Paid The Price

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jatuh cinta diam-diam itu sedikit menyakitkan. Namun, sisi baiknya adalah kau selalu bisa melihat sosok yang kamu sukai tanpa takut orang lain mengetahui bahwa kau jatuh cinta pada sosok itu.

Lantas, apakah lebih baik kalau kita jatuh cinta diam-diam saja?

Jangan munafik, bukankah menyakitkan bila orang yang kau suka tak menyadari perasaanmu? Sakit,'kan?

•••

"Oper bolanya!"

Sorak sorai dari penonton terdengar begitu jelas, lapangan futsal yang luas dengan dua tim yang bermain membuat suasana menjadi lebih seru. Cuaca pun ikut mendukung dengan keadaan cerah berawan disertai angin semilir.

Kaki terlihat lihai menggiring bola, semangat pun tercetak jelas di wajah setiap pemain, senyum, ambisi, dan kerjasama. Semuanya terlihat bagus, permainan berlangsung cukup lama.

Namun, dari balik semua itu, ada seseorang yang menarik perhatianku. Sosok yang membuatku merasa kagum, sosok yang menjadi panutan, sekaligus sosok yang aku sukai. Iya, itu adalah dia.

"Gol! Gol! Gol! Hebat, Al!"

Teriakkan gembira penuh kehebohan samar-samar aku dengar dengan indera pendengaranku, bersamaan dengan sosok yang tersenyum puas atas hasil tendangan gol mutlaknya.

Seorang lelaki berambut hitam dengan manik segelap malam, Alfiza Reihan. Kakak kelas yang diam-diam kusukai. Yang hanya bisa aku lihat dari jauh, contohnya dari balik kaca jendela seperti saat ini.

Biar aku beritahu, pada saat kau jatuh cinta diam-diam. Maka kau pun akan diam-diam melihatnya dari jauh. Kamu akan tersenyum, ikut senang, dan merasa lega bisa melihatnya.

Namun...

Kepalanya tiba-tiba mendongak, manik matanya menemukan atensiku yang berada di kelas lantai dua ini. Kedua pandang saling bertemu, membuat degupan jantung jadi tak beratur dan merasa salah tingkah.

Detik kemudian, ia tersenyum, menunjukkan cengiran khas penuh jenaka yang membuat wajahnya jauh lebih tampan. Ini tidak bagus untuk jantungku. Apalagi untuk perasaanku. Tak mau berlama-lama, akhirnya mengalihkan pandangan adalah satu-satunya cara untuk menyikapi rasa ge-er yang tak baik ini.

Saat pandangan bertemu secara tidak sengaja, bahkan kau pun pura-pura tak melihatnya. Diam-diam merasa senang dan berharap lebih di saat bersamaan. Seolah kau memang ingin diperhatikan juga olehnya secara nyata.

•••

"Jadi, kapan kau akan mengambil langkah?"

Kalimat pertanyaan keluar dari seorang gadis bernama Sharon, dengan notabene sebagai sahabatku, gadis berkacamata yang duduk berhadapan denganku dan tentu dengan pertanyaan yang serius.

Yah, aku seringkali berbicara tentang Reihan dengan Araya, atau lebih sering kupanggil Ara. Gadis itu mendengarkan setiap curhatanku, bahkan sesekali memberikan saran, ataupun ledekkan pula.

Kalimat dari Ara membuatku membeku sesaat, aku tak bisa merangkai kata demi kata untuk menciptakan kalimat yang cocok menjawab pertanyaan Ara. Atau lebih tepatnya, aku memang pengecut dan tak berani mengambil langkah, meskipun itu juga hanya dari sebuah pertanyaan sederhana.

Ctak!

"Woi!" Ara menjentikkan jarinya di depan wajahku, membuat lamunan langsung buyar seketika dan menarikku kembali pada kenyataan.

"E-eh? Soal itu..." mata melirik ke arah lain, tak berani menjawab pertanyaan Ara sebelumnya. Sungguh, aku sangat tidak yakin.

Memperhatikannya dari jauh saja aku harus selalu hati-hati, apalagi mengambil langkah untuk lebih dekat dengannya. Sepertinya aku malah akan pingsan duluan.

"Come on, kau tidak akan terus saja melakukan hal ini, 'kan? Mengaguminya dari jauh?"

Entah mengapa dadaku menjadi sesak, lagi-lagi kalimat dari Ara mampu membuat moodku tak karuan.

"Kamu boleh menunggu, tapi kamu juga harus lari. Kalau lelah, berhentilah ketika kau sudah berada di sampingnya."

•••

Yang kedua dari jatuh cinta diam-diam, kamu akan selalu diam-diam memendam perasaanmu. Apakah kamu akan sanggup?

Semakin besar perasaanmu, maka semakin sesak pula setiap kali kau mencoba memendamnya.

Harus diakui, wajah seorang Reihan tidak bisa dikategorikan sebagai sosok yang tampan, dia adalah pemuda normal seperti yang lain. Tingginya biasa saja, nilainya pun pas dengan KKM, tak ada yang spesial bila diperhatikan dari mata umum.

Namun, bagiku sifatnya jauh lebih penting daripada penampilannya. Dia adalah pemuda humoris yang pandai bergaul, bahkan menjadi penyemangat bagaikan kobaran api untuk para anggota tim futsalnya. Hal-hal konyol yang dibuatnya dapat dengan mudah membuat orang tersenyum.

Bahkan hal-hal sederhana itu dapat dengan mudah membuatku menyukainya. Jujur, ia bukanlah tipeku sama sekali, tapi... Aku pun masih ragu bagaimana awalnya aku menyukai kakak kelasku itu.

"Sharon!"

Kepala menoleh ke asal suara, manik mata mendapati sosok itu berada di ambang pintu kelasku. Tersenyum khas dengan sebuah buku di pelukkannya.

Maaf, aku jadi salah fokus. Kenapa aku jadi merasa sedikit iri dan cemburu, ya, pada buku itu?

Tubuh lamgsung beranjak, kaki pun segera melangkah mendekati Reihan. Lelaki itu membuka bukunya dan menyiapkan sebuah pulpen.

"Dari kelasmu apakah ada anggota yang nanti tidak latihan organisasi?"

Ah, aku lupa. Hari ini memang ada latihan, tapi sepertinya anggotaku tak ada yang akan bolos. Mengingat bahwa sebentar lagi lomba semakin dekat dan anak-anak semakin rajin latihan.

"Sepertinya tidak ada, deh." jawabku sekenanya.

Reihan mengukirkan senyum simpul, kepalanya mengangguk paham atas jawabanku. Untuk beberapa saat, aku terpaku, sampai akhirnya tangan hangat itu menyentuh kepalaku dan mengelusnya perlahan.

Tunggu... Eh?

"Semangat, ya, latihannya."

Aku dapat merasakan darah yang berdesir naik ke wajahku, rasa malu, tersipu, senang, semuanya kudapatkan dari perlakuan sederhana Reihan. Ah... Andai bisa seperti ini terus...

"Iya, Kak!"

Reihan tersenyum puas, ia lantas berbalik, lalu berjalan menjauhi kelasku. Dapat kulihat punggung tegap nan lebarnya yang sangat pelukable, sepertinya akan begitu nyaman bila memeluknya dari belakang---

Aku segera menggelengkan kepala, menepuk-nepuk pipiku dan mencoba berpikir jernih. Uh, apa yang baru saja aku pikirkan?

Reihan selalu bersikap baik padaku, seolah-olah pula memperlakukanku secara spesial, seolah aku memang berharga, apakah artinya ia juga membuka hati? Membiarkan aku memasukinya? Memberikanku kesempatan?

"Kak Reihan!"

"Selamat siang, Kak Reihan!"

"Kak, hari ini latihan, 'kan?"

"Kak, di kelasku ada anggota yang tidak berangkat!"

"Kak Reihan---!"

Aku menoleh pada asal suara berisik berasal, sebuah kerumunan di sekitar Reihan. Mengerubungi laki-laki itu bagaikan semut yang menemukan gula manis kesukaan mereka.

Bukannya memasang wajah risih atau jijik, Reihan justru tersenyum hangat. Bahkan dapat kulihat, sebisa mungkin ia menanggapi setiap pertanyaan yang terdengar bersahutan di telinga.

Entah mengapa melihat senyuman itu membuatku jadi sedikit sesak. Apa ini?

Ketiga, dari jatuh cinta diam-diam, kamu hanya bisa berpikir diam-diam. Kemudian, kamu pun merasa cemburu diam-diam.

Aku tahu ge-er itu adalah hal bodoh, tapi bolehkah aku merasa senang ketika kedua pandangan kami bertemu tanpa sengaja? Bolehkah aku senang ketika kita berbicara? Bolehkah aku senang mengharapkan tentangnya?

"Jangan pernah baper ketika diperlakukan spesial oleh cowok. Karena, terkadang mereka lupa bahwa mereka itu baik kepada semua cewek."

•••

Percayalah, memendam cinta diam-diam sendirian itu tidak mudah. Semakin kau ingin menjaga rahasia perasaan itu, di sisi lain kamu juga ingin rahasia perasaan itu tumbuh.

Tak apa untuk sesekali kau mengatakan cerita tentangnya, ceritakanlah bila kau merasa sudah terlalu banyak menyimpan rahasia sendirian.

Semua perasaan itu berat, kamu tak akan bisa menanggungnya sendirian. Bisa-bisa kau jadi mati rasa menanggungnya sendiri.

"Capek?"

Lagi-lagi, aku menceritakan hal ini pada Ara. Hanya dia satu-satunya sahabat yang mengerti tentangku, semua masa laluku. Kau tidak boleh sembarangan menceritakan kisahmu, apalagi ketika orang itu ingin mengubah masa depanmu dengan saran tak masuk akal.

Kalau ia tak mengetahui baik seluruh kisahmu, jangan biarkan ia mengatur masa depanmu. Kau punya kebebasan sendiri untuk mengaturnya.

"Kalau terus saja seperti ini. Diam di tempat, lantas apa manfaatnya perasaanmu pada Reihan, Sha?" Ara terlihat sedikit jengah, sepertinya cukup lelah denganku yang seperti ini.

Sedangkan aku sendiri hanya menghembuskan napas pelan, aku tak tahu apa-apa yang harus kulakukan. Rasanya hubungan dan perasaan ini masih terasa samar-samar.

"Baiklah... Aku akan mulai mencoba sedikit demi sedikit, semoga aku beruntung..."

Senyuman di wajah Ara melebar, akhirnya ia berhasil membuatku menjadi termotivasi mendekati pujaan hati. "Nah, begitu, dong!"

•••

"Kau masih belum membuat proposalnya?"

"Akhir-akhir ini aku sibuk, aku juga lupa beberapa bagian struktur proposalnya..."

Yang keempat dari jatuh cinta diam-diam, ternyata diam-diam otakmu juga bisa buyar mendadak ketika sudah terlalu banyak memikirkan tentangnya.

Deadline membuat proposal kegiatan PKS atau Pekan Kreatifitas Siswa adalah 3 hari lagi, namun aku belum membuatnya sama sekali.

Jangan tanya kenapa, kelas 11 sepertiku yang mengikuti OSIS dan organisasi tunggal bersamaan, membuatku terkadang tak pandai mengatur waktu sehingga seringkali aku lupa dengan beberapa tugas.

Ditambah lagi dengan diam-diam selalu memikirkan seseorang, aku semakin tidak fokus dalam mengerjakan sesuatu.

"3 hari lagi, nih, apakah waktunya cukup?" Ara bertanya khawatir, sedangkan aku hanya menghembuskan napas pelan.

Sejujurnya, sehari membuat proposal juga bisa, hanya saja, akhir-akhir ini aku selalu blank karena banyak hal.

"Minta bantuan senior OSIS? Gimana? Siapa sekbid TIK tahun lalu?"

Aku terdiam sesaat, saran dari Ara boleh juga, tapi...

"Untuk seluruh anggota OSIS kelas 11, harap berkumpul di ruang rapat, sekali lagi, untuk seluruh anggota OSIS harap berkumpul di ruang rapat sekarang, terima kasih."

Panggilan yang berasal dari speaker atau pengeras suara terdengar jelas, Ara menepuk bahuku dan tersenyum.

"Tuh, sana kumpul."

"Iya..."

•••

"Proposalnya belum jadi?"

Setelah rapat singkat tentang pelaksanaan acara PKS mendatang dan pembahasan tentang proposal, aku berada di sini. Di dalam ruang OSIS bersama Reihan, dia dulu memanglah seorang anggota OSIS.

"Iya, akhir-akhir ini lumayan sibuk soalnya..."

Reihan menggeleng-gelengkan kepalanya, pemuda itu akhirnya duduk di salah satu bangku yang disediakan khusus untuk anggota sekbid TIK, lengkap dengan sebuah laptop dan flashdisk di atas meja.

Aku mengernyit heran, apa yang akan---

"Sini, Kakak bantuin bikinnya. Lebih cepat lebih baik, 'kan? Ambil satu kursi lagi dan duduklah di sebelahku."

Kelima dari jatuh cinta diam-diam, entah mengapa kamu selalu saja diam-diam berterima kasih pada Tuhan, karena takdir yang dibuatnya dapat dengan mudah mempertemukanmu dengan orang yang diam-diam kamu sukai.

Aku segera menarik sebuah kursi, kemudian duduk di sebelah Reihan, sama-sama memandang layar laptop saat lelaki itu membuka aplikasi microsoft word.

"Kamu ingat poin-poin utama yang akan ditulis, 'kan? Kita tinggal mengubah beberapa hal dari contoh proposal kemarin."

Reihan mulai membimbingku untuk membuat proposal kegiatan, suaranya terus menjelaskan tentang apa-apa yang harus aku ketik, bahkan beberapa tips serta nasehat yang membuatku entah mengapa merasa begitu hangat.

Setiap perhatian kecil yang ia berikan, selalu saja membuatku merasa begitu nyaman. Selalu membuatku semakin menyukainya.

Apakah dengan ia berperilaku baik seperti ini padaku, artinya ia juga menyukaiku? Atau hanya mencoba untuk menjaga perasaanku?

•••

"Huh? Kak Reihan ikut lomba futsal di PKS kita?"

Acara PKS dimulai hari ini, dan fakta bahwa Reihan mengikuti salah satu lomba dalam acara ini memang sungguh membuatku senang dalam diam.

"Yah, tentu. Sudah dipastikan Kak Reihan pasti memenangkan lomba ini bersama timnya." Galuh nampak berujar dengan santai di sebelahku, lelaki yang menjabat sebagai wakil sekbid TIK yang sekaligus menjadi rekanku.

Galuh adalah anak yang selalu tahu berbagai informasi, dia bagaikan sepasang mata utama dalam OSIS. Dia adalah lelaki yang berantakkan, terkadang selalu bergaul dengan anak berandalan namun selalu bisa menjaga sikap dan penampilannya.

Jangan tanya kenapa kemarin ia tidak mengangguku, lelaki itu sedang mempersiapkan diri untuk pertandingan basket minggu depan. Jadi jadwalnya latihan cukup padat sehingga tak bisa membantuku.

"Sharon! Galuh!"

Langkah kaki terdengar banyak di belakang kami, lantas setelah menoleh, kami pun melihat para anggota OSIS lain yang mungkin sedang mencari kami.

"Kalian kemana saja, sih? Udah mau mulai nih." Firda tampak menunjukkan wajah kesal.

"Galuh, kau jadi komentator lombanya." Dimas menunjuk dan menyuruh Galuh langsung tanpa basa-basi.

"Lho, 'kok---"

"Jangan banyak alasan, ayo cepat ke lapangan!"

•••

"Reihan menendang bola! Woah! Jebreeet! Sebuah tendangan LDR! Dengan ujung kakinya memelintir bola! Meliuk ke sebelah kanan---melenting masuk tajaaaammm!!!"

Kehebohan yang dibuat oleh Galuh sebagai komentator begitu kocak, konyol, dan juga menghibur, acara yang diisi olehnya terasa begitu menyenangkan dan seru.

Dimas memang tidak salah memilih Galuh sebagai komentator. Buktinya, para peserta maupun penonton menjadi tertawa dibuatnya.

Pertandingan kategori futsal pun diakhiri dengan kemenangan tim Reihan dengan skor 2 - 4. Tentu saja ini bukanlah hal yang membuatku kaget, karena memang kelihaian Reihan bermain futsal tak dapat diragukan.

"Kerja yang bagus, Rei!"

"Keren, bro!"

"Mantap, cuy!"

"Tos!"

Para anggota tim nampak begitu senang, membuat sudut bibirku terangkat dan ikut merasakan hal yang sama. Lagi, kedua mata kami saling bertemu, Reihan tersenyum dan melangkah mendekatiku.

Tanganku terangkat, senyuman semakin lebar kala merasakan degup jantung yang semakin keras. "Selamat, Kak!"

Reihan tertawa puas, ia melakukan high-five bersamaku dengan antusias. "Ya, terima kasih!"

Sungguh, aku begitu menyukai bagaimana dengan mudahnya cara dia menjadi bahagia dengan hal sederhana.

Keenam dari jatuh cinta diam-diam, ketika diam-diam kamu sudah merasa sangat bahagia. Mungkin saat itulah kau sudah seharusnya tak lagi mencintainya diam-diam.

Ya, kau harus menyatakan perasaanmu.

•••

"Hmm, bagus."

Ara memeriksa setiap detail dari sebuah amplop kecil berwarna soft pink di tangannya, ia mengangguk-angguk kemudian memberikan kembali benda itu kepadaku.

"Semoga beruntung, Sha!"

Berbekal rasa percaya diri dan dukungan dari Ara, aku segera melanjutkan tujuanku selama ini. Aku ingin Reihan mengetahui hal ini, perasaanku.

Di jam istirahat siang seperti ini, biasanya Reihan sedang bermain futsal di lapangan bersama teman-temannya. Oleh karena itu, aku akan menaruh surat ini di dalam tas olahraganya.

Senyuman tak pernah luntur seiring kaki melangkah melewati lorong, beberapa orang menatapku heran namun aku tak peduli. Hingga akhirnya aku berada di lapangan, Reihan terlihat di sana, sedang istirahat di tepi lapangan dengan teman-temannya.

Aku ingin langsung berlari mendekatinya, namun dapat kulihat sesuatu yang janggal di sana.

Reihan bersama seorang gadis, dan gadis itu pun terlihat sedang mengelap keringat Reihan menggunakan handuk kecil. Dari gerakan bibir mereka, kutebak mereka sedang bercanda, terbukti dari keduanya yang lalu tertawa bersama.

Entah mengapa aku jadi sakit seperti ini, sejak kapan?

Surat yang sebelumnya ingin kuberikan, kini telah aku masukkan ke dalam saku rok seragam. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu dan Reihan, tapi aku juga takut bila mengetahui kebenarannya.

Aku berusaha melangkah mendekati lapangan, berada di barisan orang-orang yang berjalan melewati lapangan dan tempat istirahat kecil di tepi lapangan.

Dari jauh, ketika aku berjalan, aku dapat melihat semua itu, para anggota tim yang menatap mereka dengan jahil dan tawa lucu yang membuatku semakin sakit.

"Cieee, ceritanya udah jadian nih sama Retha?"

Aku ingin sekali mendengarmu menyangkal pertanyaan itu, kumohon. Tapi yang kulihat, kau justru tersenyum tulus dan menganggukkan kepala dengan wajah yang begitu khas.

Kenapa? Kenapa senyuman manismu kali ini membuatku merasa begitu sakit?

•••

Ketujuh, dari jatuh cinta diam-diam, kamu pun bisa saja tersakiti diam-diam. Dan percayalah, rasanya sangat sakit.

"Daripada begitu, ayo kita lihat pertandingan basket Galuh hari ini. Seluruh anggota OSIS juga akan melihatnya."

Ara terdengar mencoba menghiburku dari telepon, sebisa mungkin membuatku melupakan tentang kejadian sebelumnya dengan Reihan.

Orang bilang, luka bisa sembuh seiringnya waktu. Tapi aku bukanlah orang yang ingin disembuhkan waktu, apalagi bersama sang takdir yang begitu licik dengan seribu kejutan tak terduga.

"Ah, iya deh. Dimana ia akan bertanding?"

"Tenang saja, Firda akan menjemputmu, 'kok. Cepatlah bersiap-siap!"

•••

"Pass!"

Suara decitan sepatu dengan lantai yang mengkilap serta teriakan antar pemain membuatku terkagum dengan suasana ini.

Di sana, Galuh yang aku kenal sebagai lelaki biasa saja itu kini telah berubah menjadi Galuh yang kelihatan paling hebat. Lelaki itu merebut dan menembak bola dengan mudahnya.

Apa ini benar Galuh?

"Aku tak tahu Galuh bisa sehebat ini," ucapku mengomentari permainan Galuh, sepertinya memang benar kata pepatah, jangan nilai buku dari sampulnya.

"Namanya juga Galuh, selalu penuh dengan hal tak terduga." Dimas menyahuti ucapanku.

Priiit!

Peluit dibunyikan panjang, tanda bahwa pertandingan telah berakhir. Dengan skor 40 - 21, artinya Galuh memenangkan pertandingan ini.

Setelah antar tim saling mengucapkan terima kasih dan segera pergi, aku merasakan pandanganku yang langsung gelap.

Sebuah---kain?

Aku tak bisa melihat apapun karena sebuah kain yang menutupi pandanganku, namun aku dapat mendengar jelas beberapa suara ribut yang berasal dari depan maupun belakang.

Tunggu... Apa?

Jreeng ♪

Suara gitar terdengar, diikuti dengan beberapa langkah kaki di hadapanku, membuatku semakin bingung dan penasaran.

"Hari ini, hari yang kau tunggu♪"

"Bertambah satu tahun, usiamu, bahagialah kamu♪"

Kali ini kain penutup mataku terbuka, aku segera mendapati sebuah pemandangan mengagumkan.

Seluruh anggota tim basket terlihat memegang sebuah spanduk besar dengan tulisan ; Happy Birthday, dear Sharon!

Rasanya aku ingin menangis, begitu terharu dengan kejutan yang dibuat di hadapanku. Di tambah lagi, dengan seluruh anggota OSIS yang memegang bunga, serta Dimas yang terlihat merekam hal ini menggunakan handycam.

"Semoga Tuhan, melindungi kamu. Semoga tercapai semua angan dan cita-citamu~♪"

Galuh berada di tengah, terlihat paling menonjol dengan gitar yang dimainkannya. Setelah lagunya selesai, ia segera menaruh gitarnya, lalu berjalan mendekatiku dengan senyum jenaka.

Ada perasaan lain dalam hati ini, sebuah perasaan senang yang selalu aku harapkan tiap waktunya. Perasaan nyaman yang membuatku merasa hidup.

Dan Galuh, berhasil membuat perasaan ini kembali tumbuh.

Firda memberikan sebuah birthday cake pada Galuh, lilin dengan angka 17 di atas kue itu membuat perasaanku semakin hangat.

"Kemenangan dalam pertandingan basket ini bukanlah apa-apa. Kemenangan yang aku inginkan adalah, aku ingin memenangkan hatimu." Galuh tersenyum teduh, membuat pipiku merona hangat karenanya.

"Hari ini juga hariku, begitu pula denganmu, kita lahir di waktu yang sama. Jadi, bagaimana kalau kita meniup lilinnya bersama-sama?"

Aku mengangguk samar, Galuh pun menunduk, kami menatap lilin itu bersamaan sebelum akhirnya juga meniupnya bersama.

Galuh yang humoris, konyol, ramah, serta romantis di saat bersamaan, kini membuatku dapat dengan jelas melihat dirinya yang asli.

Yang begitu nyata berada di hadapanku diantara semua kejujuran yang ada. Dia yang kini berada dengan begitu uniknya di hadapanku. Dia yang tak terduga memberikan ini semua.

"Aku tak mengharapkan balasan dari perasaan ini. Aku sangat merasa beruntung bisa bertemu denganmu, bahkan menjadi rekan di OSIS, teman sekelas, juga menjadi salah satu orang dari banyaknya manusia di hidupmu, Sharon."

Ah, sejak kapan kamu seperti ini, Galuh?

"Aku mencintaimu sejak dulu, saat kita seleksi OSIS, saat kita berada di kelas yang sama. Kamu yang membuatku termotivasi. Kalau diumpamakan, kamu itu seperti langit."

Aku mengernyit, memiringkan kepala dan memasang wajah bingung, tak mengerti maksud Galuh. "Maksudmu?"

Galuh tersenyum simpul, ia menatap kedua mataku lekat-lekat, sebelum akhirnya membuatku tenggelam dalam pandangan itu dan ia berujar. "Kamu itu seperti langit, terlihat dekat, namun ternyata sangat jauh untuk digapai."

Rasanya senyuman ini akan bertahan dengan waktu yang cukup lama, aku tertawa kecil mendengar hal itu. Galuh mendekat, kemudian mengecup singkat keningku dan mengacak surai rambutku.

"Jadi, princess... Apa yang kau inginkan di hari ulangtahunmu ini?"

Luka ini rasanya langsung hilang ketika mendapat kejutan manis dari Galuh, aku segera tersenyum jahil dan berkata, "aku ingin mengabulkan permohonanmu yang sebelumnya kau ucapakan tadi."

Galuh melebarkan matanya, terkejut mendengar perkataanku. Ia berdehem pelan, menyembunyikan rona wajahnya yang membuatku tertawa geli.

Tangannya terulur, mencubit gemas salah satu pipiku. "Tetap jadi Sharonku yang manis, ya?"

Yang terakhir, dari jatuh cinta diam-diam. Tanpa kamu sadari, mungkin ada pula yang mencintaimu diam-diam tanpa kamu sadari.

Harga yang harus dibayar dari jatuh cinta diam-diam adalah persiapan perasaan. Karena, terkadang takdir mempunyai rencana penuh kejutan.

"Aku bersyukur bisa mengenalmu, Galuh."

"Aku bersyukur Tuhan mengizinkanku berada dalam garis takdir yang sama denganmu, Sharon."

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro