Keping 6. Beginning

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"A rose started off a bud, a bird started off an egg, and a forest started off a seed."
― Matshona Dhliwayo

Makan malam berlangsung seperti malam-malam biasanya ketika Jagad pulang tepat waktu tanpa memutuskan harus lembur. Sepi. Yang sedikit berbeda adalah, Jagad akan duduk di sofa di samping wanita itu, dan ikut menonton. Kali ini wanita itu sedang memindah-mindah saluran TV ketika Jagad mendudukkan diri di sampingnya.

Kamu mau menonton sesuatu? Wanita itu bertanya, mendadak tercekat menyadari jarak minimal di antara mereka sekarang.

Jagad mengedikkan bahu. "Saluran berita, kalau ada."

Namun, mereka berakhir menonton siaran langsung balap MotoGP yang biasanya akan membangkitkan suasana hati Jagad. Ia menyukai siaran olahraga. Hanya saja, kali ini tidak begitu berhasil. Tidak ada komunikasi, lagi. Mereka hanya diam menonton, seolah-olah memperhatikan pantat Marc Marquez dan Pedrosa di antara dengung mesin kendaraan adalah hal paling menarik sedunia. Ayla menarik kakinya naik untuk ia peluk dan menggigit bibir. Betapa pertanyaan ringan seperti 'bagaimana harimu?' tergantung di ujung lidahnya, atau dalam kasus Ayla, di ujung jemari tangannya. Betapa ia ingin berbagi dengan pria itu. Ingin menjadi pasangan yang normal.

Namun, menatap Jagad, napasnya menjadi tidak beraturan. Ia gugup setengah mati.

Jagad-lah yang pada akhirnya membuka percakapan.

"Besok malam, Bude Nani mengundang makan malam," ujarnya, setelah memastikan kali ini Ayla menatap ke arahnya dan dapat membaca gerak bibirnya. Kadang ia juga mencoba mempraktikkan bahasa tangan yang ia tahu, namun itu terlihat terlalu aneh dan kaku, dan Jagad nyaris mati karena merasa malu.

Ia menatap wanita itu, memperhatikan bagaimana bahunya menegang dan ia terlihat lebih kecil dari sebenarnya. Ia mengerti. Bude Nani tidak pernah menyukainya.

"Akan kuusahakan menghindar sebisanya," ujarnya, membatalkan pertanyaan untuk wanita itu apakah ia ingin ikut atau tidak.

Cepat-cepat, Ayla melambaikan tangan dan menggeleng. Kamu harus tetap ikut, ujarnya. Jagad, sebenarnya tidak mengerti dengan apa yang wanita itu lakukan dengan menekuk jari telunjuknya kemudian memasukkan dua jari ke lubang yang ia buat di tangan lain. Namun, segala ekspresi wajah dan penekanan yang wanita itu buat meyakinkan Jagad bahwa Ayla menentang rencananya.

Dan itulah kenapa pada hari berikutnya, Jagad telah meminta asistennya untuk mengosongkan jadwalnya malam itu.

Jagad sedang merapikan dasi yang terus dengan bandelnya tersangkut di salah satu sisi saat telepon berbunyi lagi. Pria itu mendesah jengkel. Tanpa memperhatikan lagi, ia mengangkat ponsel pribadinya dan menempelkannya ke telinga, ditopang oleh bahu sementara tangannya kembali sibuk melonggarkan dasi untuk membentuk simpul dari awal.

"Ada apa lagi, sih?" tanyanya, tidak repot-repot menyembunyikan kegusaran dari nada suaranya. July, kakak perempuannya itu sudah tiga kali ia bolak-balik menelpon dalam satu jam terakhir. Bolak balik mengingatkan Jagad untuk tidak melupakan jadwal makan malam, dan yang terakhir meminta dibelikan sesuatu. Apa lagi sekarang?!

Namun, suara yang menyahut kemudian bukanlah suara cempreng Mbak July.

"Jagad," sapa wanita itu. Tangannya terhenti, begitu pun napasnya. Suara itu... terlalu familiar, dan Jagad tidak menyukainya.

Lebih cepat dari yang ia kira bisa ia lakukan, Jagad dapat mengontrol dirinya dan mendengus pelan. "Darimana kamu dapat nomorku?"

Karena seingat Jagad, ia telah menggantinya setelah kepergian Vianca. Ia membuang semua tentang wanita itu. Hampir.

"Bisa kita bicara?" Alih-alih menjawab, wanita itu justru bertanya.

"Soal?" Skeptis.

"Soal kita."

"Maaf aku nggak punya waktu."

Jagad tahu benar untuk tidak pernah melayani permintaan wanita itu, untuk tidak mendengarkannya, untuk tidak pernah bicara dengannya. Ia tahu benar ia harus menutup telepon cepat-cepat dan melupakan pembicaraan singkat itu pernah terjadi. Ia hanya harus menutupnya, lalu mengemudi ke rumah Bude Nani untuk makan malam bersama seperti yang dijadwalkan. Namun, di sinilah ia, mengemudikan mobilnya. Tidak ke tempat makan malam, tapi arah yang berbeda.

Dan itu terjadi cukup dengan satu kalimat "Beri aku satu kesempatan? Aku berjanji ini yang terakhir" yang diucapkan dengan nada nyaris memelas. Hanya satu kalimat meminta dari wanita itu dan Jagad telah berantakan.

Di tengah jalanan yang sedang padat-padatnya , terjebak macet selama dua jam, Jagad akhirnya tiba di tempat itu. Ia tidak tahu apakah harus tertawa atau mengutuk tempat yang wanita itu pilih. Kafe yang sama yang sering mereka kunjungi. Tempat yang sama saat terakhir kali wanita itu meninggalkannya.

Lelucon apalagi ini?

Ia memastikan untuk menyuarakan pertanyaan itu segera setelah mendudukkan diri di hadapan Vianca, yang sedang sibuk menyeruput frappuccino-nya.

"Aku memesan Iced Americano. Kesukaanmu, kan?" balasnya atas pertanyaan itu seraya menunjuk dengan dagu gelas es kopi di hadapan Jagad.

Vianca tersenyum, dan Jagad merasa, senyum itu mengandung arti 'aku masih mengingatnya'. Ada kebanggaan dari senyumnya itu. Sayangnya, dia salah. Es kopi dengan lebih banyak rasa pahit dari manisnya itu bukan kesukaan Jagad lagi.

"Jadi... apa yang mau kamu bicarakan?"

"That's cold," senyumnya, getir. "Kamu masih marah soal terakhir kali?"

Jagad memejamkan matanya sejenak, coba menetralisir perasaan apapun yang mungkin bangkit, meluap. Like hell if he wouldn't! "Enggak."

"But all of your gestures say so." Vianca mengaduk minumannya pelan. Ia terhenti beberapa saat, sebelum kemudian menatap Jagad. "That's not why I came here, anyway. Mungkin kamu juga mendengarnya, semua orang membicarakannya .... I failed. Aku gagal dalam ajang pencarian bakat yang kuimpikan dengan sangat itu. Dan aku harus memulai semuanya kembali di sini."

Tidak ada jawaban yang Jagad utarakan, meskipun seharusnya ada. Bagi orang lain, menjadi runner up bukanlah hal yang buruk. Tapi bertahun-tahun mengenal Vianca, melihatnya selalu menyabet juara dalam bidang apapun yang ia tekuni, baginya kemenangan hanya berarti satu hal; menduduki posisi pertama. Selain daripadanya, adalah kekalahan yang sia-sia. Bahkan menjadi juara kedua ajang pencarian bakat se-Eropa adalah hal buruk, sangat buruk.

"We'll work together, Jagad," ia melanjutkan. "Dan aku mencoba profesional di sini. Aku nggak mau mix work with personal business."

"Setuju," Jagad dengan cepat mengaminkan.

"Dan," Vianca memberikan pria di depannya tatapan yang mengancam, kalau-kalau pria itu berniat memotongnya lagi. "Personally, aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Harus aku akui, first time I saw you on that stage, I almost run to you, I almost ... forgot that I'm not your first everything anymore," katanya seraya mengedikkan bahu, seakan itu bukan masalah besar. "I will mind my own business. And so should you."

Pernyataan itu disambut kerut di kening Jagad. Karena... kenapa tiba-tiba ia harus membuat pernyataan tidak perlu?

"Apa maksud kamu?"

Sebagai jawaban tidak langsung, Vianca justru mengulurkan tangannya yang bercat kuku warna maroon, senada dengan blazernya malam itu.

"Kita berteman. Setuju?"

Jabat tangan mereka dilakukan dengan singkat. Namun, tidak tanpa sengatan yang tertinggal, meski hanya satu milidetik.

Teman... benarkah? Meski mereka sedang bertemu di tempat yang sama dengan masa lalu mereka? Meski gadis itu masih menghafalkan apa-apa yang menjadi kebiasaannya? Meski Vianca tahu ... bahwa Jagad belum benar-benar lepas sepenuhnya?

She is still his first everything. Even now.

***

Hujan yang jatuh dengan deras menyambut Vianca begitu ia keluar dari kafe, membuatnya terpaksa mundur merapat kembali pada naungan teras jika tidak ingin kakinya dijatuhi percikan hujan bercampur pasir. Baru Saja turun, sedang lebat-lebatnya setelah mendung yang menggantung sejak sore. Jika kita menambahkan dua tambah dua, maka hujan kali ini tidak akan reda dalam waktu dekat.

Vianca mendekap dan mengusap kedua lengannya. Dingin. Sekarang ia menyesal tidak memakai mantel atau pakaian yang lebih tebal. Ia lupa bahwa cuaca di Indonesia bisa se-ekstrim ini, tadi siang begitu panas membara lalu tiba-tiba sedingin ini.

Dan demi Tuhan tidak adakah taksi atau apapun yang lewat sini?

Hanya tepat sebelum wanita itu membeku kedinginan di situ (atau begitulah yang ia pikir mungkin akan terjadi), sesuatu yang hangat menyentuh pundaknya. Aroma itu familiar sehingga Vianca tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang telah meminjamkannya mantel.

Pria itu tidak berlama-lama. Ia berlari ke parkiran untuk kembali dengan mobilnya. Ia menurunkan kaca mobil dan menggumamkan 'masuklah' yang tidak terdengar cukup hangat.

Vianca mendengus. "Aku bisa naik taksi."

Namun, pria itu tidak beranjak. Ia menurunkan kaca jendela lebih rendah lagi. "Masuk. Jalanan macet, taksi nggak akan datang dengan cepat."

Beberapa argumen kemudian, wanita itu duduk di kursi penumpang sementara Jagad memfokuskan pandangannya ke jalanan. Mereka tidak bicara. Tidak tahu apa yang terjadi. Berpikir mengapa mereka harus berada dalam situasi demikian.

Vianca, tidak merasa nyaman berada satu mobil dengan pria yang pernah mengisi separuh hidupnya dengan eksistensi tawanya yang renyah dan pundaknya yang hangat. Pria yang sekarang berlaku dingin padanya meski Vianca dapat melihatnya.... ia masih dapat melihat perasaannya.

Dan Jagad Ia berusaha mengabaikan wanita itu. Ia bersumpah ia telah mencoba. Namun, di luar hujan deras, dan wanita itu sendirian. Ia hanya tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

Hanya karena hujan, atau begitulah Jagad mencoba meyakinkan dirinya sepanjang perjalanan mengantar wanita itu pulang.

***

Bagaimana makan malamnya?

Ayla bertanya begitu pria itu berdiri di hadapannya, pada Jagad yang pulang lewat dari tengah malam. Jagad tidak menyangka ia masih akan terjaga, menonton film tengah malam yang menyediakan subtitle. Ia terpaku sejenak sebelum melepaskan sepatu dan menaruhnya di rak besar di belakang pintu, lalu meraba-raba sebentar demi menemukan saklar lampu yang sudah ia hafal letaknya. Cahaya putih segera menyirami ruangan yang tadinya temaram, nyaris gelap jika bukan karena cahaya yang terpancar dari televisi besar di sana. Jagad menemukan tatapannya secara otomatis, terlihat jelas Ayla sedang berusaha keras menahan kantuknya ketika pria itu mendekat ke sofa.

"Kenapa belum tidur?" Ia balas bertanya, jarinya bergerak melonggarkan dasi dan menariknya lepas.

Ayla mengedik. Lalu seolah baru terpikir, ia menambahkan 'belum mengantuk' dengan mengibas-ngibaskan tangannya setinggi wajah kemudian setinggi dada.

Padahal Jagad dapat melihat jelas wanita itu berusaha menahan kantuknya. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan Ayla meraih tas kerja miliknya untuk diletakan di tempatnya biasa. Sedikit mengernyit mengetahui ada yang kurang pada pria itu.

Dimana jas kamu? Tanyanya, dengan gerakan seperti menyampirkan jas dari belakang.

Pertanyaan yang dilontarkan kasual saja, sebenarnya. Namun, Jagad menemukan jantungnya berpacu lebih cepat dari normal. Pertanyaan yang menohoknya telak. Ia merasa seolah... ia telah melakukan sesuatu yang buruk yang tidak boleh wanita itu ketahui.

"Oh! Kayaknya ... ketinggalan di kantor."

Ia memberikannya pada Vianca.

Ceroboh, komentar Ayla lalu pergi untuk meletakkan tas kerja Jagad pada tempat biasa. Ia kembali dengan secangkir teh hangat di satu tangan dan setoples cookies cokelat buatannya sendiri di tangan yang lain.

Jagad mendudukkan diri di sofa, menatap film yang wanita itu tadi tonton tanpa tahu apa judul dan bagaimana ceritanya. Pikirannya tidak di situ, tidak bisa. Masih berkeliaran di berbagai tempat yang bukan kepalanya sendiri. Ada perasaan aneh yang tidak bisa ia singkirkan. Lalu datang sebuah pesan teks.

Dari: 082211322xxx

Pesan: Terima kasih, Jagad.

Vianca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro