Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dokter mengatakan tidak ada yang serius dengan kondisi Keyano, hanya demam biasa. Setelah pemeriksaan selesai, mereka pulang bersamaan. Hazel sudah pergi lebih dulu setelah mengantarkan Diandra. Di dalam mobil, Merry tidak henti-hentinya melirik Diandra dengan sengit. Sayangnya, kemarahannya tidak mendapat respon dari Diandra. Menantunya itu sibuk menggendong Keyano dan tidak memedulikannya.

Tiba di rumah, Diandra bergegas ke kamar untuk membaringkan Keyano dan mengganti pakaian. Sayangnya belum sempat pintu ditutup, Merry menerobos masuk. Mertuanya itu berkacak pinggang di samping ranjang, mengamati kamar yang belum pernah dimasukinya dari semenjak Diandra dan Tommy menikah.

"Bagus juga kamarmu, furniturenya juga bagus dan modern. Anakku memperlakukanmu dengan baik rupanya."

Diandra sibuk mengganti popok Keyano. Berusaha untuk tidak peduli dengan mertuanya yang tidak berhenti mengoceh.

"Aku yakin kamarmu di rumah asalmu pasti tidak sebagus ini. Bukannya kamu dan nenekmu tinggal di rumah yang kecil dan sederhana? Lihat bukan? Kamu menikahi anakku, segala kemewahan dan fasilitas kamu dapatkan. Heran saja, jadi istri tapi nggak bisa nurut sama suami. Sudah tahu anak demam, malah pergi. Pulang-pulang diantar laki-laki. Sungguh tidak pantas!"

Setelah mengganti pakaian dan pokok Keyano, Diandra menimang Keyano yang sedikit rewel sambil memberi minum susu. Sesekali menatap Merry yang masih mengoceh tiada henti.

"Hazel dan Tommy itu berteman baik. Mereka sahabatan, dan mendadak kamu sok akrab, sok asyik begitu. Heh, memangnya nggak ada laki-laki lain yang bisa kamu ganggu selain sahabat suamimu?"

"Ada!" jawab Diandra tegas. "Tolong tanya Tommy, apa dia ngasih ijin aku sama laki-laki lain?"

Merry terhenyak sambil ternganga. Mengedip tidak percaya mendengar perkataan menantunya. "Apa kamu bilang?"

Diandra menyembunyikan senyum di antara lekukan leher Keyano. Dengan lembut meletakkan bayi yang mulai tertidur di dalam box bayi.

"Mama kalau mau marah-marah, sebaiknya di luar saja. Keyano baru saja tidur. Ayo, Ma. Kita keluar!"

Meskipun tidak puas, tapi Merry tidak bisa menolak ajakan Diandra. Keluar dari kamar dan menunggu sampai Diandra mencapai pintu, dengan cepat meraih lengan menantunya dan mengajaknya bicara di lorong tangga.

"Coba jelaskan apa maksud kata-katamu tadi? Kamu bilang punya kekasih?"

"Nggak! Aku nggak ngomong begitu."

"Tadi, soal ijin?"

"Mama bilang aku boleh ganggu lakii-laki lain asal bukan sahabat suamiku. Lalu aku jawab, kalau memang Tommy mengijinkan, aku punya banyak laki-laki yang bisa diganggu. Bagaimana, Ma? Siapa yang harus ngomong sama Tommy masalah ijin ini, aku atau Mama?"

Merry mengepalkan tangan, dan sekuat tenaga menampar Diandra. Suara tamparan yang keras membuat Tommy dan Fakri yang sedang bicara di ruang tengah bergegas datang dan melongok ke tangga. Diandra terhuyung, dengan tangan mengusap pipinya yang berdenyut sakit. Tommy berteriak kaget begitu pula Fakri.

"Mamaa! Apa-apaan ini?" Tommy bergegas menaiki tangga untuk menghampiri Diandra. "Kamu nggak apa-apa, Diandra?"

Menyingkirkan tangan suaminya yang hendak mengusap pipinya, Diandra menegakkan tubuh. Matanya menatap Merry tidak berkedip dengan sejuta kebencian tertanam di dada.

"Ibuku yang melahirkan aku, serta nenek yang membesarkan aku, nggak pernah mukul sama sekali. Punya hak apa Mama memukulku, hah!" tanya Diandra dengan suara tajam. "Merasa hebat karena membiarkan aku menikah dengan Tommy? Merasa hebat karena menantu miskin sepertiku hanya menumpang hidup dengan anakmu? Kalau begitu, kenapa kita nggak akhiri saja semua."

Berdiri dengan tubuh kaku, Merry kehabisan kata-kata. Fakri yang baru saja sampai di ujung tangga, mencoba meredakan situasi. Begitu pula Tommy. Pertengkaran hebat dua perempuan ini sungguh tidak disangkanya. Ia tahu kalau mamanya tidak menyukai Diandra, tapi tidak menyangka akan tega memukul.

"Perempuan murahan!" maki Merry keras.

"Mama! Apa-apaan, sih? Mama sudah gila, ya!" terika Fakri. "Apapun masalahnya, bisa diselesaikan dengan baik-baik. Kenapa harus memukul?"

"Papa jangan ikut campur!" teriak Merry tidak kalah keras pada suaminya. "Aku ingin memberi pelajaran pada perempuan murahan ini, bagaimana harus bersikap sopan pada mertua dan suaminya. Bisa-bisanya dia bicara tentang laki-laki lain dengan begitu mudah, dengan begitu enteng?"

"Diandra, apa maksud Mama?" Tommy bertanya was-was. Ia sempat bingung dan kaget saat melihat Diandra diantar pulang oleh Hazel, sebelum akhirnya sahabatnya itu memberi penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. "benar kamu ngomong gitu?"

Diandra mengangguk. "Benar, kurang lebihnya adalah aku akan mencari laki-laki lain kalau kamu mengijinkan. Rasanya menikah sudah begitu menyesakkan, akan lega rasanya bisa bebas." Untuk kali ini Diandra bicara sambil menghadap Fakri dan bukan Tommy. "Papa, maafkan aku tapi aku nggak sanggup lagi. Aku mencoba tegar dan menerima semua yang terjadi demi Papa yang baik padaku. Demi Nenek dan Kakek, tapi rasanya aku ingin menyerah."

Fakri memejam, mengulurkan tangan untuk mengusap lengan Diandra. "Papa mengerti Diandra. Tapi, tolong pikirkan Keyano."

"Keyano adalah alasan paling kuat aku bertahan di sini, wajahnya yang mungil dan membutuhkan kasih sayang. Padahal dia darah daging dari laki-laki yang sudah menyakitiku. Tapi, Keyano nggak salah Papa. Dia bayi yang nggak punya dosa."

Diandra jatuh di lantai dan mulai terisak. Tidak peduli kalau ada Tommy yang melihat atau pun Merry yang siap menyerang serta menghinanya. Ia tidak bisa lagi menahan rasa marah dan kecewa dalam dadanya.

Tommy memejam sesaat lalu terduduk di samping istrinya yang menangis. "Diandra, maafkan aku. Seribu kali kamu minta, aku akan meminta maaf secara terus menerus sampai kamu membuka pintu maaf."

Merry menatap adegan di depannya dengan bingung. Semenit yang lalu ia tidak bisa menahan emosi, membentak dan bahkan memukul Diandra. Ia tidak menyangka kalau perbuatannya akan berakhir seperti ini. Diandra mendapatkan perhatian lebih dari anak dan suaminya. Bukankah dalam hal ini menantunya itu bersalah? Kenapa justru dibela? Diandra ingin berselingkuh, ingin meninggalkan anak dan cucunya. Seharusnya mendapatkan hukuma dan bukan simpati. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

"Diandra, jangan berpikiran buruk tentang kami. Mama memang suka lepas kendali dan emosi, tapi dia perempuan yang baik. Diandra, aku meminta maaf mewakili mamamu," ucap Fakri.

"Paa, aku merasa sangat-sangat sedih. Aku mencintai suamiku dan juga Keyano dengan setulus hati tapi Mama nggak percaya dan justru menudingku berselingkuh."

"Nggak! Ini hanya salah paham. Aku percaya kalau kamu nggak akan berselingkuh. Jangan kuatir, Diandra. Kejadian ini nggak akan terulang, Mama nggak akan pernah mukul kamu lagi."

Perkataan Fakri diberi anggukan oleh Diandra. Setelah itu Fakri bangkit dan menarik tangan istrinya menuruni tangga. Tidak peduli pada Merry yang menolak, ia memaksa untuk pulang. Diandra masih duduk di tempatnya, menatap diam-diam ke arah tangga. Mengusap pipinya yang sakit, ia merasa apa yang sudah dilakukannya mendapatkan hasil yang setimpal. Mulai sekarang Fakri dan Tommy akan menaruh simpati yang lebih besar padanya. Sebagai menantu yang penurut dan baik hati, istri yang teraniaya dan harus dikasihani. Tidak masalah kalau dirinya terlihat lemah, demi tujuannya tercapai.

Ia bangkit perlahan dari lantai, Tommy bertanya was-was. "Kamu nggak apa-apa? Perlu periksa ke dokter?" Pernyataan Diandra yang berujar kalau mencintainya, membuat hati Tommy mengembang bahagia.

Melambai sesaat Diandra bergegas ke kamar. "Aku mau mandi sebelum Keyano bangun. Tolong, jangan ganggu aku karena setelah mandi ingin tidur sebentar."

Pintu kamar Diandra menutup dengan Tommy berdiri gamang di depannya. Sesaat yang lalu hatinya berdesir karena kata cinta dan kini mengempis karena sikap istrinya. Ia tidak mengerti apa yang terjadi dengan Diandra. Kalau memang mencintainya, harusnya Diandra senang berada dekat dengannya dan bukan malah menjauh seperti sekarang. Lalu apa artinya kata cinta yang baru saja diucapkannya?

Melangkah gontai menuruni tangga, Tommy terduduk di kursi ruang makan. Memikirkan tentang wajah Diandra yang memerah karena pukulan, Emosi sang mama yang tinggi dan meledak-ledak serta sikapnya yang sama sekali tidak akur dengan Diandra.

Tommy tahu kalau kelaurganya, terutama mama dan adik-adiknya tidak pernah menganggap Diadra karena istrinya dari keluarga miskin. Berbeda dengan Reena yang memang lahir dari keluarga kaya raya dan berpengaruh. Sampai sekarang mama dan dua adiknya masih menginginkannya kembali pada Reena.

"Bagaimana kalau suatu saat Reena kembali, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Hazel suatu hari, saat ia selesai bercerita tentang masalahnya.

Sebuah pertanyaan yang kala itu dijawab dengan mudah. Tentu saja, ia akan memilih Reena karena bagaimana pun, perempuan itu ibu kandungnya Keyano. Namun, setelah beberapa bulan berlalu, Tommy menjadi tidak yakin dengan jawabannya saat itu.

"Diandra, kalau seandainya kamu memberiku kesempatan untuk menjadi suami yang baik, dengan senang hati aku akan mengambil kesempatan itu."

Sayangnya itu hanya angan-angan Tommy belaka karena setelah Keyano tinggal di rumah ini, Diandra menghukum mati perasaannya sendiri hingga ke akar-akarnya dan tidak akan pernah membiarkannya tumbuh apalagi menjalar dengan subur.

**

Baru pertama kali Merry melihat suaminya marah serta mengamuk. Semua gara-gara Diandra. Suaminya tidak berhenti mengomel, menceramahinya tentang cara bersikap sebagai mertua yang baik dan juga mama yang bijaksana.

"Diandra itu menikah dengan anak kita. Sudah bagus dia mau merawat anak Tommy. Ada apa sama kamu ini, Maa? Menantu seperti apa yang kamu harapkan kalau Diandra tidak membuatmu senang?"

"Paa, kamu nggak dengar omongannya, sih? Sudah ngelunjak, kurang ajar lagi!"

"Kurang ajar lalu kamu memukulnya? Bagaimana kalau rumah itu ada CCTV dan Diandra menuntutmu dengan tindakan kekerasan? Kamu mau bayar? Kenapa makin tua kami makin sembrono. Ya ampuun, Maa. Kalau dulu bukan karena pertolongan suaminya Ibu Kamirah, nggak akan keluargaku seperti ini. Aku hanya ingin menjadikan Diandra sebagai menantuku, kenapa kamu menjadikannya musuh!"

Yang terbaik dari kemarahan suaminya adalah dilakukan saat Lestari dan suaminya sedang tidak ada. Entah apa yang akan terjadi kalau pertengkaran mereka didengar para orang tua, sudah pasti Merry akan mendapatkan kemarahan yang lebih parah lagi.

"Paa, kamu salah paham. Aku hanya membela anak kita!"

"Anak kita yang jelas-jelas sudah berbuat salah. Mau sampai kapan kamu tutup mata, Maa? Kali ini papa benar-benar kecewa padamu!"

Fakri pergi setelah melontarkan kemarahan, meninggalkan Merry dalam kegeraman. Ia tidak masalah kalau suaminya mengamuk, tapi tidak kalau menyangkut tentang Diandra. Bagaimana bisa suaminya lebih membela perempuan miskin itu dari pada dirinya? Mereka suami istri dan Fakri lebih mementingkan orang lain dari pada pasangan dan anaknya sendiri.

Tommy memang salah, tapi sudah meminta maaf. Tommy bahkan rela membayar Diandra agar mau merawat anaknya. Tommy sudah berbuat sejauh itu dan masih dianggap kurang? Tentu saja Merry tidak terima. Setelah suaminya pergi, Merry memanggil dua anak gadisnya. Mereka bercakap-cakap sambil memaki-maki Diandra.

"Bisa-bisanya perempuan itu bicara sembarangan. Melawan Mama lagi. Nggak bisa dibiarkan!" teriak Tantri emosi. "Kalau dekat, aku yang akan pukul dia!"

Tania bersedekap, menahan amarah di dada. "Dia berani pergi dengan Kak Hazel, padahal sudah punya suami. Aku yakin dia yang merayu dan merengek pada Kak Hazel. Karena istri dari teman baik makanya diantar pulang. Sialaan!"

Tentu saja Tania tidak dapat menahan rasa cemburunya. Ia mengenal Hazel jauh sebelumnya, jatuh cinta dari bertahun-tahun lalu tapi Diandra yang notabene orang baru malah berhasil mendapatkan perhatian lebih banyak. Hanya karena berstatus istri dari sahabat. Tania yakin seyakin yakinnya kalau Diandra yang merengek dan minta diantar pulang.

"Jangan emosi, kita harus tetap tenang." Merry berdecak, menatap kedua anaknya bergantian. "Papa dan Kakak kalian sepertinya sudah kena tipu daya perempuan itu, tapi kita tidak boleh lengah."

"Harus kita apakah dia, Maa? Rasanya pingin sekali aku lihat dia cerai sama Kak Tommy," sela Tantri. "Keyano kita bisa panggil babysitter! Gampang bukan?"

Merry menatap Tantri dan berseru ceria. "Ide bagus. Kita panggil babystitter, biar perempuan itu tahu rasa dan tahu diri. Kalau dia tidak sepenting itu!"

Mereka bertiga berunding, merencanakan hal paling jahat untuk menghukum Diandra. Tidak peduli pada fakta kalau Diandra adalah istri Tommy. Kebencian yang menyelimuti mereka, membutakan mata dan hati.
.
.

.
Di Karyakarsa tersedia bab 37-40.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro