Keping 3: I Will Remember You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"First love is a kind of vaccination that immunizes a man from catching the disease a second time."
—Honoré de Balzac

Tiga tahun. Tiga tahun pernikahannya telah berjalan. Tidak ada yang istimewa. Semuanya biasa-biasa saja, kalau tidak bisa dibilang sedikit membosankan. Mereka tidak banyak menghabiskan waktu bersama, sebagian besar karena Jagad. Atau semuanya. Wanita itu tidak pernah sibuk, atau begitulah setahu Jagad. Ia adalah wanita rumahan, mengurus rumah tangga. Ia akan berada di dapur memasak makan malam atau di taman menyiram tanaman ketika Jagad pulang. Atau jika ia pulang terlambat wanita itu akan meringkuk di sofa di depan televisi kemudian menyapanya dengan wajah mengantuk.

Ia selalu menawarkan kopi di tiap kesempatan.

Pagi-pagi, ia selalu bangun lebih awal. Selalu. Jagad akan selalu terbangun dengan air panas untuk mandi, sarapan, kopi, dan setelan kerja lengkap yang telah disetrika rapi.

Dia wanita yang baik. Terlalu baik hingga rutinitas ini membosankan. Bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan. Setidaknya, bukan dengan wanita yang tidak ia pilih.

Jagad menatap kotak tupperware di hadapannya. Lebih sering daripada tidak, wanita itu menyempatkan diri untuk membekalinya dengan kue-kue yang ia panggang; kue kacang, nastar, rangi, kastengel─terutama kastengel, mengingat Jagad yang pernah menghabiskan setoples penuh ketika menonton bola. Atau kadang ia juga mengirim makanan rumah yang ia masak. Dan lebih sering daripada tidak, ia akan pulang dengan kotak yang kosong dan berpura-pura telah memakannya.

Pintu diketuk, dan ketika Jagad menoleh, wajah asistennya mengintip di balik pintu. Jagad mengangguk sekali untuk mempersilakannya masuk dan wanita berambut pendek di bawah telinga itu tidak membuang waktu untuk berjalan ke arah bosnya, hanya berhenti setengah meter dari meja kerja Jagad.

"Bapak memanggil saya?"

"Hm," Jagad mendorong pelan kotak tupperware. "Saya dengar kamu baru tunangan sama manager bagian audio ya?" Ada nada menggoda yang dipaksakan di suaranya. Dipaksakan, karena setahu semua karyawan, Jagad itu begitu serius, lebih kaku dari patung selamat datang. Seluruh karyawan bahkan beranggapan menyaksikan Jagad tertawa adalah satu dari tujuh keajaiban dunia. "Selamat, Sof! Kamu bisa kasih ini sama dia. Untuk kalian berdua."

Wanita itu ragu sesaat ketika mengambilnya dari atas meja. "Ini... bukannya dari istri Bapak?"

"Ya. Dia bikin untuk kalian."

Bohong. Dan asistennya pasti tahu, jika senyum canggungnya bisa menjadi indikator. "Sampaikan terimakasih saya untuk istri Bapak, kalau begitu."

Ini bukan pertama kalinya. Tentu dia tahu. Jagad terbiasa memberikan makanan-makanan itu pada siapapun yang dapat ditemukannya. Dan sepertinya, pria itu juga menyadarinya, menilik cara dia mengalihkan topik di detik berikutnya.

"Omong-omong, apa Pak Alex sudah ngasih daftar fix juri The Star?"

"Belum, Pak." Tentu saja belum, deadlinenya masih beberapa hari lagi. Dan hal ini baru dibicarakan kemarin. "Apa mau saya tanyakan?"

Jagad mengibaskan satu tangannya di udara "Nggak perlu. Saya cek sendiri."

Ia kemudian berdiri, mendahului Sofi menuju pintu. Ruang kerjanya terasa pengap, tiba-tiba saja. Ia butuh udara segar.

Studio 4 yang akan menjadi panggung dilangsungkannya The Star season 2, sebuah kontes menyanyi berskala nasional yang digadang-gadang merupakan ajang paling bergengsi tahun ini, terletak di lantai 2 gedung LTV. Jagad menuruni lantai demi lantai untuk mengunjunginya, sekedar mengecek ulang keadaan panggung yang tempo hari dekorasinya belum usai.

Jika biasanya panggung identik dengan lampu-lampu yang terang, yang berlarian kesana kemari, atau dengan tepuk tangan riuh dan bising hiburan yang tidak ada habisnya, maka panggung yang menyambutnya sekarang sepi, gelap. Hanya ada beberapa orang di sana. Pekerja audio, penata lampu, beberapa pegawai yang berseliweran, dan seseorang di atas panggung. Seorang wanita. Entah siapa. Rambutnya panjang, cokelat yang jatuh hingga punggung. Tangannya memegangi mikrofon. Jagad tidak melihat wajahnya, tidak mengenalinya. Dan tidak berniat untuk melakukan itu. Jarak yang memisahkan mereka terlalu jauh untuk dapat melihat apapun dengan jelas, yang pasti, dia bukan Alex. Tidak ada siapapun di antara orang-orang ini yang merupakan pria yang ia cari.

Jagad memutuskan untuk kembali. Tidak ada gunanya di sini. Ia berputar di atas tumitnya dengan fokus pikiran pada pekerjaan, rencana-rencana, pertemuan-pertemuan. Sampai suara itu menghentikan segala aliran pikiran di otaknya.

I will remember you

Will you remember me?

Seketika Jagad berbalik. Mengenali dengan pasti pemilik suara lembut itu. Seseorang yang ia kira tidak akan pernah ia temui lagi. Nyatanya ia salah. Nyatanya orang itu berdiri di depannya sekarang.

Don't let your life pass you by

Weep not for the memories

Lagu dari Sarah McLachlan itu ia lantunkan dengan jernih, dengan lembut, dengan ... sempurna. Jagad berjalan mendekat seperti ditarik oleh gravitasi. Hingga ia melihatnya dengan lebih pasti. Siapa, orang yang berdiri seperti seorang ratu di atas panggung sana.

Lalu, wanita itu menemukan tatapannya. Mata mereka terkunci satu sama lain.

Remember the good times that we had?

I let them slip away from us when things got bad

Seketika kenangan yang terkubur di bawah tumpukan berdebu hatinya menyergap, menyerbunya seperti sekawanan lebah. Sulit terhindarkan.

Pernah ada seseorang dalam hidup Jagad. Seorang gadis. Rambutnya ikal, lembut, jatuh ke punggung. Tawanya jarang, namun ketika itu terjadi, dunia menjadi tempat yang jauh lebih baik. Namun, bukan itu bagian paling memesona dalam dirinya, bagian yang mampu membungkam siapa saja.

Suaranya.

"Jagad!" Suara sengau khas remaja laki-laki yang baru mengalami pubertas menyapanya. Rayhan, sepupu sekaligus sahabatnya, setidaknya selama mereka berada di bangku SMP.

"Lagi ngapain?" Anak itu mengikuti arah pandang Jagad, melewati ribuan kepala, pada panggung sederhana yang dibangun dalam dua hari untuk acara pentas sekolah.

Ada seorang anak perempuan di sana, menyanyikan lagu Selepas Kau Pergi dari Laluna yang kala itu tengah hits. Dan meskipun ada banyak hal berseliweran di sekitar yang bisa ia perhatikan, gadis itu telah menyedot semua perhatian Jagad.

"Lo naksir?" Rayhan menyenggolnya. Senyum menggoda terpampang di wajah cowok itu.

"Nggak, suaranya bagus."

"Dia anak pindahan. Namanya Vianca. Mau gue kenalin?"

Semuanya bermula dari titik itu. Dia pernah menjadi matahari untuk Jagad, pernah menjadi payung saat hujan, pernah menjadi sumber tawa, air mata. Dia adalah yang pertama dan satu-satunya.

Dia ... Vianca.

***

Ia mengenal Vianca lebih dari separuh hidupnya. Mereka bersekolah di SMP yang sama, SMA yang sama, lalu mulai berkencan ketika menduduki tahun kedua berkuliah di Universitas yang sama. Tidak ada pernyataan resmi semacam "Ayo pacaran!". Tidak. Tidak sama sekali. Mereka hanya... menjalaninya. Makan bersama, pergi bersama, melakukan hampir segalanya bersama-sama, seperti rutinitas. Meski kadang, wanita itu juga pergi dengan pria lain.

Ia benci terkekang, itu yang Jagad tahu. Ia mengerti, atau setidaknya ia berusaha seperti itu. Karena ia mencintai Vianca, wanita itu. Dengan impian besarnya sejak sekolah menengah untuk menjadi penyanyi besar yang dikenal dunia. Ia tidak ingin menyia-nyiakan bakatnya. Dan Jagad, tidak bisa untuk tidak lebih mendukung dan mengaguminya.

Kecuali hari itu.

Vianca adalah cinta pertamanya. Segalanya baginya. Jadi ketika tawaran (yang lebih seperti perintah bagi Jagad) dari ayahnya untuk menikah dengan wanita lain datang, wanita tinggi ramping itu adalah orang pertama yang ia datangi.

"Marry me," ujarnya tiba-tiba, mengangkat wajahnya demi menatap Vianca yang nyaris tersedak saat sedang menyeruput Fettucini-nya.

"Kamu panas?" tanya wanita itu setelah berhasil menelan setengah gelas air putih dan meredakan tenggorokannya yang sempat terasa terbakar.

Jagad menceritakan segalanya. Tentang rekan bisnis ayahnya, tentang kondisi keluarganya, tentang tawaran pernikahan, tentang bagaimana ia tidak akan menikah dengan wanita asing, dengan wanita lain selain Vianca.

Vianca hanya mengangguk. Ada jeda panjang yang hanya diisi oleh sayup-sayup gemerincing sendok dan piring di meja yang jauh dan deru kendaraan di luar kafe. Fettucini dan Cheesy beef steak terlupakan. Lalu Vianca menjatuhkan bom-nya. Ia menunjukkan kembali undangan sebuah acara fashion show di Paris dengan namanya tertulis indah di situ.

"Well, aku baru akan mulai berkarir, Jagad. Sebentar lagi..."

"Kita bisa nikah dan kamu tetap melanjutkan karirmu, kan?" Jagad memotong, sudah menduga dari awal apa yang akan wanita itu katakan. "Aku bakal tetap dukung kamu, Vian. Hell, aku selalu dukung kamu. Jadi, ayo menikah."

Wanita itu menggeleng.

"Aku nggak bisa melakukan dua hal sekaligus. Dan nggak mungkin melewatkan kesempatan ini dan menghancurkan impianku sendiri. Kamu tahu Jagad, gimana aku mulai semuanya, merangkak dari bawah, dari ikut kontes abal-abal waktu SMP dan kabur-kaburan karena si huge-ass bitch nggak setuju." Vian sedang membicarakan mamanya, orangtuanya yang selalu mengekangnya, namun tidak pernah memberikannya perhatian, atau apa yang sebenarnya ia butuhkan ketimbang materi. "Kamu tahu seberapa besar aku menginginkan ini. Aku nggak akan lepasin demi apapun. Nggak bahkan buat kamu."

Tidak ada lagi pembicaraan yang ditukar. Wanita itu bangkit, Jagad menahannya, tidak cukup erat, hanya agar wanita itu dapat memutuskan. Namun, tidak ada yang mempersiapkannya atas keputusan yang wanita itu buat.

"Aku akan pergi ke Prancis minggu depan," bisik wanita itu tanpa menoleh. "Congratulation in advance, for your marriage."

Tidak ada yang mempersiapkan kejatuhannya saat wanita itu memilih melepaskan tangannya dan pergi tanpa menoleh lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro