20-Ending

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Daren memperhatikan beberapa lembar kertas yang terhampar di dekat kakinya. Dia menatap penuh iba dan penyesalan ketika menangkap tulisan di sticky-note. Tangannya meraih benda persegi itu dan mengusap pelan tulisan tangan Senja.

"Ras, mungkin lo selalu liat Senja baik-baik aja. Dia selalu senyum, ketawa, terlihat baik-baik aja sampai lo gak sadar kalau sebenarnya dia ...." Daren diam sejenak, menelan ludahnya perlahan. Dia menatap Aras sambil tersenyum kecut.

"Dia kenapa? Senja kenapa?" Aras terlihat tidak sabaran, dia terus mengguncang-guncang bahu Daren.

"Ras, lo tenang dulu." Senja memperingati karena dia menyadari ada tatapan tertekan dari Daren. Dia takut nanti cowok itu malah tidak jadi menceritakan semuanya.

Daren membaca pelan tulisan Senja. "Harus terus senyum." Dia melirik Aras sejenak sebelum melanjutkan. "Harusnya lo paham setelah baca ini, Ras. Apalagi ini." Tangannya menunjuk selembar kertas dengan gambar status di Facebook.

Manusia tersenyum, terus terbahak, tak pernah samar bahagianya sampai-sampai tak ada waktu berkeluh-kesah. Tidak penting mencari telinga untuk mendengar lantang dukanya. Terlalu bahagia.

"Harusnya lo bisa paham kalau Senja gak baik-baik aja." Daren tertunduk lesu. Matanya semakin berkaca-kaca ketika menangkap foto dirinya dan Nino di atas kertas. Dia tidak menyangka Senja akan melampiaskan kesedihannya melalui tulisan di Facebook, bahkan dia mengirim foto ini.

Aras membuang napas kasar. "Senja gak pernah ngomong apa-apa ke gue. Gue bahkan gak tau kalau ternyata dia punya akun Facebook dan ngelampiasin semuanya di sana. Gue juga gak tau kalau ternyata dia selalu pasang fake smile. Gue baru tau segala kejanggalan Senja setelah dia pergi dan datang ke gue untuk minta tolong." Napas Aras naik-turun ketika mengatakan itu semua. Dia semakin sakit ketika mengetahui Senja benar-benar menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dia tahu. Namun, kenapa Daren yang mengetahui ini semua?

Daren mengangguk. "Senja emang gak bakalan bisa ceritain apa yang terjadi ke lo, Ras. Gue tau kalau Senja tertekan dan ... dan pada akhirnya milih buat pergi. Dia emang bunuh diri, Ras. Kalaupun dibunuh, udah jelas yang ngebunuh dia adalah gue yang jelas-jelas gak nolong dia keluar dari masalah yang nimpa Senja."

Aras terkesiap, dadanya semakin berkecamuk. Meksipun Aras selalu meneguhkan hatinya untuk menerima segala kenyataan mengenai Senja, nyatanya tidak semudah itu ketika mendengar faktanya. Dia melihat Senja yang terdiam seraya memegang kepalanya.

Kenapa, Senja? Kenapa lo gak ngomong ke gue? Kenapa lo milih ninggalin gue? Bukannya selama ini kita bisa lewatin semua masalah yang kita temui sama-sama? Tapi kenapa lo pergi tanpa pamit?

Ingin rasanya Aras mengucapkan semua pertanyaan itu langsung ke Senja, tetapi dia sadar gadis itu tengah kesulitan mengatur ingatan yang bermunculan. Mungkin memang yang Senja alami tidak mudah untuk diceritakan. Aras mencoba mengatur isi kepalanya agar tidak membuat asumsi yang akan membuat keadaan hatinya memburuk.

"Kenapa lo bilang gitu, Ren?" Pada akhirnya Aras bertanya seandanya. Dia ingin Daren mengeluarkan semua informasi yang tersimpan rapat tanpa ada tekanan darinya.

Daren tersenyum kecut. Dia tetap harus menceritakan ini semua meski berujung tidak bahagia. Seseorang harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya, termasuk dia. "Lo tau Kak Nino pacaran sama Kak Selena, kan? Lo pasti juga tau kalau Senja dekat sama Kak Nino, seperti saudara. Mereka berdua emang sering terlibat percakapan gak penting kalau ketemu. Gue tau karena Kak Selena sering ke rumah bareng Senja, dan lo juga pasti tau itu."

Aras mengangguk. Senja memang selalu mengabarinya setiap kali menemani Kak Selena ke rumah Nino. Dia kembali memasang pendengaran baik-baik sebelum Daren melanjutkan ucapannya.

"Dari situ, gue juga suka sama Senja." Dia tertawa kecil mengingat pertengkarannya dengan Aras karena dia nekat menganggu Senja. "Dan lo pasti muak ladenin gue waktu itu karena pengen banget sama Senja." Embusan napas panjang dan berat kembali mengudara sebelum berujar, "Ternyata bukan gue aja yang suka sama Senja, Ras. Kak Nino juga suka sama dia."

Bagai dipukul ribuan palu, kepala Aras seketika sakit, telinganya berdenging. Dia tidak mungkin salah dengar, bukan? Ketika ingin membalas ucapan Daren, genggaman erat Senja di lengannya membuat dia menoleh. Aras kelabakan melihat Senja kesakitan.

"Senja! Lo kenapa?" Teriakan Aras membuat Daren ikut menoleh.

"Senja kenapa, Ras?"

"Kayaknya ingatan dia perlahan muncul." Aras cuma bisa mengenggam tangan gadis itu, sesekali menjelaskan kepada Daren bagaimana bisa Senja berada di sekitar mereka dan penyebab gadis itu jadi begini.

"Aras!" jerit Senja sembari mengucurkan air mata. "G-gue lihat Kak Nino diingatan gue. T-tapi gue gak bisa ingat jelas dia ngapain. Gue cuma tau dia nyeret gue ke kamarnya setelah itu, se-setelah itu ada Daren."

Aras menceritakan apa yang Senja lihat kepada Daren. Daren jelas tidak bisa menutupi keterkejutannya.

"Gue ceritain lebih detail lagi, Ras. Tapi gue mohon setelah ini kendaliin emosi lo." Daren membuang napas pendek sejenak sebelum mulai bercerita.

Waktu itu Daren baru saja selesai bermain basket di sekolah dan dia melihat Senja keluar dari ruang OSIS. Gadis itu sibuk berbicara dengan seseorang di telepon. Daren berniat mengantar Senja pulang. Setiba di parkiran, dia malah mendapati Nino bersandar di mobil dan membukakan pintu untuk Senja.

Daren tahu kalau kakaknya juga menyukai gadis itu. Ingin sekali rasanya Daren melarang Senja dekat-dekat dengan Nino sebab dia takut Senja hanya dipermainkan mengingat Nino memiliki pacar. Meski jengkel, dia tetap mengikuti mobil kakaknya dan malah sampai di rumah.

"Kak Selena ada di dalam?"

Daren sempat mendengar Senja berucap demikian sebelum masuk rumah. Setelah dia melihat Nino menutup pintu, barulah Daren memarkir motornya di gazebo. Daren merasa aneh sebab Kak Selena tidak pernah berkunjung di siang hari sebab perempuan itu sibuk bekerja.

Buru-buru Daren membuka pintu, tetapi panggilan di ponsel membuatnya urung masuk rumah secepat mungkin. Waktu itu, mamanya menelepon hendak dibelikan barang-barang untuk dibawa ke kantor. Karena tidak bisa mengelak, Daren bergegas pergi dan mengesampingkan pikiran anehnya.

Tiga puluh menit terlewati, Daren kembali dan sudah tidak melihat mobil Nino lagi. Dia langsung berlari ke kamar Nino ketika mendengar suara tangisan. Di situlah dia mendapati Senja memojokkan diri di sudut kasur sambil meringkuk. Daren semakin tercabik ketika melihat penampilan Senja yang berantakan.

"Ren. Ren tolongin gue, Ren. Kakak lo, Kak Nino." Senja semakin tersedu-sedu, tidak sanggup meneruskan ucapannya. Namun, Daren tahu bahwa kakaknya telah bertindak kotor.

Daren membuang napas panjang setelah berhenti bercerita. Dia melihat Aras mengepalkan tangan, wajahnya merah padam.

"Sampai detik ini, gue malu ketemu sama Senja, Ras. Gue gak tau harus gimana. Gue sadar ada yang beda dari Senja. Tulisan dia yang kayak gini nunjukin dia depresi dan milih bunuh diri, Ras."

Aras sudah tidak peduli. Dia bangkit, berniat mencari keberadaan dokter bejat yang telah membuat Senja jadi seperti ini. Dibanding kemarahannya dengan Nino, dia jauh lebih marah terhadap dirinya sebab tidak bisa melindungi Senja. Ke mana dia hari itu? Mengapa dia sampai kecolongon info seperti ini?

Belum jauh dari lapangan, dia melihat mobil Nino berhenti. Wajah pria itu langsung terlihat ketika menurunkan kaca mobil.

"Aras, lo ngapain di sini? Terus Daren ngapain di sana?"

Aras berhenti di samping mobil Nino. "Turun."

Nino yang mendengar suara dingin dan raut emosi Aras jadi bingung. Akan tetapi, dia tetap menuruti remaja tanggung itu.

"Kenapa?"

"Keparat! Sialan lo! Lo apain Senja, hah? Lo apain?" Aras sudah melayangkan pukulannya dengan brutal di wajah dan perut Nino yang tidak siap sama sekali disambut oleh pukulan bertubi-tubi. "Kenapa lo lakuin itu semua ke Senja, Bangsat! Lo sadar gak kalau dia bunuh diri karena lo!" Aras berhenti melayangkan pukulan, tetapi tangannya belum mau lepas dari kerah baju Nino.

Bukannya ketakutan, Nino malah tertawa. "Akhirnya lo tau juga. Pasti Daren yang ngomong kayak gitu, kan? Dia beneran minta gue bunuh ternyata!"

"Lo yang minta dibunuh, Bangsat!" Makian Aras semakin tidak terkendali.

Sebelum Aras sempat melayangkan tinjunya yang kesekian kali, sentuhan di pundaknya membuat dia berbalik dan mendapati Senja yang mulai terlihat seperti kabut.

"Ras ... kayaknya gue udah harus pergi. Gue udah nemuin jawabannya setelah dengar semua cerita tadi." Senja tidak henti-hentinnya menghapus air mata yang terus mengalir. "Ternyata gue benar-benar bunuh diri karena gak sanggup hidup karena aib itu, Ras. Gue minta maaf karena gak jujur sama lo, Ras. Gue lakuin itu karena gue takut lo gak bakalan nerima gue lagi."

Semakin lama, sosok Senja semakin mengabur. Sebelum Senja benar-benar menghilang, dia memeluk Aras seerat mungkin. "Maafin gue, Ras. Lo gak salah apa-apa, dan terima kasih karena udah bantuin gue. Sampaiin terima kasih gue ke Haifa juga. Gue mohon, jangan tinggalin Kak Selena sendirian, Ras. Dia udah gak punya siapa-siapa lagi selain lo yang bisa dia anggap sebagai adik."

"Senja," lirih Aras, tangannya sulit sekali membalas pelukan gadis itu.

"Gue selalu cinta sama lo, Ras. Saking cintanya, gue gak pengen ada di hidup gue dengan gue yang udah rusak. Gue gak ma---"

"Udah, Ja. Udah! Jangan pergi. Gue mohon." Aras baru bisa membalas pelukan Senja setelah gadis itu perlahan-lahan menghilang dan Aras sudah merasakan tidak memeluk sosok apapun lagi. "Senja!"

Detik itu juga, Aras sudah tidak bisa melihat Senja lagi. Dia hanya bisa menangis dan menghiraukan Nino yang kembali melajukan kendaraannya.

"Ras, mungkin setelah ini gue gak bisa jelasin apa-apa lagi," ucap Daren.

"Gak! Lo harus bawa kakak lo ke penjara," sambar Aras segera mungkin hingga membuat Daren terdiam.

***

Selena bersimpuh di makam adiknya sambil meraug. Racauan permintaan maaf terus-terusan mengalir dari bibirnya. Setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya dari Aras, dia tidak henti-hentinnya meratapi kepergian Senja dan terus merutuki diri sebab terlalu bodoh tidak bisa menyadari perubahan sikap adiknya. Terlebih yang membuat Senja seperti ini adalah pacarnya sendiri.

Dua minggu telah terlewati. Selama itu pula Selena tidak tahu kabar apapun tentang Nino. Namun, Aras pernah mengatakan bahwa polisi tengah menyelidiki kasus itu dan telah menjadikan Daren sebagai saksi.

"Kak, sebenarnya Senja gak pengen Kak Selena kayak gini." Aras menatap nanar Selena yang belum mau melepaskan pelukannya di nisan sang adik. Setiap hari Selena akan seperti ini dan Aras akan selalu setia menemani.

Kemarin, Aras telah menceritakan bahwa Senja pernah ada di dunia ini sebagai arwah dan apa tujuan Senja sebenarnya. Namun, Selena terkesan tidak peduli. Perempuan itu hanya sibuk meratapi Senja.

"Ras, Kak Selena gagal jadi kakaknya Senja," lirih Selena. Meski sudah tidak mengeluarkan air mata, tetap saja sesekali dia sesegukan.

Aras menggeleng. "Gak, Kak. Senja gak pengen dengar Kak Selena ngomong gitu. Senja selalu bangga punya kakak kayak Kak Selena."

Selena mendongak menatap langit seraya menggeleng pelan. "Kakak gak bisa ngenalin perubahan sikap Senja. Kakak gak pernah jadi teman curhat yang baik buat dia sampai-sampai harus berakhir kayak gini."

Aras sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia bergeming dan terus memikirkan kebersamaanya bersama Senja. Gadis itu selalu terlihat ceria sampai-sampai dia tidak tahu ada banyak luka yang disembunyikan. Dia melihat, tetapi buta menyadari keterpurukan Senja.

"Ja, gue minta maaf. Dari lo gue belajar kalau gak semua kesenangan di wajah itu nyata. Gak semua ketegaran itu kuat. Istirahat yang tenang. Gue akan selalu tepatin janji gue akan hidup lebih baik dan gak ninggalin Kak Selena." Aras memejam sejenak sebelum berujar, "Selamat jalan."

***
20 Desember 2022
Jumkat: 1800

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro