10- Target Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senja menatap lama tulisan di buku harian yang dia angkat tinggi-tinggi, memperhatikan guratan nama di baris pertama tulisan. Tiana Irfa. Senja sama sekali tidak bisa mengingat wajah gadis ini. Tulisannya berbunyi bahwa Tiana pernah menuduhnya selingkuh dari Aras. Benarkah?

"Ras emang bener gue pernah selingkuh seperti yang Tiana bilang?"

Aras yang berbaring di sebelah Senja menengok sekilas gadis itu. "Enggak."

Senja tersenyum. Tentu saja tidak pernah. Dia yakin bahwa dirinya pasti setia. Akan tetapi, bagaimana bisa Tiana menuduhnya demikian? Entah dendam apalagi yang menjadi dasar tuduhan itu.

"Tiana suka gue, makanya dia nuduh lo. Dia pengen kita pisah."

Senja menganga sebab Aras seolah bisa membaca pikirannya. "Lo, kok, seperti bisa baca isi otak gue, ya, Ras?"

Tentu saja Aras tahu itu yang Senja pikirkan. Semua orang pasti membutuhkan penjelasan lebih, bukan? Apalagi Senja yang jelas-jelas kehilangan ingatan.

Senja menurunkan buku harian sambil membuang napas panjang. Ternyata banyak yang suka pada Aras. Lagian pacarnya ini memang ganteng juga baik hati. Hanya saja sedikit mengisolasi diri jadi terkesan tidak dingin dan tidak tersentuh, padahal Aras adalah orang yang berjiwa hangat. Dia menengok Aras yang memejam. Sampai sekarang Senja tidak menyangka bahwa dia akan menghabiskan waktu bersama Aras dalam wujud arwah, bukan manusia.

"Ras lo pasti capek karena gue," lirih gadis itu.

Aras berdeham sejenak lalu menatap mata Senja. "Enggak. Biasa aja."

"Mata lo merah. Lo nangis atau lo sakit?"

Reaksi Senja membuat cowok itu tersenyum tipis. "Sedikit sakit kepala."

"Ya udah, pulang sana. Istirahat, Ras. Masalah Tiana gak usah dius--,"

"Hust! Diem. Lo pengen ke alam lo, kan?"

Tak ada jawaban yang Senja lontarkan. Dia ingin ke tempat seharusnya dia berada, tetapi enggan meninggalkan Aras dan kakaknya.

"Ayo kita cari alasan kenapa lo meninggal. Gue gak yakin lo bunuh diri. Senja yang gue kenal gak mungkin bunuh diri."

Mendengar penuturan Aras yang begitu yakin membuat Senja tersenyum lebar. Dia percaya Aras. Aras adalah sahabatnya selama enam tahun dan juga pacarnya. Jelas kalau Aras begitu mengenalnya.

"No, kamu duduk aja dulu di situ. Aku ke kamar bentar."

Dari luar suara Selena terdengar samar-samar. Senja bisa menebak kalau tidak hanya ada kakaknya di sana.

"No? No itu siapa, Ras?"

Aras bangkit menuju pintu. "Kak Nino, pacar Kak Selena." Pintu kembali ditutup, meninggalkan Senja di dalam kamar sambil bertanya-tanya. Tak berselang lama, pintu kembali terbuka. "Gak pengen ketemu sama Kak Nino? Lo berdua akrab."

Senja menggaruk-garuk kepala. Sama seperti yang lain, dia tidak bisa mengingat Nino. Namun, ekspresi bingung yang tampak beberapa menit lalu langsung berubah ceria.

"Kak Nino, I'm coming," teriaknya sambil berlari keluar kamar menuju ruang tamu dan langsung memeluk lengan cowok tinggi, berhidung mancung yang tengah menatap lurus sebuah foto.

Aras seketika menganga, tidak menyangka melihat perubahan Senja secepat kilat. Sadar keterkejutan Aras, Senja sontak terbahak.

"Katanya gue akrab sama Kak Nino. Wajar, kan, kalau gue kayak gini? Gue gak sok akrab, kan? Pasti gue banyak cerita sama Kak Nino. Iya, kan, Ras?"

Aras memejam dan tanpa menyadari wajahnya sedikit memerah akibat menahan kesal. Ini salah satu sifat yang Aras benci dari Senja, gadis itu terlalu mudah akrab dengan orang lain dan sangat mudah untuk dibenci. Malang sekali Aras sebab tidak bisa membalas ucapan Senja, dia hanya mampu mendelik tidak suka.

Dari dulu Senja memang sangat akrab dengan Nino. Selain Aras, Nino adalah orang yang lumayan sering menjadi sasaran cerita Senja setiap bertemu. Bahkan Aras pernah dicueki karena pacaranya terlalu asyik bercerita banyak hal dengan Nino. Dia ingat Senja pernah bilang kalau cerita sama orang dewasa akan selalu memberikan pandangan baru. Ya, ya, tidak salah. Akan tetapi, Senja tidak perlu mengabaikannya, bukan?

"Eh, Aras. Sering ke sini semenjak Senja gak ada?" Nino mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana sambil melempar senyum ramah.

"Iya, Kak. Kangen Senja," balasnya sambil melirik foto Senja yang beberapa menit lalu ditatap lama oleh Nino.

Nino kembali melihat foto Senja sambil tersenyum sendu. "Sama. Gue juga kangen Senja. Kangen sama celotehan dan ketawanya."

Aras tersenyum kecut, berbeda dengan Senja yang malah cengegesan. Dasar genit, cemooh Aras dalam hati.

"Ras, Kak Nino dokter, ya? Keren banget! Kak Selena pinter cari pacar." Senja memainkan jas putih yang dikenakan Nino sambil masih memegang lengan cowok itu.

"Kok lengan gue berat sebelah?" gumam Nino, tetapi masih bisa didengar oleh Aras.

"Ada demit yang nempelin Kak Nino, tuh." Dengan santai Aras berucap demikian sambil mengempaskan diri di sofa, tidak peduli perubahan warna wajah Nino.

"Serius lo?"

"Iya, demit genit "

Senja mencak-mencak tidak terima dan langsung duduk di sebelah Aras, memukul kepala cowok itu. "Jahat banget, sih. Pacar sendiri dikatain."

"Ya emang demit." Sadar bicara sendiri, Aras langsung melirik Nino. Namun, cowok itu tidak menyadarinya berbicara sendiri. Nino asyik menatap foto Senja. Di mata Aras, tatapan itu seperti menyiratkan sesuatu. Entahlah, Aras hanya merasa demikian.

***

Senja mengikuti langkah cepat-cepat Aras yang mengikuti seorang gadis berjaket rajut hitam di depannya. Aras niat sekali membuntuti Tiana sampai-sampai ketika bel pulang berbunyi cowok itu langsung melesat mendekati kelas yang katanya adik kelasnya itu.

"Pelan-pelan, Ras. Hati-hati," peringat Senja ketika Aras hampir menyeberang jalan tanpa melihat kiri-kanan.

"Nanti kita kehilangan jejak, Ja."

"Gue gak mau lo jadi arwah kayak gue, Ras. Syukur-syukur kalau jadi arwah, kita masih bisa ketemu, bisa pamitan. Tapi kalau ternyata lo gak gentayangan gimana?"

Aras mendengkus. Kata-kata Senja seperti mendoakannya menjadi arwah saja. "Ya gak gitu juga. Doa yang baik-baik, lah."

"Ya udah hati-hati. Gue minta tolong, lho, ya, bukan minta lo buat celakain diri."

"Iya, iya. Ini hati-hati. Bawel, untung manis lo, Ja."

Senja kontan menepuk pelan belakang kepala Aras, kesal karena cowok itu masih saja tidak peduli padahal dia tulus memberikan perhatian. Dasar cowok! Gak ngerti banget diperhatiin, makinya dalam hati.

"Lah, ternyata ke kafe sini, doang, Ras. Harusnya gak buru-buru juga." Senja mendesah berat ketika melihat Tiana berkumpul bersama teman-temannya di depan kafe dan tak berselang lama masuk ke sana.

Aras mengedikkan bahu. "Gue mana tau kalau Tiana ke sini. Gue cuma ngikutin."

Obrolan lebih tepatnya pertengkaran mulut terhenti ketika mereka ikut masuk ke kafe, duduk tak jauh dari tempat Tiana dan ketiga temannya. Aras buru-buru memperbaiki tudung jaketnya agar tak ketahuan para gadis itu. Hari ini Aras bertekad mencari tahu tentang Tiana dan tak lupa memperkuat harapan akan ada titik terang dari kasus Senja.

"Ras, lo yakin jadiin Tiana target berikutnya? Gimana kalau hasilnya sama kayak Farhana dan--"

"Udah gue jelasin, kan, kalau semua orang yang lo tulis di buku harian harus gue selidiki. Lo pengen balik, kan? Gak pengen menderita tinggal di sini?" Aras berusaha bersuara sekecil mungkin.

Hari ini kafe bernuansa monokrom yang sering dia tempati nongkrong bersama Senja lebih ramai dari biasanya. Aras harus berhati-hati juga mempersiapkan telinga sebaik mungkin mendengar perbincangan Tiana dan kawan-kawan.

Senja bersandar pada sandaran kursi seraya menatap Aras yang terus menunduk, pura-pura sibuk memainkan ponsel. "Kenapa lo ngotot mau bantuin gue, Ras?"

Sebelum sempat menjawab, Aras refleks memegang kepalanya yang tiba-tiba sakit, telinganya berdenging hebat. Untuk kesekian kali dia merasakan sakit berulang. Sebelumnya, remaja berusia 18 tahun itu mampu meredam sakit kepala yang langsung menghantam, tetapi kali ini rasanya jauh lebih sakit.

"Aras lo kenapa? Kepala lo sakit?" Senja menggoyang-goyangkan lengan Aras. Dia tidak tahu harus melakukan apa, minta tolong pun percuma sebab tidak akan ada orang yang menyadari kehadirannya.

Aras memejam, mengepal sekuat tenaga, menarik dan membuang napas perlahan-lahan. Dia tidak tahu kenapa akhir-akhir ini sakit kepala sering menyiksanya. Aras memang sering kekurangan tidur, tetapi tak pernah merasakan yang seperti ini.

Setelah cukup lama menetralkan sakit di kepala, akhirnya penderitaan itu bisa berakhir juga bersamaan dengan datangnya pelayan kafe. Embusan napas Aras mulai normal dan telinganya juga sudah tidak berdenging lagi.

"Lo sama Kak Daren langgeng banget, ya? Gak bosen?"

"Bosen, sih, ada. Makanya gue punya simpanan."

Percakapan itu menarik perhatian Aras. Suara tadi jelas dari Tiana. Apa katanya tadi? Tiana punya simpanan? Wah, secepat itu sisi jelek yang Aras cari muncul kepermukaan. Senja ikut-ikutan memperhatikan Tiana meski tidak tahu apa yang akan pacarnya ini lakukan.

"Siapa simpanan lo, Na?"

"Lo tau Kak Gio? Kak Gio yang pernah ngejar Kak Senja." Tiana terdengar santai mengakatan itu semua.

Aras menggeleng sebab tidak percaya bahwa Tiana bisa seperti ini. Dia melirik Senja yang lagi-lagi hanya bisa menggaruk kepala karena namanya kembali disebut tanpa tahu sebenarnya ada apa.

"Gue liat-liat lo terobsesi dapetin semua yang pernah tertarik sama Kak Senja. Cuma Kak Aras doang yang gak berhasil lo deketin."

Tiana tertawa hambar. "Gue nyerah deketin Kak Aras. Dia bucin banget sama mantannya yang udah mati itu. Lagian apa bagusnya Kak Senja, sih? Udah songong, sok ramah, genit, pembohong, gak banget, deh. Cantikan gue ke mana-mana kali."

Aras mulai merasakan panas mengalir di dalam darah. Dia mengepal, sekuat tenaga menahan diri agar tidak kelepasan. Bisa-bisanya anak ingusan kurang ajar ini menjelek-jelekkan Senja. Dasar manusia rendahan, tidak pernah melihat posisinya sendiri dan gemar sekali mengangung-agungkan diri.

"Gue ada salah apa sama Tiana, Ras? Kalau masalahnya cuma karena gue pacaran sama lo, anak ini keterlaluan banget ngomong kayak gitu." Senja mulai tersinggung.

Aras membuang napas panjang. Dia memilih diam, berusaha memikirkan hukuman apa yang layak Tiana dapatkan atas tuduhan yang pernah dilayangkan untuk Senja juga atas penghinaan yang baru saja gadis itu ucapkan.

"Eh, tapi lo pernah denger gak kalau Kak Senja beneran selingkuh?" Tiana kembali membuka percakapan dan semakin membuat Aras berang.

Hampir saja cowok itu menggeprak meja kalau saja tidak ditahan oleh Senja. "Tenang, Ras. Gue tau lo marah, tapi tenang dulu."

"Lo dapet info dari mana, sih?"

"Adalah pokoknya. Katanya dia bunuh diri karena takut ketahuan selingkuh. Selingkuhnya mana udah ditahap parah banget tau."

Aras sudah tidak tahan mendengar gosip itu. Dia bangkit dari duduk dan bersiap melabrak meja Tiana, tetapi Senja langsung memeluknya.

"Tenang, Ras. Gue gak mau lo buat keributan." Senja semakin mempererat pelukannya sambil terus memohon.

Karena tidak tahan mendengar Senja terus memohon, Aras akhirnya memilih keluar sebelum emosinya meledak.

"Makasih, Ras, karena udah dengerin gue," ucap Senja ketika mereka sudah keluar dari kafe.

"Gue gak bisa tinggal diam. Tuduhan Tiana udah di luar batas." Tangan Aras memukul tembok pembatas kafe berulang kali sampai dia merasa tenang. "Gue harus buat perhitungan ke Tiana."

***
23 November 2022
Jumkat: 1695

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro