2-Alam Arwah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senja asyik membolak-balik majalah di atas meja, sesekali melirik tayangan TV. Sudah sekitar satu jam dia seperti ini. Andai dia manusia, sudah tak terhitung berapa kali akan menguap. Sayangnya, Senja tidak bisa merasakan mengantuk dan lapar.

Gadis berambut panjang itu melirik seorang cowok yang juga telah meringkuk di atas sofa sambil menutup sebagian wajah, hanya mata tajamnya saja yang terlihat. Setiap kali Senja mendekat, cowok itu pasti semakin mundur hingga Senja bosan sendiri.

"Gue tau gue hantu. Tapi menurut ingatan gue yang abu-abu, kita dulunya dekat banget, bahkan lo pacar gue." Senja merotasikan mata seraya bersedekap dada. "Ras, emang muka gue seram ya sampai lo ketakutan kayak gitu?"

Tidak ada jawaban. Aras malah semakin meringkuk, sesekali memejam ketika Senja kembali berbicara. Senja membuang napas, kembali meraih majalah. Wajahnya semakin ditekut karena sebal.

"Maaf, Ras kalau gue muncul dalam keadaan muka hancur atau mungkin hidung gue gak mancung lagi atau bulu mata gue gak lentik lagi. Emang iya muka gue hancur? Gue gak bisa liat di ... cermin." Kata terakhir diucapkan sangat lemah oleh gadis itu, mulai mengasihani diri.

Aras menurunkan bantal dari wajah dan juga kakinya dari sofa. Hanya kata cermin, tetapi mampu mengetuk rasa kasihan cowok itu. Melihat Aras mulai berubah, Senja langsung menghambur duduk di sebelah cowok itu hingga membuat Aras terlonjak dan kembali meringkuk, bedanya tanpa meraih bantal lagi.

"Gue beneran buruk rupa ya, Ras?" Senyum Senja yang tadinya selebar bulan sabit kini berubah murung. Tangannya ikut meraba-raba wajah. "Tapi, kok, muka gue gak ada kasar-kasarnya?" gumamnya "atau mungkin gue hantu bermuka datar! Ras emang iya gue muka datar?" Senja berteriak heboh.

Aras membuang napas lelah dan kembali duduk normal setelah sekian jam berusaha beradaptasi dengan kehadiran Senja. Dia memperhatikan gadis itu dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Ja, lo jelas-jelas nyentuh hidung lo, kan?" ujar Aras sembari menyentuh ujung hidung Senja menggunakan ujung jarinya. "Itu tandanya lo gak datar. Lo juga punya mata, mulut yang ternyata masih cerewet." Aras tersenyum sedih di akhir kalimat.

Senja seketika jadi kaku ketika Aras menyentuh pipinya dan melihat cowok itu menangis. Dia jadi ikut sedih, bahkan menangis. Sekarang Senja bingung ternyata sebagai hantu dia bisa mengeluarkan air mata.

"Ja, lo ... lo dibunuh, kan? Bilang sama gue siapa yang ngelakuin ini ke lo?" Aras semakin terisak ketika tangan hangatnya menyentuh jemari dingin Senja. Dia memeluk erat tangan itu, tidak ingin melepaskannya.

Senja menggeleng sambil terus terisak. "Andai gue tau, Ras, lo gak bakalan bisa lihat gue sekarang."

"Maksudnya?"

Senja melepaskan genggaman tangan Aras, mengubah posisi duduknya menjadi bersila di atas sofa, diikuti Aras. "Denger gue baik-baik, Ras. Sekarang yang bisa bantu gue cuma lo. Faktanya sekarang adalah ingatan gue abu-abu. Gue gak bisa ingat banyak hal kecuali keluarga, lo, dan Haifa."

Aras mengernyit. "Haifa teman sebangku lo?"

Senja mengangguk, kembali bercerita. "Seminggu setelah gue meninggal karena tenggelam, gue disambut sama ... gue gak tau dia siapa. Gue manggil dia dengan sebutan Sepuh Arwah. Katanya gue terjebak di alam arwah, tempat para arwah gentayangan yang gak tau alasan dia meninggal."

Aras kembali mengerutkan kening. Kalau Senja terjebak di sana, itu berarti Senja tidak tahu mengapa dia meninggal? Kemungkinan besar Senja dibunuh. Tidak salah, bukan? "Lo gak tau alasan lo meninggal?"

Senja menggeleng. "Gue lupa. Sewaktu gue buka mata untuk pertama kalinya, kepala gue sakit banget. Kilasan memori muncul secara acak dan yang muncul cuma wajah keluarga gue, lo, dan Haifa. Gue gak ingat hal lain, termasuk kehidupan apa yang gue alami selama ini. Gue cuma ingat beberapa."

Senja meraih tangan Aras, mengenggamnya seerat mungkin. Seharusnya dia bisa menyalurkan kehangatan ke telapak tangan mereka, tetapi Senja hanya bisa memberi rasa dingin tangannya kepada Aras. "Gue ... lupa, Ras. Apa mungkin kepala gue kebentur sewaktu tenggelam?"

Aras bengong ketika merasakan tangan Senja sangat dingin. Namun, detik berikutnya dia sadar bahwa Senja bukanlah manusia. Meski sedih langsung menyambut hati, Aras mencoba mengingat-ingat laporan polisi waktu itu. Katanya, ditemukan darah di pinggiran kolam dan terdapat luka di kepala Senja. Aras menjelaskan laporan itu dan menarik kesimpulan penyebab Senja kehilangan sebagian memori.

"Tapi kenapa gue yakin lo dibunuh, Ja."

Senja merenung, mencoba mengingat-ingat apa saja yang bisa diputar ulang oleh otaknya. Sayang, dia sama sekali tidak bisa menggali memori apa pun. Dia menatap penasaran Aras. "Kenapa lo yakin gue dibunuh?"

"Tunggu." Aras segera berlari ke kamar, hendak mengambil kertas rahasia yang dia dapatkan di kamar Senja tempo hari. Setelah berhasil mendapatkan benda tipis itu, dia langsung balik badan hendak turun. "Ampun suhu!" jeritnya sambil berlutut saking terkejut. Tepat di depan matanya, Senja sudah berdiri manis.

"Lo kalau pengen muncul gak usah langsung di depan muka gue juga, Ja. Kalau jantung gue copot gimana!" keluh cowok itu.

Bukannya merasa bersalah, Senja malah asyik cekikikan. "Ya kalau jantung lo copot gak pa-pa. Kita bisa sama-sama jadi hantu. Romantis, kan?" candanya. "Lo pernah bilang kita harus hidup sampai tua bersama, tapi sekarang udah gak bisa. Jadi, kita realisasikan aja mati bersama-sama dan menjadi hantu." Senja semakin terbahak melihat wajah sebal Aras.

"Gak usah halu," sungut Aras seraya meraih kertas yang ikut luruh bersamanya tadi. Dia bangkit lalu mengangsurkan benda tipis itu ke Senja. "Ini alasan gue bilang kenapa lo dibunuh."

Gadis itu membaca dalam hening. Dia mencoba menggali ingatan kapan dan dengan alasan apa dia menulis kalimat ini. "Pembunuhan tanpa benda tajam nyata adanya. Mungkin mereka tidak pernah tau bahwa ada banyak hal yang bisa membuat manusia terbunuh. Mungkin aku adalah salah satu manusia yang mengalami hal ini." Senja membuang napas panjang seraya berkacak pinggang. "Gue gak ingat pernah nulis kalimat ini, Ras."

Aras meraup rambutnya, memaksa otak berpikir. "Tapi lo sependapat kalau ternyata lo gak bunuh diri tapi dibunuh dari tulisan lo itu?"

Senja mengangguk patah-patah, tidak sepenuhnya yakin. Kalau dia dibunuh, berarti benar dia tidak dibunuh menggunakan benda tajam, tetapi kepala dibenturkan dan ditenggelamkan. Siapa? Siapa yang menyimpan dendam kepadanya?

"Sebelum kita berpikir jauh tentang tulisan lo ini, ada baiknya lo lanjutin cerita lo tadi. Gimana bisa lo muncul di depan gue," ujar Aras sambil menutup pintu kamar, takut orang tuanya kembali dari kantor dan melihatnya berbicara sendiri. Dia yakin sekali tidak semua orang bisa melihat keberadaan Senja. Setidaknya dia harus tetap terlihat waras meski telah ditinggal sahabat juga pacar sekaligus.

Senja mengetuk-ngetuk meja belajar Aras lalu duduk di kursi. Aras ikut duduk di pinggir kasur, siap mendengar lanjutan cerita Senja.

"Sepuh Arwah bilang gue cuma punya waktu sebulan untuk menemukan alasan gue meninggal. Kalau dalam waktu sebulan gue gak bisa menemukan jawaban, gue akan tertahan di alam arwah selama setahun tanpa bisa dilihat oleh siapa-siapa sekalipun gue memohon. Jadi, setiap tahun, arwah diberi kesempatan hanya sebulan untuk melanjutkan pencarian alasan itu."

Senja menatap hampa ke arah lantai pualam. Mengingat waktunya hanya sedikit, dia jadi takut kesepian yang akan ditemukan setelah lolos dari alam arwah. Kesepian tanpa tahu kapan akan berakhir. Dia tersenyum kecut seraya menatap Aras. "Sepuh Arwah bilang, gue cuma diizinkan pilih satu orang yang akan bantu gue mengungkapkan alasan itu. Orang itu yang akan mampu lihat dan komunikasi dengan gue. Dan itu lo, Ras. Gue milih lo. Sori."

Aras menatap Senja lalu berjalan mendekati gadis itu. Dia memeluk Senja tanpa berkata apa-apa. Pelukannya sudah cukup menjadi jawaban bahwa tak masalah melibatkannya.

"Gue gak mau sendiri, Ras, tapi gue harus." Air mata senja semakin deras, Aras pun tak mampu lagi menahan tangis.

"Sekalipun sekarang kita beda dunia, Ja, lo tetap boleh ngerepotin gue. Gue gak masalah."

Senja semakin mendekap Aras. "Lo selalu jadi orang nomor satu yang gue repotin, Ras." Dia mendongak, melihat Aras mengangguk sambil tersenyum lebar. Senja selalu suka senyum itu. "Sepuh Arwah juga bilang, kalau gue pengen dilihat sama lo, pertama-tama gue harus nyentuh mata lo dulu, dan gue lakuin itu waktu lo tidur. Gue nunggu lo bangun sambil senyum. Akhirnya, gue bisa dilihat setidaknya sama satu orang pilihan gue. Gue gak lagi kasat mata di depan lo, Ras, dan gue merasa hidup kembali."

"Gue selalu ada untuk lo selama lo butuh gue, Senja. Jangan pernah berpikir lo adalah beban untuk gue."

Senja mengangguk, membenamkan wajahnya di baju Aras. "Gue tau. Gue tau itu, Ras. Lo gak pernah ngecewain gue."

Aras mengusap lembut rambut Senja sembari menatap nanar pintu kamar. Senja bukan lagi manusia, gadis ini sudah berbeda alam dengannya. Namun, Aras masih belum terima semua ini terjadi. Kenapa harus Senja yang pergi?

"Kita temukan alasan lo, Ja. Lo harus kembali ke alam lo seharusnya berada. Secinta-cintanya gue sama lo, tempat lo gak di sini." Berat berkata demikian, tetapi Aras harus tegas. Pembunuhan ini harus diungkap.

Senja semakin terisak. "Gue gak mau ke mana-mana, Ras. Gue masih pengen hidup lebih lama."

Aras hanya bisa mengangguk. Berusaha mati-matian agar air matanya tidak semakin membanjiri pipi. Meski berat, Senja tak punya alasan untuk tinggal lebih lama di sini. Kehidupan mereka jelas berbeda.

***

02 November 2022
Jumkat: 1464

Minna-san, jangan lupa vomment😁. Hari ini ketemu SenjAras lagi, ya meskipun awalnya Aras masih takut-takut, tapi akhirnya berani juga. Tungguin mereka lagi, ya. See u!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro