BAB 1: PULANG, NAK!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan pulang, Nak. Sebelum ada cinta di hatimu."

_____





BANDUNG.

ALI suka suasana di pesantren. Tidak ada bising ghibah yang tak sengaja didengarnya ketika di kampung dulu. Yang ia dengar hanya suara para santri yang melantunkan ayat suci.

Pagi-pagi sekali suasananya ramai damai. Air wudhu yang berjatuhan, suara gemuruh lantunan murroja'ah hapalan, juga para santri yang saling membangunkan--amar makruf, saat mata nyaris terpejam akibat lembur baca kitab semalaman.

Sepanjang hari diisi dengan kegiatan menambah ilmu. Sehabis subuh, ada kajian oleh Abuya Ghufron Abdullah--pimpinan pesantren. Lalu  bersih diri dan melakukan aktivitas pribadi. Pagi sampai sore diisi kelas-kelas. Sore sehabis sholat ashar ada setoran hafalan. Bahkan malamnya, para santri masih ada kegiatan. Kajian menjelang tidur, sepekan sekali.

Ali betah. Bahkan nyaris tak ingin pulang.

Sejak kecil, ia memang ingin sekali merasakan hidup di pesantren. Menuruti apa kata Abah. Baginya, pesantren adalah hidupnya.

Sedang asyik mengantri setor hapalan, tiba-tiba saja lengannya ada yang njawil. Ali terperanjat. Kepala yang nyaris tenggelam membaca berulang-ulang ayat al-qur'an yang akan disetorkannya itu terangkat.

"Ikut ana, Li."

Ali mengernyitkan kening. Tumben-tumbenan Ustadz Agam--putra sulung Abuya Ghufron Abdullah memanggilnya menyuruh untuk ikut dengannya. Padahal biasanya jika santri sedang ada setoran hafalan, tak pernah satu kalipun diinterupsi. Bahkan ketika santri melakukan kesalahan dan harus dihukum segera.

Ustadz Agam ini memang yang mengurusi perihal pelanggaran dan perijinan santri. Bisa dipastikan, berurusan dengan Ustadz Agam hanya ada dua kemungkinan. Kalau tidak karena pelanggaran aturan pesantren, ya karena ingin ijin pulang.

Ini aneh. Ali bahkan tidak pernah melakukan kesalahan fatal apapun. Sepengetahuannya, ia bersikap biasa. Bangun untuk tahajud, bahkan sebelum santri lain bangun. Lalu melanjutkan dzikir dan muroja'ah. Ali juga ikut sholat subuh dan kajian pagi. Setelah itu ia mandi dan tidak sarapan sebelum masuk kelas. Puasa sunnah. Sedang belajar istiqomah puasa senin-kamis, katanya.

Sudah tiga tahun pun, Ali tinggal di pesantren dan tidak pulang. Bahkan saat liburan panjang. Sudah pamit dan dapat ijin Umi di kampung. Tetapi kenapa Ustadz Agam memanggilnya?

Dengan kepala yang dipenuhi banyak pertanyaan Ali mengikuti Ustadz Agam. Pamit dengan Ustadz Fahri yang hari itu bertugas mengoreksi hapalan santri.

▫️▫️▫️


"Hari ini antum harus pulang, Li."

"Afwan, maksudnya, Ustadz?"

"Koper dan barang-barang yang antum perlukan sudah dibantu packing oleh santri lain. Antum tinggal berangkat saja. Satu jam lagi akan ada bus yang menjemputmu. Tidak perlu khawatir tentang transportasi. Semua biayanya sudah ditanggung pesantren. Insya Allah."

Mata Ali berkaca-kaca. Badannya nyaris bergetar. Ia takut kalau melakukan kesalahan fatal yang sama sekali tak disadarinya. Ustadz Agam memang terkenal suka memulangkan santri yang melanggar peranturan pesantren jika sudah tidak bisa ditolerir. Secara tiba-tiba, tanpa pemberitahuaan sebelumnya.

Apa salahku?

Seperti membaca ekspresi Ali, Ustadz Agam tersenyum, "Tenang, Li. Antum tidak melakukan kesalahan apapun. Hanya saja saat ini Umi-mu jauh lebih membutuhkan kehadiran antum daripada pesantren."

Umi? Ada apa dengan Umi?

"Pulanglah segera! Umimu sakit. Ia butuh kehadiranmu di sampingnya."

Tubuh Ali bergetar. Air matanya langsung jatuh. Tidak ada kabar yang paling membuatnya sedih kecuali jika datangnya dari orangtuanya sendiri.

▫️▫️▫️


DEPOK.

KEBIASAAN Abidzar yang paling buruk adalah ia susah bangun pagi. Sebab malamnya tidak bisa tidur. Insomnia, katanya. Padahal, hal itu terjadi karena kelakuannya sendiri. Maraton mengerjakan tugas kuliah di saat mepet deadline, main game, atau nongkrong bareng teman satu kosannya di pos ronda.

Lalu, ia akan tidur pukul setengah empat. Bangun jam 11 siang. Kalau ada jam kuliah pagi, ia terpaksa tidak tidur. Sebab kalau sudah tidur akan sangat sulit membangunkannya. Makanya, ia seringkali absen sholat subuh.

Kata Fatimah, gadis berkerudung dan berlesung pipi yang ditaksirnya, "Bagaimana mau membangun keluarga. Bangun untuk sholat subuh saja tidak bisa."

Persis seperti quotes film pendek di youtube.

Di antara kedua saudaranya, Abidzar bisa dibilang paling kacau. Paling susah diatur. Sejak kecil, ia sering membuat anak-anak tetangganya menangis. Jahil. Suka mencubit, menjambak, bahkan memukul kepala dengan sengaja. Tiap kali ditanya kenapa melakukan hal itu, Abidzar selalu menjawab bahwa hal itu adalah caranya menganggap temannya sebagai sahabat dekat. Salam sayang, katanya. 

Sampai usianya menginjak SMA pun Abidzar selalu mencari gara-gara. Bukan. Bukan jenis kenakalan remaja pada umumnya. Abidzar tak pernah pacaran. Menyapa teman gadis saja ia tak berani. Pun merokok dan memakai narkoba. Aih. Abidzar dididik oleh Abah dan Umi dengan baik untuk bisa membedakan mana hal yang baik dan buruk.

Abidzar membuat keributan di kampung. Di usia remajanya itu, ia suka sekali mengganggu tetangganya yang sedang main adu ayam.

Di kampungnya dulu memang banyak tetangganya yang masih suka main adu ayam. Katanya, sebagai hiburan sekaligus supaya bisa punya penghasilan tambahan. Tetapi Abdizar yang anak seorang marbot masjid dididik tidak membenarkan kelakuan tetangganya.

"Judi itu haram hukumnya," teriaknya.

Maka sebagai bentuk perlawanannya, Abidzar melancarkan ide tidak wajar. Tiap kali ada tetangga yang sedang main adu ayam, Abidzar akan muncul dengan sarung di tangannya. Tanpa aba-aba, tiba-tiba. Abidzar akan dengan segera membubarkan kerumunan warga dengan menangkap satu persatu ayam yang diadu menggunakan sarungnya. Sontak saja, seluruh kampung heboh. Meski ada yang tertawa. Sebab lucunya, Abidzar yang sibuk mengejar ayam. Sang pemilik ayam justru sibuk mengejar Abidzar. Jadilah, warga ramai menonton tingkah konyol Abidzar, ayam dan si pemilik ayam.

Karena tingkahnya itulah banyak warga yang geram dan ingin mengusirnya dari kampung. Meski cukup banyak juga yang mendukung sikap berani Abidzar. Keren banget, kata mereka.

Warga kampung terpecah menjadi dua. Antara pembenci Abidzar dan pendukungnya. Tentu yang kena dampak adalah keluarganya. Maka, akhirnya Abidzar dikirim kuliah keluar kota. Depok. Jauh dari kampung. Padahal si bungsu ini tidak pernah bisa jauh dari Uminya. Bisa dibilang ia sangat bergantung pada Umi.

"Tidak apa, Nak. Merantaulah. Insya Allah, kamu akan punya banyak pengalaman dan ilmu. Ingat, yang penting tetap sholat dan mengaji." Petuah Umi diingatnya baik-baik. Kecuali sholat subuh. Ia tidak bisa janji.

Tapi bagaimanapun, Abidzar punya kelebihan. Ia jago utak-atik komputer. Secara otodidak, belajar-belajar sendiri sejak SMP. Padahal jurusan kuliahnya Matematika.

Dua hari lalu, tiba-tiba saja ia dapat telepon darurat. Nyaris tengah malam.

Ketika itu, Abidzar sedang tidur. Ah, lebih tepatnya tertidur. Selesai main catur bersama satpam komplek kosannya. Sudah tiga hari ia insomnia. Maka begitu punya kesempatan rebahan, mata Abidzar langsung terpejam.

"Halo?"

"Bi...." Suara di seberang telepon serak. Sesenggukan. "Pulang, Bi. Segera! Umi sakit," sambungnya.

Abidzar butuh waktu untuk memproses seluruh informasi yang didapatnya. Hanya satu kata yang dia ingat, si penelpon menyebut kata Umi.

"Hah?"

"Umi sakit. Tolong pulang segera!"

Maka, segeralah Abidzar bangun dari posisi telentangnya. Bukan hanya terkejut, tapi matanya tiba-tiba saja berkaca-kaca.

▫️▫️▫️




Diupload tanggal: 3 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro