15-Bunga Lili

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senja meraih sticky note yang berisi list dan diserahkan kepada Aras yang tengah mengecek majalah kesehatan mental. Dia ikut duduk di sebelah Aras, memperhatikan wajah cowok itu. Tiba-tiba saja Senja ingin menebak apa yang Aras pikirkan sekarang sebab raut wajah pacarnya ini terlihat biasa-biasa saja, padahal sebenarnya mungkin menyimpan sesuatu.

"Ras, lo lagi mikirin apa setelah ngeliat majalah ini?"

Bukannya menjawab, Aras malah menatap mata gadis di depannya, mematung sepersekian detik. Hal itu membuat Senja berdecak. Kan, Aras memang menyimpan sesuatu.

"Mana sticky note-nya?" Aras mengangsurkan tangan tanpa melihat Senja sebab masih sibuk mengutak-atik kertas bergambar di depannya.

Meski mengomel, Senja tetap menyerahkan kertas persegi berwarna itu pada Aras. "Apa yang menarik dari majalahnya, sih?"

Lagi-Lagi tak ada jawaban. Senja berdecak jengkel sambil menghempaskan badan di kasur. Dia tidak peduli Aras mau melakukan apa saja, terserah. Cowok itu sedari tadi sibuk dengan kegiatannya mengutak-atik beberapa barang selain majalah. Senja melirik sebelah kanannya ketika merasakan ada pergerakan di kasur.

"Gue lagi mikir. Lo ngambek, kan? Dasar arwah ngambekan," ledek Aras sambil ikut berbaring di samping Senja.

Sebenarnya Senja ingin marah karena dikatai arwah ngambekan, tetapi yang terjadi adalah dia malah kesulitan menahan bibir agar tak tersenyum. Pertahanannya runtuh ketika Aras mengacak-acak rambutnya sambil memasang senyum lebar. Bisa-bisanya dia memiliki pacar semanis ini.

"Lo gak ingat kenapa nulis ini?" Aras melihat catatan itu bolak-balik dan berulang kali mengecek tiap lembar kertas. Mungkin saja ada tulisan lain yang bisa ditemukan, tetapi hasilnya nihil.

Senja menghela napas. "Gue muak tau ditanyain ingat ini, ingat itu. Kalau gue ingat, Ras gue gak mungkin di sini."

Celotehan Senja membuat Aras tertawa. Benar juga. Dia hanya terbiasa bertanya seperti itu. Akan tetapi, bisa saja Senja mengingat tulisan yang pernah ditulisnya seperti saat mengingat kejadian yang sudah-sudah. Aras membuang napas pendek, tiba-tiba kepalanya sakit lagi. Anehnya kali ini terasa lebih sakit dari biasanya.

Senja melirik Aras ketika cowok itu meringis. Dia tahu Aras pasti sakit lagi. Sepertinya memang dialah penyebab cowok di sebelahnya ini sakit. Kalau terus seperti ini bukannya dia harus segera pergi daripada menyakiti Aras?

"Ras, gimana kalau berhenti sampai di sini aja? Lo pasti udah gak tahan, kan?"

Aras membelalak, dia mengubah posisi menjadi duduk. "Gak usah mikir macem-macem. Kita udah setengah jalan, dan gue yakin gak lama lagi lo ... lo bakalan pergi. Asal lo tau, gue bisa nahan sakit lebih lama, Ja. Jangan khawatir."

"Tapi ini udah gak bener, Ras. Gue ... gue gak pa-pa."

"Masih bisa pura-pura kuat lo padahal udah jadi arwah." Aras terkekeh di akhir kalimat dan sedetik kemudian menyesali perkataannya barusan sebab Senja semakin murung. "Sori, gue keterlaluan."

Senja tersenyum kecil, dia tidak masalah kalau Aras bercanda seperti itu. Dia hanya sedih karena nanti sudah tidak bisa membalas kebaikan Aras maupun Haifa.

"Makasih, Ras. Kalau bukan lo, gue gak tau mau lari ke mana."

"Udah. Ini, sekarang gue lagi nyusun alasan kenapa lo nulis ini. Kemungkinannya emang dua. Ini to do list, atau ini unek-unek lo."

Senja termenung mendengar kata unek-unek. Kalau dugaan itu yang benar, apa yang sebenarnya terjadi? "Menurut lo, gue kenapa?"

Aras menatap tajam kertas di genggaman, belum bisa menjawab dengan pasti. "Kita masih perlu banyak info buat jawab catatan lo. Mungkin kita kesampingin ini dulu dan kita telusuri keseharian Nino dan Daren."

Bunyi dering ponsel membuat mereka terperanjat. Nama Haifa terpampang di layar. "Sepertinya informasi yang kita tunggu datang, Ja." Tanpa menunggu waktu lama, dia langsung menjawab telepon itu. "Halo, Fa. Kenapa?"

"Aku abis ngikutin Tiana. Tadi dia ngobrol sama teman-temannya soal Daren. Katanya kemarin Tiana ngeliat Daren beli bunga tapi gak dikasi ke dia. Jadi sekarang mereka lagi ngambek-ngambekan."

"Bunga?" ucap mereka berdua serempak. Aras menambah volume ponsel agar suara Haifa terdengar lebih jelas. "Lo denger apa lagi?"

"Menurut Tiana, bukan sekali atau dua kali Daren beli bunga. Ini udah kedua kalinya mereka berantem karena bunga, tapi setiap ditanya soal bunga, Daren cuma bilang untuk dikasih ke mamanya."

"Terus Tiana percaya?" Aras mencoba menebak-nebak ke mana arah pembicaraan ini.

"Enggak."

Aras kembali memutar otak mencari pertanyaan penting. Setelah dipikir-pikir, dia mendapatkan satu pertanyaan yang akan menentukan langkah berikutnya. "Lo tau jenis bunga yang Daren beli?"

Haifa terdengar bergumam sebelum menjawab. "Kalau aku gak salah denger bunga lili, Ras."

Aras menahan napas sejenak. Dia menatap Senja yang kini ikut melihatnya. Sepertinya dia memang harus mencurigai Daren.

"Ada info tambahan?"

"Ada. Mereka sempat ngomongin Senja juga. Katanya salah satu dari mereka pernah ngelihat Senja dijemput sama kakaknya Daren. Itu yang buat mereka menyimpulkan kalau Senja selingkuh dari kamu."

Senja menunduk lesu. Sial sekali, di saat seperti ini tak ada yang bisa dia ingat. Tidak mungkin rasanya dia selingkuh dari Aras. Ada yang salah di sini.

"Lo percaya, Ras?" Senja mulai berkaca-kaca, takut Aras marah.

Namun, Senja keliru sebab Aras menggeleng. Kalau seperti ini dia jadi penasaran kenapa Aras tak pernah termakan gosip tentang dirinya.

"Dijemput Kak Nino? Gak ada informasi kapan kakaknya Daren jemput Senja?"

"Sayangnya gak ada, Ras. Kita gak bisa percaya ini sepenuhnya, tapi juga gak boleh nyepelehin info ini, kan?" Haifa kembali terdengar membuang napas pendek. "Apa rencana kamu berikutnya setelah ini?"

Aras membenarkan, informasi apapun saat ini harus ditampung semua. Jangan sampai ada yang dikesampingkan dan berakhir tidak menemukan apa-apa dari pencarian mereka selama ini.

"Ras, kamu di dalam?" Suara kakak Senja membuat mereka berdua terkejut.

Bukan takut ketahuan masuk ke kamar Senja tanpa izin, Aras takut kalau Selena mendengarnya berbicara sendiri. "Udah dulu, Fa. Nanti kita lanjut." Tanpa menunggu salam penutup Haifa, Aras langsung mengantongi ponsel dan membuka pintu kamar. "Kak Selena baru nyampe?"

Selena mengangguk, "Iya, nih. Oh iya, hari ini Kakak pengen ke makam Senja. Kamu mau ikut? Bareng Nino juga, udah di bawah, tuh."

Aras mengangguk, dia harus mengecek sesuatu di sana. "Iya, Kak. Aku bawa motor aja ke sana."

Selena mengangguk lalu ke kamarnya. Aras segera bergegas ke ruang tamu dan melihat Nino tengah merapikan bunga putih di pangkuannya. Bunga itu ... bunga lili, bukan?

"Eh, Aras. Pengen ngunjungin Senja juga?"

Aras tak langsung menjawab, dia melirik Senja di sampingnya. Gadis itu juga terkejut.

"Iya, Kak. Sengaja bawa bunga lili?" Aras tentu harus memancing informasi.

Nino mengangguk sambil tersenyum. "Bunganya cantik, pasti Senja suka. Selain itu, bunga lili juga tanda kesedihan. Biar Senja tau kalau Kakak sedih dia udah gak ada."

Aras tak merespons lagi kecuali pamit berangkat lebih dulu ke lokasi. Di perjalanan, pikirannya terus memikirkan bunga lili yang dibawa Nino dan Daren dari cerita Haifa tadi. Memang tidak ada yang salah dari membawa bunga putih itu untuk mengunjungi makam, hanya saja kenapa selera mereka berdua sama?

"Lo mikirin apa, sih?" Senja yang daritadi dicuekin mulai mengomel lagi.

"Lo ngerasa ada yang aneh dari Kak Nino? Atau Daren?"

Senja bergumam, ikut memikirkan hal serupa. Sebenarnya dia tidak begitu memandang aneh perkara bunga ini, tetapi jika dipikir lagi mereka perlu mencari tahu kenapa harus bunga yang sama.

"Gue belum bisa narik kesimpulan, Ras." Pada akhirnya hanya itu yang Senja katakan.

***
05 Desember 2022
Jumkat: 1162

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro