Bakti Sosial 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia Feng, seorang cowok berkulit putih dengan mata sipit yang sehari-hari begitu senang menyendiri. Di kalangan teman-teman kampusnya, Feng bisa dibilang paling beda. Saat mahasiswa lain sibuk bergerombol dan membentuk kelompok atau geng, Feng justru memilih pergi ke taman belakang gedung fakultasnya. Ia biasa menghabiskan waktu kosongnya saat menunggu kelas di sana. Ditemani buku-buku sejarah atau novel bernuansa horor, ia seakan ikut tenggelam dalam bacaan.

Rambut lurus berponi sampingnya sedikit melambai tertiup angin tanpa permisi.

Jika sudah begitu, wajahnya yang bersih ia dongakkan ke langit. Mata sipitnya membentuk garis cekung karena otot-otot pembingkai jendela hati itu dipaksa mengendur demi mengurangi silau yang diakibatkan oleh cahaya terang sang surya. Tak jarang pula mata itu ia pejamkan demi merasai belaian lembut sang bayu. Jika semua itu sudah berlalu, ia akan kembali memasuki imajinasi lewat lembaran-lembaran tipis penuh aksara.

Feng ialah mahasiswa fakultas Ilmu Budaya.

Ia yang berlatar belakang keluarga campuran merasa sangat perlu mengetahui kebudayaan secara lebih dalam. Papanya yang keturunan Tionghoa dan mamanya yang asli Bali membuat Feng begitu antusias belajar budaya. Baginya, kebudayaan merupakan sebuah identitas. Bukan untuk mengkotak-kotakkan, tetapi lebih ke upaya pelestarian. Ia tentu tidak mau jika kelak anak cucunya tidak dapat lagi melihat rupa Barong Landung.

Padahal menurut Feng sejarah Barong Landung menurut salah satu versi mirip dengan keluarganya, yakni pernikahan lintas negara, tepatnya Balu dan Cina. Sebutlah Barong Landung pria yang sering dipercaya merupakan replika Raja Jaya Pangus. Sedangkan yang wanita ialah Kang Cing Wei, putri saudagar Tiongkok yang berhasil membuat sang raja Jaya Pangus tergila-gila. Beliau nekat menikahi Kang Cing Wei meski tanpa restu.

Ilmu Budaya sebenarnya bukanlah fakultas bergengsi versi Handi Wijaya, papa Feng. Pria berkaca mata minus tiga setengah itu sangatlah ingin anaknya menjadi dokter. Bukan demi uang, semata-mata karena pria itu ingin anaknya menjadi ahli medis. Dengan begitu, jika ada anggota keluarga yang sakit akan sangat mudah melakukan pengobatan sesuai diagnosa.

Lain Handi, lain pula apa yang dipikirkan Feng. Bagi Feng, dokter ada di mana-mana dan bisa mengobati siapa saja, kenapa ia harus menjadi dokter jika hanya alasannya untuk bisa mengobati keluarganya? Dokter bisa dengan mudah ditemukan, bahkan di pelosok tanah air, tetapi budayawan tidak sebanyak itu. Untung saja, otak cerdas Feng bisa mengantarnya menuntut ilmu tanpa biaya. Handi tidak bisa melarang keinginan Feng, meski sebenarnya hatinya sangat ingin.

Dalam hati pria yang usianya hampir setengah abad itu hanyalah ingin menemani Feng meraih cita-citanya.

Handi tidak ingin sesuatu yang buruk dilakukan Feng, anak semata wayangnya.

Cukuplah sang istri yang melakukan sebuah kebodohan, Handi tidak ingin hal itu terulang pada Feng. Istrinya dulu divonis mengalami gangguan jiwa yang berat. Kemungkinan besar diakibatkan oleh larangan Handi kepada sang istri. Istrinya dilarang membuka praktik pengobatan dengan cara-cara spiritual. Menurutnya itu sangat tidak logis.

Sejak itu, wanita yang selalu tersenyum manis di pagi hari saat Handi ingin pergi ke kantor, mulai menampilkan wajah berbeda. Wajah murung itu kadang dihiasi bekas air mata. Feng yang masih berusia tiga tahun mulai dijadikan objek pelampiasan amarahnya. Hal itu sering sekali Handi dengar dan saksikan. Ni Made Ratna Dewi yang biasanya lemah lembut berubah menjadi sosok lain. Ia seolah tidak mengenali dirinya yang dulu.

Setiap hari wanita yang senang menggunakan pakaian adat Bali itu hanya mengumpat saat melihat sang anak. "Pergi kamu!" Wanita itu melotot.

Feng kecil tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Untung saja sang kakek ada di sana dan menolongnya. Feng dibawa ke kamar kakeknya agar tenang.

"Feng di sini dulu, jangan ke mana-mana sampai Pekak kembali," kata Sukarta.

Pria berbusana adat Bali lengkap dengan udeng di kepala dan bunga kamboja di telinga kiri itu meninggalkan sang cucu. Ia bermaksud menemui Ratna. Anak bungsunya itu ternyata sedang menunjuk-nunjuk ruang kosong dalam kamarnya. Sukarta mematung di ambang pintu.

Dari tempatnya berdiri, Sukarta mendengar dengan jelas teriakan-teriakan yang dilontarkan Ratna pada ruang kosong yang ditunjukknya. Berbagai macam kata pengusiran dan ancaman. "Jangan ganggu anakku!"

"Ratna!"

Ratna menoleh ke arah suara. Di wajahnya tergambar jelas raut marah dan takut yang berbaur menjadi satu. Keringat memenuhi wajahnya yang ayu.

"Bapa, tolong lindungi Feng!" pinta Ratna.

Wajahnya semakin ketakutan, cara bicaranya tergesa-gesa. Hal itu yang membuat Sukarta meraih kedua bahu anak perempuannya itu dan merapikan rambut panjang yang biasanya tersanggul rapi. Kedua mata Ratna ditatap dalam-dalam. Ada sebuah ketakutan. "Ada apa?"

"Mereka mau membunuh Feng."

Sunyi.

***

Feng masih asyik membaca buku sejarah saat seorang temannya menghampiri.

"Feng, nanti sore anak-anak mau ngamen. Uangnya buat baksos. Ikut?" Laki-laki yang baru datang itu Fandi.

"Kok, baru kasih kabar?" tanya Feng sambil menutup bukunya. Mata sipitnya diarahkan pada lawan bicara yang masih berdiri. "Ke mana?

"Deket."

Fandi kemudian mengajak Feng untuk ikut bergabung dengan teman-teman lain.

Di sana ternyata mereka sudah siap. "Feng ikut," seru mereka kencang. Mereka begitu gembira melihat pemuda bersuara emas itu ikut.

"Ya, aku ikut," ucap Feng sambil tersenyum.

Setelah dirasa siap, mereka bergegas berangkat.

Menaiki mobil milik Fandi, mereka melaju ke arah pusat keramaian, mulai dari Jalan Teuku Umar sampai ke arah Jalan Imam Bonjol. Banyak tempat-tempat makan dan dua pusat belanja yang mereka datangi. Kemudian mereka lanjut ke arah Pasar Badung, Lapangan Puputan dan terakhir Lapangan Renon. Mereka menyanyi dengan gembira.

Selain menyanyi, mereka juga memunguti sampah-sampah yang berserakan.

Selesai menyanyi dan memungut sampah, mereka berhenti untuk makan.

"Kita nyerahin hasilnya besok aja. Yang penting sudah dihitung tadi. Kita sudah tahu berapa hasilnya," kata Fandi. Keempat temannya menyetujui.

***

Keesokan harinya para perwakilan dari seluruh prodi di Fakultas Ilmu Budaya sudah bersiap berangkat. Semua barang bawaan sudah dimasukkan ke mobil. Barang-barang itu di antaranya: kaos katun putih polos, alat lukis, dan buku.

Buku-buku fiksi dan non fiksi mereka bawa.

Setibanya di tempat bakti sosial, mereka disambut oleh para pengurus beserta orang-orang yang dirawat di sana. Mereka ialah orang-orang dengan gangguan kejiwaan yang berat. Di rumah yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi itu, mereka dirawat dengan kasih sayang.

Para perawat di sana ada dokter yang memang mengerti tentang kejiwaan, ahli paikologi, dan para seniman. Mereka percaya, seni bisa membuat jiwa menjadi tenang dan damai. Dengan begitu, penyakit mereka perlahan-lahan akan bisa disembuhkan. Tentu saja didampingi dengan obat-obatan sebagaimana mestinya. Obat lagi-lagi memegang peranan penting bagi manusia. Terutama untuk para penderita gangguan kejiwaan ini. Mereka harus rutin mengonsumsi obat dengan dosis yang dianjurkan. Itu wajib hukumnya.

👼👼👼

Akhirnya up!

N.W
Tangsel, 29 Juli 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro