikmati hingga berujung selalu ketagihan.

Jati membuang napas, lantas mengangguk. "Fine, Cantik." Lalu dilanjutkannya lagi.

Kali ini Yasmin tersenyum lebar. Diusapnya lembut rambut Jati penuh kasih sayang.

Aah, gimana nggak makin cinta, coba?

Jati melepaskannya beberapa menit kemudian. "Udah ya, Sayang?"

Yasmin mengangguk. "Iya deh. Thanks for your hard work."

"Hard work?" Jati mengerutkan kening, pura-pura tidak mengerti. "So, berapa persen tingkat kepuasan pelanggan?"

"Apaan sih?" Yasmin tersipu malu.

"Kalau dari respon suara, mestinya dapat tingkat kepuasan tinggi."

"Udah deh. Ngeledek mulu." Yasmin membuang muka.

"Kalau ngambek, nggak dapat jatah."

"Ish apaan sih?" Yasmin mencubit lengan Jati kuat-kuat. "Kalau ngeledek lagi...,"

"Kalau ngeledek lagi, saya bakal kena hukuman?" Jati mendongakkan wajah untuk menggapai bibir Yasmin. "Hmm?"

"Bisa jadi."

"Hukuman apa?" tanya Jati. Bibirnya sudah berada di depan di bibir Yasmin.

"Cium sampai kehabisan napas," ucap Yasmin sebelum menunduk untuk menyentuhkan bibirnya. Sesekali terdengar bunyi ketika mereka saling mencecap bibir, bergantian menyelipkan lidah ke dalam mulut sebelum saling merasakan satu sama lain. Selalu butuh waktu lama bagi mereka untuk melepaskan ciuman. Setidaknya sampai sama-sama nyaris kehabisan napas.

"Turun yuk?"

"Oke."

Akhirnya Yasmin menuruti Jati yang menurunkannya dari tempatnya duduk untuk berpindah ke sofa 3 seater yang memang terasa sangat nyaman ketika mereka sampai di sana dan mendudukinya.

Jati menyingkirkan bantal-bantal dan mengatur posisinya sebelum duduk. Kali ini, ia membiarkan Yasmin berada di atas. Yasmin mengambil sikap setengah membungkuk, memberikan kesempatan baginya untuk kembali melanjutkan yang sempat tertunda tadi, meski dalam posisi berbeda dan lebih nyaman, tentunya.

Posisi mereka mulai berganti. Kali ini, Jati berbaring dengan Yasmin yang mendudukinya di bagian paha.

"Wish us luck."

"Wish us luck," Yasmin mengulanginya dengan yakin.

Masih dalam keadaan saling menemukan jalan satu sama lain, Jati selalu berusaha memfokuskan pandangannya kepada Yasmin. Bersikap sepeka mungkin terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi. Tidak ada salahnya selalu mencoba.

"I'm in."

Yasmin menurunkan pinggulnya dengan hati-hati sambil sesekali menggoyang-goyangkannya setiapkali milik Jati semakin terbenam di dalam celah miliknya. Yasmin bekerja keras melawan ketakutan dan rasa sakit, dan Jati sangat salut akan hal itu.

"You can stop if it hurts you, Sweetheart."

"I'm fine. I just try," balas Yasmin.

"You're sweating." Jati mengusap peluh di sekitar perut Yasmin.

Mereka sama-sama dalam keadaan rileks tanpa beban, mencoba dengan sabar, sedikit demi sedikit sampai rasa was-was pelan-pelan lenyap tergantikan perasaan lain yang sulit untuk digambarkan.

Satu hal yang disadari Jati. Sesuatu yang selama ini ditahan-tahannya seolah mendesak mencari jalan keluar tanpa penghalang. Sesuatu yang bisa dilepaskannya dengan penuh keyakinan, tanpa diikuti perasaan cemas lagi.

***

Yasmin merebahkan tubuhnya di atas tubuh Jati yang terbaring di atas sofa. Mereka masih bersama-sama berusaha bernapas dengan benar setelah berjuang bersama dalam menit-menit yang menegangkan. Rasanya masih cukup nyeri. Tetapi ia tidak memungkiri bahwa ada perasaan lain yang masih tersisa dan terbayang hingga saat itu.

Untuk pertamakalinya, Jati melakukan penetrasi sampai tuntas. Dalam beberapa menit itu, mereka mengejar kenikmatan bersama-sama dan sepertinya juga mendapatkan klimaks bersama-sama. Jati memberikan sinyal akan melepaskannya di dalam, dan segera setelah itu, Yasmin merasakan sesuatu yang hangat tumpah di dalam tubuhnya. Disusul rasa nikmat luar biasa yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

She called Jati's name and Jati called her name too.

"Did we do it, Kak?" tanya Yasmin akhirnya. Ia ragu, tapi tidak bisa menahan diri untuk menanyakannya.

"I have no idea. Tapi sepertinya iya, Yas." Jati mengelus pipi Yasmin dengan jempolnya. "And i got my first climax."

"Yeah, i feel that when you call my name." Yasmin menunduk untuk mencium Jati dalam-dalam. "Finally you got yours, Kak."

"You too. Apa memang harus di sini dulu ya, baru berhasil?"

Yasmin tergelak sebelum mencium Jati lagi. "Mungkin. Biar anak kita cerdas, Kak. Makanya pengen dibuat di sini. Kalau di pantri, mungkin anak kita bisa jadi chef."

Jati ikut tertawa bersama Yasmin. "Kenapa kamu bisa kepikiran sampai ke arah situ, Yas?" Jati membelai-belai rambut Yasmin.

"Ya kepikiran aja."

Jati menatapnya dalam sebelum mengacak rambutnya.

"My wife and her extra ordinary imagination."

***

Hari itu, Jati kembali mengunjungi rumah sakit tempat David dirawat dan rencananya juga akan menjadi tempat David menjalani operasi. Bocah laki-laki berusia 6 tahun tersebut masih terbaring lemah dengan perut yang membesar.

"Jadi berapa biaya yang dibutuhkan untuk operasi?"

David didiagnosa menderita kanker hati. Untuk itu, dibutuhkan biaya besar untuk meng-cover seluruhnya mulai dari operasi hingga masa pemulihan.

"Aku masih bisa menanggung sebagian. Tapi kekurangannya masih sangat banyak. Sekitar satu milyar."

Jati beralih sejenak melihat ponselnya yang sedang berkedip-kedip. Dia harus segera kembali mengawasi proyek karena sudah seminggu ini, dia semakin jarang menampakkan diri di sana sementara Mas Yasa sepertinya semakin sibuk dengan proyek lain dan mempercayakan sepenuhnya proyek townhouse itu kepadanya.

"Aku nggak akan minta, Jat. Aku hanya mau meminjam. Mungkin butuh waktu sangat lama untuk mengembalikan semuanya. Tapi jangan khawatir, akan kuusahakan. Masih ada aset papa yang bisa dijual. Tapi kamu tau kan, bukan hal yang mudah menjual rumah di kawasan yang nggak begitu strategis? Atau kamu bisa memegang surat-surat tanah dan rumah sebagai jaminan."

Satu milyar bisa dibilang sebuah angka yang sangat fantastis. Meskipun Jati memiliki lebih dari jumlah itu di tabungannya tetapi tetap saja, menggunakan uang sebesar itu di luar bisnis akan sangat riskan. Hal itu berarti tidak ada keuntungan yang didapat.

Tapi bukan hal itu yang sedang menjadi concern utamanya.

Pertama. Reva dan David bukan siapa-siapanya. Sekalipun dia menaruh empati terhadap kondisi David yang semakin buruk, tetapi tetap saja Jati harus berpikir realistis. Tidak semudah itu mengeluarkan uang bernilai satu milyar dari rekeningnya. Kedua. Meskipun uang itu berada di rekeningnya, ia harus membicarakan hal tersebut kepada orang terdekatnya dalam hal ini Yasmin. Meminta pertimbangan dan persetujuan. Jika Yasmin memberi lampu hijau, maka ia akan secepatnya membantu Reva. Tapi jika Yasmin menolak, ia juga tidak akan membuat keputusan sendiri dengan cepat.

"Saya harus ngomong dulu kepada Yasmin."

Reva terdengar menghela napas.

"Bagaimana jika seandainya dia nggak mau?"

"Kenapa kamu langsung membuat asumsi seperti itu?" Jati balas bertanya. "Yang saya tau, Yasmin adalah sosok paling baik dan pemurah yang pernah saya kenal. Keluarganya punya yayasan untuk membantu anak-anak terlantar dan keluarga yang tidak mampu. Yasmin punya alokasi uang khusus untuk kegiatan amal dan kegiatan sosial."

"Bukan begitu maksudku. Bagaimana kalau dia enggan membantu karena melihat siapa aku sebenarnya dan riwayat hubungan kita di masa lalu?"

Kemungkinan itu sempat terlintas di pikiran Jati, tetapi entah mengapa dia tidak begitu memikirkannya. Karena ia sangat yakin, Yasmin bukan seseorang yang tidak memiliki empati, lalu menghilangkan sisi empatinya karena melihat latar belakang seseorang. Ia sangat mempercayai kebaikan dan kemurahan hati Yasmin.

Mungkin istrinya itu akan menaruh rasa cemburu, tapi kecemburuan Yasmin masih berada di tahap yang wajar. Malah di antara mereka berdua, Jati-lah yang selama ini memiliki rasa cemburu yang lebih besar.

"Bisa kamu menunggu sampai besok? Malam ini saya akan bicarakan hal ini dengan Yasmin."

Reva semula terlihat ragu. Tetapi kemudian ia menunjukkan anggukan.

"Maaf banget karena aku selalu menyusahkan kamu. Seharusnya kalau aku masih punya rasa malu, aku nggak datang ke kamu. Maaf banget Jati."

Refleks, Jati memegang bahu Reva, menepuk-nepuknya lembut untuk menenangkannya. Jati beralih mengambil dompet, menarik semua lembaran uang yang tersisa kemudian mengangsurkannya kepada Reva. "Buat keperluan kamu sehari-hari."

"Tapi...," Reva menolak mengambil uang tersebut, namun Jati tetap memberikannya.

Reva tidak ingin berandai-andai melihat kebaikan Jati kepadanya, karena Jati sudah berbahagia dengan perempuan lain yang lebih pantas untuknya.

"Terima kasih, Jati."

***

Yasmin menimang-nimang buku di tangannya. Sejak paket berisi bukti terbit datang, Yasmin selalu tersenyum senang. Dengan bantuan gunting dan cutter ia mulai membongkar paket. Hati-hati sekali, Yasmin membuka lapisan kertas pembungkus hingga menemukan tumpukan buku yang masih dalam keadaan tersegel plastik. Tidak hanya itu, karena penerbit pun mengirimkan surat kontrak untuk ditandatangani beserta laporan royalti penjualan buku-bukunya. Hatinya semakin senang, bukan karena nominal yang didapatkan. Tapi karena sejauh ini penerbit masih memberikan kesempatan baginya untuk bekerjasama.

Yasmin lalu mengirimkan foto-foto bukunya kepada Jati. Tidak butuh waktu lama melihat tanda centang dua, pertanda Jati telah melihat foto-foto yang dikirimkan. Jati membalas dengan singkat.

So Proud, Sayang

Bayangan Jati mengucapkan kata itu dengan lembut membuat perasaan Yasmin makin berbunga-bunga. Dia pun membalasnya.

Thank you, handsome

"Non, ada kiriman lagi." Nena datang memberitahu.

"Oh, ya? Dari mana lagi?"

"Ada rangkaian bunga, Non."

Yasmin beranjak dari duduknya, meninggalkan kardus dan kertas-kertas yang masih berserakan menuju ke pintu depan dengan Nena yang mengikuti dari belakang.

"Dengan Ibu Yasmin?" tanya kurir yang sedang memegang sebuah rangkaian bunga yang dibungkus plastik tipis transparan. Yasmin melirik logo sebuah florist terkenal di daerah Kemang.

"Iya, dengan saya sendiri, Mas."

Si kurir berperawakan jangkung itu setengah membungkuk memberikan rangkaian bunga berikut bukti penerimaan yang tidak langsung ditandatangani oleh Yasmin. Yasmin masih butuh memperjelas mengenai siapa pengirim bunga tersebut.

Tetapi kata kurir, seseorang meminta untuk mengirimkan ke alamat itu tanpa mencantumkan namanya.

"Saya nggak bisa nerima kalau alamat pengirimnya nggak jelas, Mas. Kalau ada apa-apa gimana? Apalagi ini florist terkenal."

"Nggak ada apa-apa, Bu. Kebetulan saya kurir florist-nya. Mungkin si pengirim mau membuat kejutan? Nggak ada barang berbahaya di sini, karena setelah dirangkai oleh karyawan toko, buket bunganya langsung saya antarkan ke sini." Si kurir juga nampak bingung. Mungkin bingung bagaimana seandainya bunga itu enggan diterima. "Tapi kalau Ibu ragu, nanti bunganya saya balikin saja ke tokonya lagi. Atau Ibu mau bicara langsung dengan owner florist?"

"Boleh. Saya boleh minta nomornya?"

Kurir tersebut menyerahkan kartu nama toko bunga. Di situ alamatnya sangat lengkap, dan Yasmin cukup mengenal lokasi tokonya.

Setelah berbicara dengan owner florist, Yasmin masih belum menemukan jawaban meyakinkan karena pengirimnya juga adalah sosok misterius. Proses ordernya pun hanya melalui telepon. Si pemesan mentransfer pembayaran dari rekening seseorang bernama Hadi Wijaya.

Yasmin memang tidak punya bayangan sama sekali.

Mereka masih sibuk meneliti siapa si pengirim saat suara deru mobil Pajero terdengar memasuki halaman. Yasmin masih berpikir-pikir akan menerima atau menolak buket bunga tersebut. Ia menunggu sampai Jati turun dan menghampiri mereka di teras.

"Dapet buket bunga dari siapa, Yas?" tanya Jati sambil meletakkan ransel di lantai yang segera diambil Nena dan dibawa ke dalam rumah.

"Nggak tau, Kak. Nggak ada nama pengirimnya."

Jati melihat sejenak, meneliti rangkaian mawar merah super besar itu. "Secret admirer, maybe?"

Resiko punya istri seperti Yasmin, selain selalu khawatir juga rawan dengan rasa cemburu. Iya, cemburu. Atau envy, tepatnya. Jati merasa selangkah lebih mundur karena justru dia tidak pernah sekalipun memberikan buket bunga seindah itu kepada Yasmin.

"Kalau dibalikin lagi, nggak pa-pa, Mas?" tanya Yasmin sebelum Jati sempat mengatakan hal tersebut. Memang ada pilihan lain? Buat apa menerima paket dari seseorang yang belum jelas siapa? Lebih baik waspada daripada kecolongan, bukan?

"Nggak apa-apa, Bu. Nanti saya yang jelasin ke owner."

"Oke kalo gitu."

Mawar merah. Cantik tapi berduri.

Siapa yang mengirimkan bunga tersebut tanpa memberitahu identitasnya? Lalu untuk tujuan apa? Bukankah hanya akan buang-buang uang saja seandainya sang penerima enggan menerima dan akhirnya mengembalikan ke toko? Sungguh sangat aneh.

"Padahal bunganya cantik banget. Mawar impor, wangi, mana jumlahnya banyak banget. Tapi pengirimnya misterius. Aku malah sempat ngira kamu yang ngirim, Kak. Eh, yakin bukan Kak Jati yang ngirim ini?" Yasmin terdengar kagum sekaligus bingung.

"Bukan, Yas. Beneran."

"Hmm. Ya udah. Dibalikin aja deh."

Yasmin menyelesaikan segala urusan dengan kurir kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah. Jati masih sibuk menguras otak memikirkan kemungkinan identitas si pengirim.

Tiba-tiba saja Jati mendapatkan pencerahan. Diamatinya sekali lagi rangkaian indah mawar merah yang menjadi sumber kebingungan mereka.

Bagaimana jika si pengirim adalah sosok yang dikenalnya? Sosok yang pernah secara terang-terangan menyukai Yasmin?

Tapi apa mungkin dia?

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro