No. 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Written on Oktober 16th, 2018 |

...



Dua anak Adam itu duduk bersimpuh di hadapan seorang wanita. Wanita berbalut serba hitam yang kini tak memakai penutup wajah dan kaca mata hitamnya lagi tersebut, melayangkan tatapan menyelidiki. Hingga tak satupun dari dua pria itu berani mengangkat wajah.

Taman belakang Camel Cafe tampak sepi. Kanjeng Ratu yang kini tengah duduk bersila di atas satu bangku panjang, baru saja siuman. Berkat ulah Geo dan Alan, wanita itu jelas jatuh pingsan beberapa saat yang lalu. Bagaimana tidak, jika dua pemuda di depannya kepergok tengah berdua di dalam satu toilet. Baiklah, keberadaan mereka yang sudah pasti bakal dicurigai, masih bisa dimaklumi. Namun tidak, saat posisi jatuh yang tak diharapkan tersebut, dilihat oleh si kanjeng ratu. Tamat riwayat!

"Jadi," Kanjeng Ratu mulai bersuara,  "apa lagi yang coba kalian sembunyikan dari ibu?"

Sejujurnya, Alan paham kemana arah maksud pertanyaan yang dilontarkan oleh ibunya. Tapi apa daya dia yang paham tabiat sang kanjeng ratu, cuma bisa diam dan menunduk. Bagaimanapun, haram hukumnya menyela omelan wanita tersebut sebelum ada lampu hijau dari yang bersangkutan. Namun berbeda dengan Alan, Geo yang cuma setahun sekali bertemu dengan sosok itu, malah menjawab tanpa tahu maksud sebenarnya. "Sembunyikan apa ya, jeng?"

Mata kanjeng ratu membulat, "Jeng, jeng! Kamu pikir situ teman arisan ibu?!"

"Kan, kanjeng ratu. Masa ane panggil Tu, Tu."

"Bocah edan! Lagian gak usah belagak bodoh kalian. Sudah sebulanan ini ibu ikuti tuh bocah tengil, dan selalu ada kamu. Gak di cafe, di rumah makan Padang, di bioskop, dan ini di toilet. Toilet, loh."

Geo yang tadinya bingung justru terkikik geli di sebelah Alan. "Wah! Ente dibekali alat pelacak sama si kanjeng? Bisa gitu, ya, tahu kita lagi kemaja aja."

"Jawab! Ngapain kalian nonton di bioskop bareng? Duduk bersisian, gelap-gelapan, ketawa-ketiwi nggak jelas." Kanjeng ratu memijit pelipisnya frustasi. "Ibu mau dengar kejelasannya, Lan!"

"Bu, kemaren kami dapat tiket nonton dari pak bos. Dia batal kencan sama pacarnya. Makanya kami jadi kebagian tiket nontonnya. Sayang, kan, kalau dibuang."

Kanjeng ratu tak bergeming sedikitpun. Matanya masih setia memicing sekalipun Alan coba menerangkannya sejelas mungkin. "Terus ngapain duduk dempet?"

Geo yang mendengar jenis tanya itu tergelak tak habis pikir. "Mustahil pak bos ikhlas duduk bersebrangan sama pacarnya di dalam bioskop, jeng. Ntar kalau mau ngobrol kan susah. Iya nggak, Lan?"

Yang ditanya tak menjawab. Justru pelototan mata Alan makin menegas ke arahnya. "Diam, lo!"

"Bu, kan tiket itu bukan kami yang---"

Tangan kanjeng ratu melambai tegas di depan wajahnya. "Stop! Ibu paham. Tapi yang buat ibu sangsi," Ia menghembuskan nafas panjang sebelum lanjut bersuara, "Ngapain kalian di toilet berdua, heh?!"

Tak ada suara, Geo yang tadinya gagal paham akhirnya menatap Alan minta kejelasan.  "Kenapa jadi lo yang liatin gue? Gih jelasin tuh alasan lo nyeret gue ke toilet tadi?"

Baiklah. Geo sudah jadi sasaran buat semua mata melihatnya kesal. Salahkan dia yang punya ketakutan tak berkelas. Geo yang dasarnya bertubuh tinggi besar itu bakal bernyali ciut saat berhadapan dengan mahluk tak kasat mata. Imajinasinya yang terlalu kreatif kadang suka sulit membedakan mana nyata dan mana hantu sesungguhnya. "Ente lupa kita kan abis nonton pengabdi setan, Lan."

Alan mengerjapkan mata, "Terus? Lo takut?!"

"Ya, enggaklah! Cuma ngebayangin aja kalau lagi sendiri, tuh pengabdi setan bakalan muncul."

"Astaga, nta. Lo masih takut hantu?!"

"Gimana nggak takut. Sudah hampir sebulanan nih. Kita diikuti sama jelmaan pengabdi setan." Mata Geo melirik takut-takut ke arah kanjeng Ratu. "Ngapain ibu ente pakai pakaian serba hitam gitu? Nyeremin. Sumpah!"

Kanjeng ratu yang menjadi pusat perhatian, bergerak kikuk. Dia tak mau lagi menatap tajam ke arah dua pria di depan matanya. Dia tahu, kelakuannya itu bakal tercium pada akhirnya. Ya, salahkan kanjeng ratu yang suka nonton film mata-mata yang justru malah dijauhi oleh semua anggota keluarganya. Mulai dari yang Salt, sampai si Charli's Angel itu, sudah dilahap habis sama si ratunya mata-mata. Jadi jangan heran kalau dia punya kepercayaan diri kelewat-lewat kalau diminta jadi mata-mata buat sang anak. Siapa lagi kalau bukan Alan.

Sayangnya, pilihan pakaian memang kerap kali menunjukan usia. Gamis hitam panjang, geraian rambut yang ia pikir mirip dengan salah satu pemeran di Charli's Angel, angel tuh, sampai kaca mata hitam, dan masker hitam, sudah ia siapkan jauh-jauh hari untuk melancarkan aksinya. Yang penting hitam, pikir kanjeng ratu. Peduli amat, mau dikata mirip hantu, mirip mbah dukun, yang jelas kanjeng ratu menganggap dirinya adalah duplikatnya Lucy Liu.

Beralih ke Geo, manusia arab yang punya gangguan sama imajinasinya terkait alam ghaib. Berpikir tampilan kanjeng ratu bak titisan pemerannya si Pengabdi Setan, Geo jadi parno sendiri. Kemana-mana pengennya ditemani. Apalagi sosok si kanjeng ratu, selalu muncul dimanapun mereka ada.

Alan sih tahu, cuma pura-pura tidak mau tahu. Itu adalah satu bentuk apresiasinya buat kanjeng ratunya. Memberi kebebasan berekspresi buatnya menunjukkan bakat terpendam dia jadi mata-mata.

"Jadi yang lo takuti selama ini, ya, kanjeng ratu?" Alan kembali buka suara. Ia terkekeh pelan saat dua iris matanya menatap Geo geli. "Gue sih sudah sadar kita dibuntuti sama ibu selama hampir sebulanan nih."

Pria arab itu cukup terkejut. "Terus, ente kok gak kasih tahu ane sih, Lan? Katanya kita sohib, lo main rahasian gitu ke ane."

"Yang lagi dipantaukan gue. Lah lu?!"

"Kalau ane tahu jelmaan pengabdi setan tuh umi ente, ane gak bakal ciut tiap kali lihat wujudnya nongol." Geo melarikan lirikkan matanya ke yang dimaksud.

Kanjeng ratu  melotot tak terima. Demi apa dia disandingkan dengan si pengabdi setan. Wanita itu jelas merasa bahwa dirinya adalah kloningan salah satu pemeran di the Charlie's Angle. Kurang apa lagi?! Penampilannya sudah sangat menunjang. Ya, walaupun kata Alan, Ibunya sudah pasti salah kostum. Well, faktor usia mungkin.

Suasana kembali hening. Hingga suara kanjeng ratu balik bersuara, "Kalian gak lagi paca---", Mama Lia Karni Vora itu menganggaruk tengkuknya kikuk. Perasaan was-was, bingung, sudah layaknya bercampur aduk. Tak tega rasanya melontarkan satu kata sakral itu ke anak sendiri. Akhirnya dia memilih kembali menatap wajah satunya lagi. "Yo, ibu mau tahu, pacarmu lagi dimana sekarang?"

"PACAR?!" Pekik Geo tak lupa dengan ekpresi terkejut yang berlebihan. Sejurus kemudian, pria itu mengelus dada sembari beristigfar berulang-ulang. "Lama sudah ane mau punya pacar, jeng ratu. Godaannya, masyaallah! Ane takut dosa. Pacaran itu hukumnya dosa. Mendekati lawan jenis bukan perkara mudah. Sulit! Harus kuat iman."

Mata kanjeng ratu makin memicing tak suka, "Lah, lantas kamu belok macari sesama jenis?!"

"Allahu Akbar!" Tak tanggung-tanggung Geo menyebut lantang dengan wajah terperangah. "Ane normal, jeng. Sumpah demi Tuhan yang maha esa. Ane normal."

"Tapi, menurut kesaksian mata ibu. Jelas kalian coba menyembunyikan sesuatu, iya, kan?"

"Haduh, kanjeng ratu salah pahamnya jauh amat." Geo tahu Alan mengulum tawa di sebelahnya. Tapi, biarlah. Justru membuat Kanjeng ratu makin salah paham adalah bencana besar buat dirinya. "Ane gak pacaran, jeng ratu. Tapi, ta'aruf. Dan wanita terpilih itu lagi bermukim di luar pulau Jawa. Sengaja ane pilih yang jauh-jauh. Biar jauh juga dari dosa."

Tak tahan, Alan menyemburkan tawa keras-keras. Dia tidak salah dengar, kan? Geo yang katanya takut dosa, memilih jalan ta'aruf daripada pacaran, nyatanya sempat menggoda Melati si gadis dekil seminggu yang lalu. "Bukannya takut dosa, Yo. Lo justru lagi memancing dosa itu namanya."

"Maksud ente?" Tanya Geo.

"Siapa yang coba goda si gadis dekil di rooftop kantor waktu tuh? Lo, bukan sih? Pakai acara manggil aku-kamu pula." Alan mengedip-ngedipkan matanya nakal sembari menangkup pipi Geo dengan dua tangannya. "My kurma girl."

Geo mati kutu. Dia lupa, manisnya si gadis kurma bisa buat lupa diri. Sialan si Alan!, rutuknya dalam hati. Bagaimanapun, rusak sudah citra alim yang coba Geo bangun di depab si kanjeng ratu. Apalagi dilihatnya, kanjeng ratu makin menaikkan dagu sembari menuntut penjelasan. Wassalam! Geo memilih kabur. "Ane ijin menghadap sang Illahi dulu."

"Lo mau mati pakai ijin, Yo?" Sela Alan, masih dengan tawanya.

Sontak Geo menjawab sebelum sosoknya hilang di balik pintu. "Sholat, bahlul. Ente pikir ane siap koid apa."

"Nyantai, man. Hampir gue chat grup kantor ngajak yasinan bentar malam."

Alan maaih terbahak padahal Geo sudah tak di sana lagi. Tawa Alan reflek bungkam saat matanya menemui sorot tajam si kanjeng ratu. Baiklah, Geo selamat memilih kabur. Sekarang tinggal Alan sendiri. Sedang ibunya masih tampak jika ia masih belum memahami situasi sepenuhnya.

Dia mengamati wanita itu dengan saksama. Sejak kehadiran Siska kembali di kantor, kanjeng ratu tampak tak seperti biasanya. Dia jarang di rumah dengan alasan yang dibuat-buat. Padahal Alan tahu jika terkadang, hampir seharian ibunya mengikuti dimanapun Alan berada. Kanjeng ratu jadi sering melamun. Dan parahnya, kecurigaan sang ibu ke anaknya sendiri itu sudah seperti kecurigaan pacar ke pasangannya juga.

Alan tahu, ibunya khawatir. Dan akhirnya dia menyerah. "Aku bingung, bu. Mau jelasin gimana lagi. Emang nyatanya Alan masih normal. Dan si onta juga hidupnya lurus-lurus aja." Alan coba buka suara.

"Oke. Mungkin bukan sama Geo. Tapi sama yang lain."

"Astaga, ibu!"

"Wajar, dong, ibu mikir begitu. Emang selama ini kamu punya pacar?"

"Ya, gak gitu juga. Aku masih belum bisa lupain Si--- "

Mendengar nama perempuan yang sempat buat anaknya hilang arah, kanjeng ratu cepat-cepat menyela. "Ibu gak mau tahu, Lan. Besok ibu mau kamu bawa pacar kamu kerumah. Dan kita makan malam sama-sama."

"APA?!"

"Berani bentak ibu kamu? Gak usah teriak kayak gitu, lah. Mau ibu sumpahin jadi emas batangan? Lebih guna dari pada batu, bisanya cuma buat ganjal ban mobilnya si Brama di garasi." Kanjeng ratu berdiri anggun, berbalik badan meninggalkan Alan yang masih syok di tempatnya.

Diam-diam wanita itu tersenyum sumringah. Dia tahu Alan akan mengadu ke mana. Satu-satunya perempuan yang memungkin hanya Melati. Dan di pikiran Kanjeng ratu, Alan pasti dan bisa dipastikan akan menyeret masuk gadis itu ke dalam rumah mereka besok malam.

Misi selesai, batin kanjeng ratu. Dan sosok serba hitam itu berjalan dengan dagu terangkat tinggi.



🌼🌼🌼

-tbc-
c u at 17:21















Wuaahhh. Cerita ini kutulis hampir setengah bulan buahahah. Akhirnya bisa dipublis.

Maaf bagi yang menunggu. Tau lah, ya, diriku sibuk dengan dunia nyata. Dan terima kasih bgt buat yang masih setia dengan bang Alan. Ceritaku gak jadi sesuatu loh tanpa kalian 😘 Eeeaaaa.

Mr Sky nyusul ya. Entah kapan. Yg jelas nasib Langit sama dengan Alan. Aku gantungin sementara. Don't get mad! Plissss.

Oh yap! Btw, bantu aku ya promot ceritaku yang sudah kalian baca, daaann yang menurut lu gengs, pantas buat dipromosikan. Banyak dukungan bisa bangun mood aku buat nulis loh muehehee. Modus bgt ya?! 

Overall, trims.

...

Salam,
NH.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro