18-Ketemu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aras memijat pangkal hidungnya berkali-kali, berharap pening yang semakin menjadi akan mereda dalam waktu dekat. Dia sudah lemas sekali rasanya, energinya seakan tersedot begitu saja karena kehadiran Senja. Ternyata inilah dampak negatif karena bisa melihat dan berada di dekat gadis itu.

Dia melirik Senja yang tengah memperhatikan kertas cetakan tentang akun Facebook, tulisan yang dia dapatkan di kamar gadis itu, dan foto Daren-Nino. Setelah berbicara panjang lebar dengan Daren tadi, sepulang sekolah dia langsung mencetak informasi hal-hal yang berkitan dengan Senja. Sebenarnya sudah ada satu kesimpulan yang telah Aras simpan, hanya saja dia masih belum yakin sebab keterlibatan Nino yang belum dia ketahui.

Aras bangkit dari kasur, memperbaiki duduknya. Namun, tak berselang lama sesuatu di dalam kerongkongan tiba-tiba berdesak-desakan ingin keluar. Dia langsung berlari ke kamar mandi, mengunci pintu dan langsung muntah.

Senja yang tadinya fokus melihat beberapa lembar kertas di atas meja belajar langsung menoleh ketika mendengar suara di dalam kamar mandi. Dia menggedor-gedor pintu, meneriakkan nama Aras berulang kali. Senja ingin menerobos ke dalam, tetapi dia takut Aras sedang tidak ingin dilihat.

"Ras, lo kenapa? Lo baik-baik aja, kan?" Senja meremas jemarinya kuat-kuat saat Aras tak menjawab. Cowok itu malah semakin mengeluarkan suara seperti memuntahkan sesuatu. "Ras, lo ke--"

"Gue baik-baik aja. Lagi sedikit gak enak badan." Aras memotong teriakan khawatir Senja tepat saat pintu kamar mandi terbuka.

Bukannya lega, Senja malah semakin khawatir. "Ini pasti gara-gara gue."

Aras menepuk bahu Senja sekali lalu mengibas-ngibaskan tangan, tanda bahwa tak perlu terlalu khawatir. Toh, nanti juga dia akan pulih jika istirahat sebentar. Dia menyuruh Senja mengikutinya, duduk bersebelahan di kasur.

"Senja, lo benar-benar bukan makhluk bumi lagi, ya." Aras tertawa sumbang tanpa mau melihat wajah gadis yang masih mematung di depan kamar mandi. "Udah, Ja. Sini, gak usah mikiran kepala gue atau muntah-muntah tadi. Lagian gue juga menikmati semuanya. Nanti ada waktu gue gak akan ngalamin kayak gini lagi, kan?"

Akhirnya Senja bergerak juga sambil sibuk menghapus air mata yang mulai membasahi pipi. Suara tangisnya semakin kencang seperti anak kecil, lalu dia duduk bersimpuh di depan Aras. Aras yang melihat Senja tiba-tiba seperti ini pun kelabakan. Namun, dia tidak berniat menghentikan tangisan Senja.

"Gak pa-pa, lo nangis aja sepuasnya. Luapain apa yang perlu lo luapin. Gue emang gak bisa rasa apa yang lo rasa karena ada di posisi ini, tapi gue percaya gak mudah ada di situasi seperti lo, Ja." Aras tersenyum simpul ketika Senja mendongak dan menatapnya dengan air mata yang semakin merebak. Tanpa bisa ditahan lagi, Aras langsung memeluk Senja begitu erat.

Tak ada pembicaraan selama beberapa menit. Senja masih dengan tangisnya, Aras dengan tepukan pelan di punggung gadis itu. Setelah dirasa cukup, Senja melepaskan pelukan Aras dan meraih telapak tangan cowok itu, mengenggamnya erat sambil menunduk.

"Ras, kalau nanti kita udah tau penyebab gue meninggal, entah itu gue dibunuh atau bunuh diri, gue pengen lo lupain fakta-fakta yang udah lo temuin." Senja mendongak, menatap Aras sedalam mungkin. "Kalau gue dibunuh, berarti pelakunya harus ditangkap, tapi kalau gue emang ... emang bunuh diri, cukup lo yang simpan fakta itu, Ras, jangan pernah bocorin penyebab gue bunuh diri, apalagi sampai Kak Selena tau."

Aras melepas genggaman tangan Senja dan menangkup pipi gadis itu. "Gak. Gak, Ja. Kak Selena berhak tau kejadian apa yang menimpa lo."

"Tapi gue gak mau kal--"

Aras menggeleng tegas. "Gak, Senja. Sekalipun sedih, Kak Selena berhak tau. Jangan jadiin alasan karena lo sayang dan gak mau Kak Selena sedih karena kebohongan. Kita harus jujur walaupun itu menyakitkan."

Senja tak berkutik, dia mendongak menatap lamat-lamat atap kamar agar air matanya tidak kembali turun. Memang benar apa yang Aras katakan. Dia akan jadi sangat jahat jika tak memberi Aras izin untuk membeberkan alasannya meninggal. Baiklah, dia kembali menatap pacarnya sambil tersenyum lebar.

"Lo bener, Ras. Ya udah, tapi gue mohon, lo harus rajin-rajin nengokin Kak Selena. Gue gak mau dia kesepian dan terus mikirin gue, Ras. Setidaknya kalau ada lo, Kak Selena ada yang ngajakin ngobrol di rumah."

Aras mengangguk, mudah saja mengabulkan permintaan Senja. Bagaimanapun Selena sudah seperti kakaknya juga. Aras bangkit dari duduknya, meraih beberapa lembar kertas yang Senja lihat-lihat tadi dan diletakkan di depan mereka. Tangannya meraih foto Daren-Nino yang dia ambil dari foto yang Senja posting di Facebook.

"Lo mikiran apa tentang mereka, Ras?"

Cowok itu termenung sebentar, lalu kembali meletakkan lembar kertas itu di lantai. Dia bersedekap dada sambil menatap Senja. "Kayaknya kita perlu selidikin keseharian mereka, Ja. Gak akan ada kemajuan kalau kita gak berani deketin mereka. Dengan maksa Daren ngomong pun percuma, dia gak bakalan mau cerita."

"Gue berencana ke rumah Daren sore ini. Gue harap kita bisa nemuin sesuatu di sana, paling tidak kita harus tau keseharian mereka berdua," lanjut Aras setelah terdiam sejenak.

Senja menggeleng. "Gak hari ini, Ras. Lo istirahat aja dulu. Lo kurang sehat."

"Gak pa-pa, nanti juga sembuh. Gue gak mau lo hilang tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi sama lo."

Senja membuang napas panjang. Seketika banyak pikiran-pikiran negatif bersarang di kepalanya. Bagaimana jika yang sedang Aras hadapi saat ini adalah sesuatu yang membahayakan? Sesuatu yang tak seharusnya mereka gali?

Seperti tahu apa yang sedang Senja pikirkan, Aras nyeletuk, "Semua akan baik-baik aja. Gue gak sendiri, Ja. Ada lo, ada Kak Selena, ada Haifa juga. Meskipun sekarang Kak Selena gak tau apa-apa."

Senja tak menjawab, dia tetap takut walaupun Aras sangat terlihat optimis semua akan baik-baik saja. Senja hanya bisa percaya pada Aras, maka dari itu dia tak perlu meragukan sikap pacarnya, bukan?

"Ya udah, gue siap-siap aja sekarang. Gue juga harus tau alamat lengkapnya Daren." Tidak susah bagi Aras menemukan informasi cowok itu sebab hampir semua teman sekelasnya mengetahui alamat Si Kapten Tim Basket. Hanya membutuhkan waktu lima menit, alamat yang dicarinya sudah terpatri di layar ponsel.

Setelah bersiap-siap, Aras melajukan kendaraannya ke alamat yang ternyata lumayan dekat dari sekolah mereka. Hanya saja padatnya kendaraan di sore hari membuat laju motor melambat, ditambah kepalanya yang masih sedikit cenat-cenut. Cowok itu melirik Senja yang sedari tadi diam.

"Ja, lo kenapa?"

Senja gelagapan lalu mendekatkan kepalanya ke kepala Aras. "Kenapa, Ras?"

Aras berdecak, "Lo yang kenapa?"

Senja menggeleng seraya semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Aras. Sedari tadi dia sibuk memikirkan ingatan yang sempat dia lihat saat Aras dam Daren berbincang di sekolah. Dalam ingatannya, dia berada di dalam kamar dan sedang menangis, entah dari mana ada wajah Daren muncul. Ada kejadian apa? Di mana dia di dalam ingatan itu?

Karena terlalu asyik melamun, Senja sampai tidak sadar kalau Aras sudah menghentikan motornya. Dia menengok kiri-kanan, detik itu juga ingatan serupa kembali muncul, tetapi kali ini tanpa melihat Daren.

"Ras, ingatan gue muncul lagi. Ingatan yang sama waktu lo ngobrol bareng Daren. Anehnya, gue bisa lihat ingatan ini tanpa ngelihat Daren."

Aras berhenti mengintai rumah yang posisinya tidak jauh dari jarak mereka. Mereka berada di bawah pohon mangga milih tetangga Daren.

Aras melirik Senja dari spion. "Padahal dulu lo cuma bisa liat ingatan saat liat orangnya juga. Apa mungkin ... apa mungkin dugaan kita gak salah? Kalau sebenarnya Daren dan Nino ada kaitannya dengan kematian lo, Ja?"

Senja berhenti memegang kepala, dia ikut menatap Aras lewat spion. "Gue juga mikir kayak gitu, Ras. Kayaknya mereka berdua yang megang alasan yang kita cari selama ini."

"Kita gak salah jalan, Ja. Gue yakin gak lama lagi kita bakalan tau semuanya."

"Dan gak lama juga gue bakalan hilang, Ras," lirihnya tanpa bisa didengar Aras.

Seruan Aras membuat Senja terkesiap. Dia ikut menatap arah telunjuk Aras. Di sana, di teras rumah dia melihat Daren berdebat dengan Nino, tetapi mereka tidak bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Kita harus deketin rumahnya, Ja." Aras turun dari motor dan mengendap-endap mendekati pagar rumah Daren.

Sayup-sayup terdengar erangan jengkel Nino. Aras dan Senja saling pandang. Mereka berdua semakin menajamkan telinga.

"Ja, daripada lo ngikutin gue kayak gini, mending lo deketin mereka. Lo, kan, gak terlihat."

Senja nyengir lantas segera mengikuti arahan Aras. Namun, ketika matanya melihat Daren dan Nino, saat itu juga ingatannya kembali, bercampur aduk sehingga Senja tidak dapat menangkap siluet kejadian.

"Senja, lo kenapa?" bisikan Aras berhasil membuat Senja fokus melihat ke depan dan kembali mendekati kakak-beradik itu.

"Aras udah mulai curiga kalau lo mau tau." Geraman jengkel Daren membuat Senja mematung, begitupun dengan Aras.

Aras bisa mendegar itu semua. Jadi benar Daren dan Nino memang ada di balik teka-teki ini.

"Dia gak bakalan tau, lagian dia curiganya ke lo, bukan gue." Setelah berucap seperti itu, Nino meninggalkan Daren sendiri.

***
14 Desember 2022
Jumkat: 1417

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro