Chapter 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Riuh mengisi ruangan instalasi gawat darurat. Naren menunggu di samping Jani, sedangkan Mahen menunggu di luar untuk menanti kehadiran orang tua Jani. 

Netra Naren memandang ke sekeliling, mengamati satu per satu pasien yang belum ditangani, tetapi keadaannya sangat memprihatinkan. Walaupun kondisi mereka berbeda dalam kaca mata medis, tetapi menurut Naren kondisi mereka sama-sama membutuhkan penanganan sesegera mungkin. Bersyukur Jani bisa ditangani segera mungkin karena kondisi IGD saat Jani datang tidak seramai saat ini. 

Walaupun sudah mendapatkan penanganan, Naren tetap merasa khawatir karena Jani belum membuka mata dan wajah gadis itu masih terlihat pucat.

"Lu enggak mau melek gitu? Jangan salahkan gua kalau besok berulah di sekolah." Naren terus mengelus punggung tangan Jani yang bebas dari jarum infus.

"Tadi ayahnya Jani sempat di depan IGD." 

"Terus beliau di mana? Kok enggak lu suruh ke sini?" tanya Naren mencari kehadiran ayah Jani di sekeliling Mahen.

"Pergi. Kayaknya beliau masih butuh waktu untuk ketemu Jani."

"Ini anaknya pingsan, masa enggak mau ketemu?"

"Ya mana gua tahu beliau mau ketemu apa enggak, Ren. Wajah sih kelihatan cemas, tapi beliau bilang masih butuh ruang sama waktu," jelas Mahen menghela napas berat.

***

Naren mengunjungi kelas Jani, berniat menemui Atika sebelum bel masuk berbunyi.

"Atika, 'kan?" tanya Naren memastikan.

Naren tidak kenal dekat dengan sahabat-sahabat Jani. Maka dari itu ia memastikan terlebih dahulu, takut jika salah orang dan membuat dirinya malu sendiri.

Atika mengangguk ragu, wajah gadis itu tampak terkejut saat disapa Naren.

"Untuk siaran hari ini siapa penyiarnya?" tanya Naren tanpa basa-basi.

"Ada kepentingan apa sama siaran?"

"Gua mau minta tolong."

Raut wajah Atika terlihat bingung. Mereka tak saling kenal, bahkan tak pernah bertegur sapa, tetapi Naren tiba-tiba meminta bantuannya.

"Gua mau klarifikasi sekaligus mengungkapkan kebenaran tentang kasus flashdisk yang menimpa Jani. Lu sahabatnya Jani, 'kan?"

"Gua enggak bisa membantu lu tentang itu dan dulu memang gua sahabat Jani."

Naren tak menyerah dengan mudah meskipun sudah mendapat penolakan. Ia ingin nama Jani kembali bersih.

"Kenapa sekarang lu bukan lagi sahabat dia? Karena kasus flashdisk?" tanya Naren membuat Atika mengangguk.

"Salah satunya itu. Lain halnya karena kasus dia Jurnalistik terkena dampaknya. Lagi pula untuk apa lu repot-repot klarifikasi kasus itu? Enggak ada hubungannya sama lu dan lu enggak mendapatkan keuntungan sedikit pun."

"Gua enggak percaya Jani menganggap lu sebagai seorang sahabat. Sahabat macam apa yang enggak percaya sama sahabatnya sendiri?"

Atika mengedikkan kedua bahunya tak peduli. "Hak gua mau percaya sama siapa. Untuk apa lu peduli? "

"Memang itu hak lu dan jelas gua peduli karena itu udah menyangkut tentang Jani. Gua berniat klarifikasi biar lu dan seluruh warga SMA Nusa Pelita tahu siapa dalang dari kasus tersebut, enggak cuman pihak guru yang tahu."

Atika yang semula tampak acuh tak acuh menjadi ingin tahu. "Jadi bukan Jani pelakunya?"

"Kalau dia pelakunya kenapa Jani masih sekolah di sini? Kalau lu mau tahu gua bisa klarifikasi tentang flashdisk beserta hubungan gua sama Jani saat siaran nanti."

Dalam hati Naren bersorak gembira berhasil mendapatkan persetujuan Atika untuk melakukan siaran. Semoga saja dengan ini nama Jani kembali bersih.

***

Untuk pertama kalinya suara Atika akan mengalun bersama Naren pada siaran radio hari ini. Seharusnya siaran radio sudah sah diambil alih oleh OSIS, tetapi kekacauan yang disebabkan Jani dan Daffa membuat pihak guru dan wakil kesiswaan merapatkan kembali untuk mendapatkan hasil yang adil bagi kedua pihak.

"Gua Atika Tsabita ditemani Narendra Prakasa Bumi yang akan menemani waktu istirahat kalian. Siaran kali ini akan berbeda dari biasanya. Bukan hanya karena kita kedatangan tamu, tetapi kali ini kita akan mengusut tuntas kasus viral di SMA Nusa Pelita."

"Benar banget nih, tetapi kasus viral di sekolah kita enggak hanya satu," saut Naren membuat pendengar siaran hari ini ingin tahu.

Atika tertawa kecil. "Kayaknya banyak banget ya? Kalau begitu, gua mau bahas tentang kasus flashdisk kemarin. Sebelum masuk ke kasus, boleh dong lu memperkenalkan diri dulu."

"Gua Narendra Prakasa Bumi. Yap, ini Naren yang sering disebut-sebut dalam mention confess  disetiap siaran berlangsung," ucap Naren melirik Atika.

Atika tertawa canggung, ia seakan-akan tertangkap basah sedang membicarakan seseorang. Walaupun bukan ia yang menyiarkan mention confess, tetapi dirinya salah satu anggota Jurnalistik. 

"Lu berbicara di sini sebagai apa? Korban, pelaku, atau saksi?" 

"Gua sebagai saksi dari pihak Jani. Bahkan gua sempat dipanggil juga sama guru BK kita tercinta. Jadi kesaksian gua di sini bisa dibilang valid." 

Wajah Atika tampak  terkejut mendengar pengakuan Naren. "Wah, enggak sangka murid teladan dan berprestasi berhadapan juga sama guru BK. Oke, jadi apa benar flashdisk tersebut dicuri?"

"Gua enggak tahu flashdisk tersebut dicuri, tetapi flashdisk tersebut sudah ditemukan di ruang tata usaha."

"Jadi lu bisa memastikan bahwa bukan Jani pencuri yang selama ini kita sangka?"

Naren mengangguk. "Gua bisa memastikan itu."

"Dengan bukti apa lu bisa memastikan? Apa lu punya hubungan khusus dengan Jani sehingga lu bisa percaya sama dia?"

"Memang dalam video yang sudah beredar luas Jani tampak terburu-buru, tetapi bukan karena dia habis mencuri. Saat itu gua ada janji sama dia bertemu di salah satu kafe untuk meluruskan kesalahpahaman dan dia terlambat."

"Karena faktor terlambat bukannya lebih mencurigakan ya?"

"Dia sempat kehilangan flashdisk dan Jani mencari terlebih dahulu sebelum ketemu gua. Saksi matanya lu, 'kan? Flashdisk Jani ditemukan di ruang siaran dan sudah dicek oleh pihak sekolah. Memang terbukti flashdisk tersebut milik Jani dan flashdisk milik pegawai tata usaha sudah ditemukan di ruang tata usaha."

"Berarti kasus kemarin itu hanya kesalahpahaman ya? Namun, kenapa video tersebut beredar?"

"Gua enggak tahu apakah hanya sekedar kesalahpahaman atau Jani dijebak karena adanya video tersebut."

Naren sebenarnya sudah tahu bahwa Jani dijebak dan ia sudah tahu siapa pelaku dan motif orang tersebut.

"Dijebak? Wah, gua enggak kepikiran sampai ke sana sih, tetapi kalau memang benar Jani dijebak, pelakunya bukan manusia."

Tanpa sadar Naren tersenyum miring. "Lu kenal orangnya."

"Lu tahu siapa pelakunya? Bisa dong dikasih tahu di sini," pinta Atika ingin tahu.

"Gua enggak akan sebut pelakunya di sini karena gua enggak mau membuat orang lain merasakan apa yang dirasakan Jani. Kalau kalian tilik ke belakang, kalian dengan seenaknya membicarakan Jani tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Bahkan kejadian di kantin bikin gua murka. Enggak hanya gua, tetapi Naufal sama Ghifari juga."

"Gua baru sadar, lu belum jawab pertanyaan gua sebelumnya. Lu punya hubungan apa sama Narapati Dwi Renjani? Karena selama ini, lu enggak pernah berinteraksi sama Jani di sekolah. Lu lebih sering kelihatan berinteraksi sama Aqila di berbagai kesempatan."

Bibir Naren bungkam, ia bingung ingin menjawab pertanyaan Atika. Apakah ia harus memperkenalkan diri sebagai pacar Jani? Namun, gadis itu belum memberikan keputusan dan dirinya masih digantung hingga saat ini. Ataukah Naren memperkenalkan dirinya sebagai sahabat? Namun, Naren tidak mau ditikung. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro