Chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hubungan Jani dan Naren merenggang setelah cewek yang tak Jani ketahui identitasnya berada di rumah Naren. Sepulang dari kafe, cowok itu secara tiba-tiba menjauhinya tanpa sebab membuat perasaan Jani kembali kacau balau. Bukankah seharusnya ia yang menjauhi Naren karena cowok itu membawa cewek ke rumah? Mengapa jadi Naren yang malah menghindarinya?

Tak ingin menambah pikiran mengenai hubungannya dan Naren yang tiba-tiba ada pembatas, Jani memilih untuk pergi ke ruang siaran untuk menyibukkan diri.

Tepat di depan ruang pramuka badan Jani mematung menatap Naren yang tak sendiri. Dari yang Jani tahu, nama cewek yang berada di samping Naren ialah Aqila, teman sekelas Naren yang sering membawa pulang medali untuk sekolah.

Pikirannya kembali berkelana, apa benar Aqila yang dibawa Naren ke rumah tempo lalu? Jani terus menatap Naren hingga tatapan mereka bertemu sesaat, dengan cepat Naren mengalihkan tatapannya ke Aqila.

Dengan perasaan yang tak bisa diutarakan Jani memilih pergi secepatnya menuju ruang siaran. Jani merasa cemburu melihat kedekatan mereka, ia kira Naren selalu menjaga jarak dengan orang baru, termasuk cewek. Tetapi, Jani melihat langsung bagaimana interaksi yang terjadi antara Naren dan Aqila, mereka terlihat sangat dekat.

Saat di rumah nanti, Jani bertekad akan segera mencari Naren dan membicarakan mengenai hubungan cowok itu dengan Aqila.

***

Sudah seisi rumah Naren dan Mahen ia kunjungi, tetapi batang hidung yang dicari tak juga ditemukan. Bahkan kamar mandi juga tak luput Jani datangi, tetapi sosok Naren juga tak ditemukan di sana. Mahen yang semula rebahan di atas ranjang dengan bertelanjang dada terkejut karena Jani memaksa masuk ke dalam kamarnya.

Dengan tatapan heran, Mahen bertanya, "Ngapain nyari Naren?"

"Mau tahu aja urusan orang." Tak menghiraukan pertanyaan Mahen, Jani kembali mengecek seluruh ruangan di rumah untuk yang kedua kalinya.

"Ngapain sih ketemu Naren? Belum puas di sekolah ketemu mulu? Lu kalau mau tahu orangnya ada di rumah apa enggak, cek aja motornya ada atau enggak. Kalau enggak ada, berarti tuh anak belum sampai rumah, Jani."

Seperti anak kecil yang sedang marah jika tidak diberikan permen kapas. Jani menatap Mahen dengan sepasang matanya terpancar sedih dan bibirnya maju beberapa senti. "Mending bantu gua cari Naren, Hen," lirih Jani.

"Lu berdua kenapa sih?" tanya Mahen ingin tahu.

"Kembaran lu jalan sama cewek, Hen! Kayaknya gua cemburu deh." Posisi Jani berubah menjadi jongkok, ia menatap lantai putih gading dengan tatapan kosong.

Mahen merasa kesal bercampur sesal. Merasa kesal karena Mahen kembali cemburu dengan perlakuan Jani terhadap Naren dan sesal karena keingintahuannya mengenai hubungan Jani dan Naren.

Seharusnya Mahen tak peduli, jika seperti ini ia seperti menyodorkan dirinya sendiri untuk terbakar api. Api cemburu yang tak akan mudah dipadamkan, kecuali jika Mahen bisa membuat Jani jatuh hati padanya atau ia harus membunuh perasaannya.

"Bangun dulu. Nunggu Naren di ruang tamu aja, kalau dia udah sampai bisa kita sidang bareng-bareng." Mahen menyodorkan telapak tangannya sebagai pijakan Jani untuk kembali berdiri.

Dengan perasaan terombang-ambing Jani mengikuti langkah kaki Mahen ke ruang tamu. Saat Jani baru saja duduk di atas sofa ruang tamu, Mahen berniat pergi.

"Jangan ditinggal. Mau ke mana lu?" tanya Jani menahan Mahen dengan memegang pergelangan tangan cowok itu.

Posisi mereka saat ini terasa deja vu. Mereka kembali teringat saat Mahen menahan Jani untuk tetap tinggal di ruang makan.

"Sebentar doang ke dapur, mau ambil air putih buat lu." Jani mengangguk dan melepaskan pergelangan tangan Mahen.

Menunggu Mahen dari dapur, Jani iseng membuka sosial medianya dan melihat instagram story akun yang ia ikuti. Terus bergeser hingga Jani tak sengaja melihat tangkapan sebuah foto yang diunggah di instagram story 15 menit yang lalu.

Jani mengecek akun yang menampilkan jaket dan tas yang biasa digunakan Naren dalam tangkapan foto tersebut. Nama Sheza Aqila Nayyara tertera dalam bio tersebut.

"Mahen!" panggil Jani. Cewek itu menghampiri Mahen yang berada di dapur. "Ini jaket sama tas yang biasa dipakai Naren kan?"

Memang benar jaket dan tas yang berada dalam tangkapan foto itu biasa dikenakan Naren, tetapi barang-barang milik Naren banyak dijual di pusat perbelanjaan. "Bisa aja hanya mirip, merk yang dipakai Naren kan enggak limited edition."

Jani memperbesar unggahan di instagram story milik Aqila. Tertangkap pergelangan tangan seseorang yang sedang memegang sendok besi. Tatapan matanya terkunci pada jam tangan yang melekat di pergelangan tangan.

"Ini jam tangannya kado dari gua buat kalian tahun lalu, Mahen. Gua beli kembaran sama punya lu, coba lu cek," geram Jani ingin menangis. Dirinya sudah dipenuhi emosi negatif, marah, kecewa, dan cemburu.

Memang benar apa yang dikeluhkan Jani, semua barang yang dikenakan dalam unggahan instagram story seperti barang yang dikenakan Naren sehari-hari.

Mahen bisa saja memanfaatkan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan Naren dan menyuruh Jani untuk menjadikannya tempat berpulang. Namun ia tak tega melihat kondisi Jani saat ini, gadis itu terlihat kacau.

"Tunggu Naren pulang aja, nih minum dulu biar setan-setannya pergi." Jani menerima gelas kaca yang berisi air putih dan menenggaknya habis, ternyata emosi membuatnya haus.

***

Naren baru saja tiba di rumah jam 8 malam, Jani tetap setia menunggu cowok itu di ruang tamu sedangkan Mahen pergi untuk mencari makan malam mereka.

Tak ingin basa-basi Jani bertanya, "Pergi nongkrong sama Aqila?" Cukup satu pertanyaan mampu membuat Naren memberhentikan langkah kakinya.

"Iya," jawab Naren tak berniat membohongi Jani.

"Udah pacaran sejak kapan?" Pertanyaan kedua Jani membuat Naren terkejut.

Hubungannya dengan Aqila hanya sebatas partner lomba, tidak lebih. Namun, Jani terlalu berpikiran jauh dan menyudutkannya dengan pertanyaan omong kosong.

"Dia partner lomba enggak lebih, Jani."

Jani menatap Naren dengan tatapan tak percaya, jika memang hanya partner tidak mungkin mereka berdua berada di kafe dari pulang sekolah hingga jam 8 malam.

"Terserah lu mau berpikiran seperti apa. Gua capek baru pulang"

Entah sejak kapan, tatapan tajam mengarah ke Naren. "Dari tadi Jani nungguin lu di ruang tamu. Seenggaknya luangin waktu 5 menit untuk lu klarifikasi tadi pergi sama siapa."

Mahen berusaha menjadi penengah walaupun ia ingin sekali menghampiri Naren dan mengadiahkannya pukulan.

"Gua enggak suruh dia nunggu dan buat apa gua klarifikasi? Enggak ada yang perlu dijelasin. Gua emang pergi sama Aqila untuk persiapan lomba."

Kondisi Naren saat ini lelah fisik dan batin. Pembuatan proposal karya tulis ilmiah hanya tersisa 3 hari lagi, ditambah kelakuan Jani yang seperti anak kecil membuat kepalanya ingin pecah.

"Sampai malam?" tanya Jani dengan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk matanya, siap mengalir deras jika Naren semakin menguras emosinya.

"Seperti yang lu lihat ... gua baru aja sampai rumah. Gua dikejar tenggat makanya baru pulang."

Jani tak juga percaya dengan jawaban Naren, jika itu urusan lomba pasti mereka kumpul tidak hanya berdua.

"Kasih kunci rumah gua sini." Jani sudah terlanjur emosi dan terbakar api cemburu, ia butuh menenangkan diri.

Naren menggeleng tegas, ia diamanahkan untuk tak membiarkan Jani di rumah sendirian menghindari kejadian yang akan berakibat fatal karena kecerobohan Jani.

"Kasih sekarang juga, Ren. Jangan buat gua makin marah sama lu. Satu-satunya yang gua inginkan saat ini mengenyahkan sosok lu dari hadapan gua."

Dengan terpaksa Naren memberikan kunci rumah Jani, tetapi tak membiarkan gadis itu berada di rumah sendirian.

"Jangan berani-berani lu ikutin gua!" ancam Jani tetapi tak membuat Naren takut dan mengurungkan niatnya untuk menemani gadis keras kepala itu.

"Lu cuman butuh untuk enggak lihat muka gua kan? Lu di lantai dua, gua di lantai satu. Kita beda lantai atau lu gua seret untuk nginap di rumah gua?!" putus Naren tak memberikan pilihan lain untuk Jani.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro