3.2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kaori langsung tiarap begitu mendengar rentet tembakan yang mengagetkan. Dia merangkak dengan panik, bersembunyi melindungi diri di kolong ranjang. Kedua tangannya bergetar mengancingkan sisa kancing kebayanya yang belum terselesaikan.

Suara rentetan tembakan terdengar semakin dekat, mungkin hanya di sebelah ruangan saja—yang itu berarti adalah kamar Okaa-sama—membuat Kaori meringkuk dengan semakin ketakutan.

"Yash! Di mana anak gadisnya?"

Kaori tertegun mendengar seruan itu. Bukan bahasa daerah, bukan bahasa ibunya, itu adalah bahasa Inggris. Yash berkhianat. Kedua tangan Kaori saling menggenggam erat. Tubuhnya bergelung semakin rapat, meniru cara trenggiling sembunyi saat keadaan mendesak.

Suara langkah sepatu yang menginterupsi seolah menjadi tuntunan irama bagi detak jantung Kaori. Begitu mengerikan, begitu menakutkan. "Yang lain sudah beres?" Dan itu adalah suara Yash.

"Tinggal anak gadisnya. Wanita tua yang ada di belakang sudah mati, wanita di kamar juga."

Inem, entah sejak kapan datang, sudah mati. Dan wanita di kamar, itu adalah Okaa-sama, juga sudah mati. Mata Kaori memanas, perih. Itu berarti, sekarang Kaori sendiri. Jantung gadis itu berdegup sangat kencang sampai seperti akan merobek dadanya, berusaha melompat keluar. Udara di sekitar Kaori mendadak dingin dengan tidak wajar, membuatnya menggigil tak karuan.

"Aku yang akan mengurus anak gadisnya. Kalian bereskan sekitar. Kita tidak butuh sandera atau saksi mata. Bereskan bukti. Desa ini akan mati, hilang."

Kaori tidak berani bergerak. Bahkan bernapas pun dia tahan, takut suara embusnya terdengar. Kedua tangannya berusaha menahan jantung yang terus berontak, berharap suaranya teredam dalam ringkukan. Suara derap langkah terdengar menjauh, tapi Kaori tahu, Yash masih di luar sana.

"Kaori-san."

Seluruh tubuh Kaori menegang saat suara Yash memanggil namanya. Dia meringkuk semakin rapat, hingga punggungnya terasa sakit. Dia bergeser masuk semakin dalam di kolong ranjang, hingga dingin dinding menembus kebayanya, menyentuh kulit. Pintu kamar berderit terbuka, membuat Kaori memejamkan mata.

Bagaimana bisa terbuka? Kaori yakin sudah menguncingnya.

"Kaori-san, keluarlah. Aku bersamamu."

Kaori menggulung bibirnya ke dalam, menggeleng dalam diam. Tidak. Yash adalah pengkhianat. Yash membunuh Okaa-sama. Lalu, lalu, Otoo-sama? Apa Yash bunuh juga?

"Kaori-san."

Kaori berjengit saat suara Yash terdengar seperti tepat di depan wajahnya. Gadis itu takut-takut membuka mata, hanya untuk terserang setruman entah dari mana karena mendapati wajah Yash tampak di depan kolong tempat tidurnya. Entah bagaimana pemuda itu bisa menemukan dia secara tiba-tiba. Sekarang juga Kaori berharap semoga dia mencair saja, agar Yash tidak bisa menangkapnya.

Yash mengulurkan salah satu tangan, membuat Kaori berusaha mundur semakin jauh. Tapi apa daya, dia sudah sampai di ujung. Dinding sudah menahan tubuhnya, membuat punggungnya terasa semakin sakit.

"Jangan khawatir. Aku tidak akan menembakmu. Percayalah," kata Yash.

Kaori menggeleng kuat. Percaya pada pengkhianat? Memangnya Kaori sebodoh itu?

"Aku sudah bersumpah mati untuk setia padamu. Aku membunuh yang lain, karena sumpahku hanya untuk Eri Kaori. Aku tidak akan membunuhmu."

Tubuh Kaori menggigil. Namun kemudian Yash tersenyum hangat—padahal selama ini wajahnya selalu terkesan dingin—membuat dingin ganjil yang menyelubungi Kaori perlahan sirna. Kaori tidak tahu mengapa, tapi salah satu tangannya terulur, membalas Yash, kemudian merangkak keluar dengan perlahan.

Baru saja sempurna berdiri, Kaori terbelalak dan sebutir air matanya turun saat Yash mendadak menodongkan pistol padanya. Bibir Kaori terasa kelu, bahkan untuk menjerit pun takmampu.

"Aku sudah bersumpah mati pada ayahmu untuk setia padamu." Tangan kiri Yash terulur, meraih tangan Kaori.

"Itu berarti, aku akan mati jika berkhianat padamu."

Yash menggenggam tangan Kaori dengan erat, kemudian mengarahkannya agar memegang pelatuk pistol. Dia kembali tersenyum hangat, seolah tiada masalah ketika dia sendiri kemudian membalik arah pistol menuju ke dadanya sendiri.

"Aku menepati sumpahku untuk menjagamu tetap hidup, dan akan menepati sumpahku untuk mati karena aku baru saja berkhianat, merenggut apa yang kamu cintai."

Dorr

Tangan Yash yang menuntun jemari Kaori untuk menekan pelatuk, dalam dua detik yang panjang, menjadi lemas. Air mata Kaori tumpah saat melihat darah merembes di dada Yash.

Tangan Yash perlahan jatuh, membuat tangan Kaori juga jatuh, membuat pistol yang dibawanya berkelontangan, kemudian menghilang dibalik kolong ranjang.

Mata Kaori masih terbelalak. Pandangannya perlahan turun, menatap tubuh kaku Yash yang sekarang terbujur di lantai dengan dada berlubang. Kaki gadis itu mundur perlahan. Pekat bau mesiu menerpa penghidu, membuatnya seperti akan mabuk dan mati di saat bersamaan.

Kaori menahan tubuhnya yang kehilangan tenaga dengan berpegangan di ujung ranjang, kemudian segera berlari keluar kamar dengan sekujur tubuh yang gemetar. Dia berhenti saat tiba di depan pintu kamar orang tuanya, mendapati tubuh ibunya terbujur kaku di atas tempat tidur, dengan banyak darah terciprat di seprei kasurnya yang putih.

Kaori jatuh terduduk. Kepalanya terasa pening. Perutnya mual, serasa ingin muntah. Tenggorokannya panas, tercekat, membuatnya nyaris tidak mampu mengatakan apa-apa. Telinganya berdenging, membuat berisik di antara keheningan yang mengerikan.

"Otoo ... sama," panggil Kaori lirih.

"Kaori-san."

Kaori mengangkat wajah, lalu terjungkal ke belakang saat melihat sosok yang berdiri di depannya.

Sosok laki-laki dengan baju seragam hitam, seperti para bangsawan Eropa.

Kaori menatap pria berwajah tegas itu dengan pandangan nanar. Jantungnya kembali bertalu tanpa ampun. Matanya bergerak gelisah mencari-cari di mana pistol yang dibawa pria itu.

Tapi, tidak ada pistol.

Pria itu berjongkok di hadapan Kaori, mengulurkan tangannya. "Aku bukan orang jahat. Aku datang untuk menjemputmu," ujarnya dengan tanpa nada, membuat Kaori justru semakin sangsi akan identitasnya.

Tubuh gadis malang itu masih kaku. Dia menelan salivanya. Kantung kemih yang dia punya terasa penuh saking dia benar-benar merasa terkejut—dalam berbagai artian yang tidak bagus.

"Aku akan membawamu pergi," ucap pria itu lagi.

Kaori sekali lagi menelan ludah dengan susah payah, kemudian memejamkan mata, lalu dengan gemetar mengangkat salah satu tangannya, membalas uluran tangan pria itu.

Kaori tidak punya apa-apa lagi. Otoo-sama sudah pergi, entah apa akan kembali. Okaa-sama juga sudah pergi, yang ini, benar-benar tidak akan kembali. Seluruh jiwa Kaori seolah hilang bersama absennya eksistensi mereka.

Kaori sudah pasrah. Kaori takut mati, tapi memang apa yang bisa dia lakukan jika terus hidup di dunia yang hancur ini? Melihat kematian tragis orang yang disayanginya membuat Kaori trauma, jadi jika dia ijinkan meminta, Kaori ingin agar pria ini membunuhnya dengan cepat, tanpa rasa sakit.

Sebutir air mata jatuh dari pelupuk mata Kaori. Dia siap, tetapi juga tidak siap untuk mati.

Hening yang cukup panjang membuat gadis itu menelan ludah. Padahal dia sudah bersiap, tetapi dia tidak merasakan apapun. Tidak ada tarikan untuknya agar berdiri. Tidak ada yang menyeretnya. Tidak ada suara kelontang pistol. Tidak ada suara tembakan.

Apa jangan-jangan, Kaori memang sudah mati dengan sangat tenang?

Kaori membuka mata, lalu terbelalak ketika mendapati apa yang ada disekitarnya secara ganjil berubah menjadi hutan belantara.

Gadis malang itu tertegun menatap pria tadi, yang masih berjongkok di hadapannya. Kali ini, mengumbar segaris senyuman manis yang sedikit menghangatkan dada Kaori.

Sisa air mata di kelopak mata Kaori kembali terjatuh, ketika Kaori kemudian bertanya, "Ini ... di mana?"

|°|°|

Fun facts:

Kaori adalah nama depan
Eri adalah nama belakang

Orang Jepang biasanya panggil nama depan buat nunjukin penghormatan. Kalo udah deket, panggil nama belakang. Kalo lebih deket lagi (biasanya punya hubungan spesial) bisa panggil nama belakang tanpa embel-embel -san, -chan, atau semacamnya. Kalo dari yang saya tonton di anime sih begono :>

Omong-omong, saya baru kepikiran, kenapa nggak ada yang dari Korea, ya? Dari jaman kerajaan gitu. Kan banyak tuh, drakor yang temanya kolosal.

Eh, tapi mendadak saya kepikiran lagi. Kalo dari kerajaan, berarti ntar samaan kaya Alka, ya.

E eh, tapi kalo dari jaman kerajaan, tapi bukan keluarga kerajaan kan, nggak akan sama kaya Alka.

E e eh, tapi, meskipun saya kepikiran pun, tokohnya udah jadi. Kalo ditambahin bakalan bikin saya tambah mumet.

Yaudah, deh '3'

050219-rev

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro