Chapter 34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasa suka memang tidak bisa disalahkan karena rasa itu timbul tanpa persetujuan kita. Salahkan saja orang yang kita sukai, lancang sekali membuat hati kita berdebar hanya karena kehadirannya di hadapan kita.

"Gua tahu yang suka sama dia banyak, enggak hanya gua. Namun, baru kali ini saingan gua cowok." Jani tanpa sadar tertawa miris.

Rasa suka tidak bisa dijelaskan melalui akal logika, terbukti yang seharusnya tak disukai tetap saja rasa itu timbul tanpa sadar. Bahkan rasa itu sudah menetap terlalu lama.

"Aneh banget, 'kan? Cinta pertama gua malah cowok." 

"Kenapa bisa?" tanya Jani benar-benar bingung dengan situasi saat ini.

Daffa mengedikkan kedua bahunya, ia juga tak tahu mengapa dirinya menyukai Naren. Jika karena Naren baik dan selalu hadir saat Daffa membutuhkan bantuan, tetapi sejak SMA mereka sudah tak lagi berdekatan. Apakah perasaan itu berhasil ia bunuh? Jawabannya tidak. Hingga saat ini, Daffa masih menyukainya. 

"Alasan ini juga yang membuat hubungan lu sama mereka merenggang?" 

Mereka yang Jani maksud ialah Naren, Naufal, dan Ghifari. Walaupun masing-masing dari mereka memilih jalan yang berbeda, tetapi mereka berempat selalu terlihat bersama di berbagai kesempatan. Termasuk saat upacara bendera di hari Senin, mereka pasti akan baris berjejer menerima piala dari perlombaan yang mereka ikuti.

"Awal mulanya perasaan gua enggak sengaja ketahuan sama Naufal dan kita adu mulut sampai akhirnya didengar sama Ghifari dan Naren. Semula Naren enggak mempermasalahkan perasaan gua, tetapi gua cemburu sama lu karena gua selalu berusaha buat dia suka sama gua, tetapi nama lu yang selalu ada di hati dia."

Jani sangat mengetahui perasaan cemburu itu sangat menyebalkan jika sudah menguasai diri kita sendiri. Orang-orang di sekitar kita akan kewalahan melihat tingkah laku menyebalkan kita, bahkan orang yang kita sukai sendiri terkadang lelah menghadapi diri kita. Jani tahu saat dirinya merasa cemburu dengan kedekatan Naren dan Aqila saat itu, jika diingat ia merasa malu karena bertingkah seperti anak kecil. Namun, cemburu merupakan tanda bahwa kita menyukai orang tersebut.

"Naren udah suka gua sejak SMP?" tanya Jani ingin tahu mengenai perasaan cowok yang ia gantung hingga saat ini.

Tanpa disadari bibir Daffa tersenyum tipis. "Dulu dia enggak sadar perasaan itu, tetapi gua sama Naufal sadar. Maka dari itu Naufal sangat menentang saat tahu gua diam-diam suka sama Naren karena Naufal tahu banget perasaan Naren hanya tertuju sama lu."

"Gua enggak mempermasalahkan kalau lu suka sama Naren, asalkan dia enggak suka sama lu. Mari kita bahas selain alasan lu melakukan hal yang membuat nama gua jelek, gua ingin tahu bagaimana caranya lu melakukan hal tersebut? Terutama dari mana lu mendapatkan reakaman CCTV itu?"

Daffa malah tertawa mendengar kalimat pertama yang dilontarkan Jani. Gadis yang satu ini memang lain daripada yang lain. "Hari Jumat sepupu gua kehilangan flashdisk dan di hari Sabtu kita ketemu. Gua memanfaatkan kejadian itu untuk menjebak lu. Flashdisk itu penting, maka dari itu pihak sekolah harus mendapatkannya."

"Memang isinya apa?"

"Setiap hal pasti punya sisi gelap. Termasuk sekolah kita. Nama guru dan pegawai yang melakukan korupsi beserta buktinya ada di flashdisk tersebut. Jadi jangan heran kenapa sekolah kita ketar-ketir."

"Terus lu kok bisa dapat rekaman CCTV?" tanya Jani lagi.

"Lu tinggal bilang ke satpam kalau lu kehilangan sesuatu dan mau lihat rekaman CCTV pasti langsung dibawa ke ruang monitor. Jangan lupa harus ditemani sama pegawai atau guru SMA Nusa Pelita biar kesaksian lu dipercaya."

"Semudah itu?" tanya Jani tak percaya. Jika memang semudah itu mungkin dirinya sudah tahu siapa saja pelaku yang mengambil pena, sendal, dan buku catatannya sejak kelas X.

"Iya, tetapi barang yang hilang itu barang berarti. Ponsel, uang, atau mungkin perhiasan. Kayaknya sih begitu."

"Uang 2 ribu?" tanya Jani membuat Daffa melirik Jani kesal.

"Lu pikir satpam enggak ada pekerjaan?"

"Dikit-dikit lama-lama jadi bukit. Kalau kehilangannya berkali-kali, bisa naik haji gua."

"Hitung-hitungan banget lu jadi orang," sungut Daffa.

"Kok lu malah kesal sih? Gua yang harusnya kesal tahu!" 

"Gua sudah minta maaf tadi," ucap Daffa tergagap.

Jani menggeleng tak mau menerima permintaan maaf Daffa. Ia berniat menjahili cowok itu hingga perasaan bersalah menghantui Daffa.

"Gua bakalan kasih lu sebuah rahasia. Asal lu memaafkan gua, gimana?" tanya Daffa mencoba negosiasi.

Wah. Tawaran yang menarik. Fakta yang keluar dari bibir Daffa selalu membuat Jani terkejut. Mulai dari Daffa menyukai Naren, sepupu cowok itu bekerja sebagai pegawai tata usaha, hingga program kerja siaran radio yang hampir diambil alih pihak OSIS.

"Tergantung apa dulu rahasianya," ujar Jani pura-pura jual mahal.

"Nama guru BK kita tertera di flashdisk tersebut. Jikalau beliau menemukan flashdisik tersebut terlebih dahulu, nama beliau beserta bukti yang tertera akan dihapus lalu diserahkan ke sepupu gua."

Memang benar setiap hal pasti memiliki sisi tergelap, tetapi ini terlalu gelap bagi Jani. Jika terbukti melakukan korupsi, sekolah ini akan diselidiki secara besar-besaran karena yang melakukan korupsi tidak hanya satu orang.

"Gila. Gua enggak menyangka sih. Kok bisa flashdisk tersebut ada di tangan sepupu lu?" 

"Karena sepupu gua cari tahu. Dia dapat kabar sekolahan kita ada kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Salah satu perusahaan pers punya keluarga besar gua mau mengusut kasus tersebut dan menyiarkan. Nah, sepupu gua bertugas buat mencari tahu dan bukti apa saja yang berada di lapangan."

Rahasia yang diberikan Daffa benar-benar memuaskan. Bayangkan saja sekolah tempat ia menuntut ilmu melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Guru BK SMA Nusa Pelita yang seharusnya memberikan didikan dan contoh yang baik menjadi salah satu pelaku yang melakukan tindakan korupsi.

"Fakta sekolah kita parah banget dan lu kenapa enggak kasih tahu dari dulu kalau keluarga lu punya perusahaan pers?" 

"Lu enggak tanya, lagi pula apa untungnya?" 

"Gua mau sesekali mampir biar tahu pekerjaan reporter kayak gimana?"

"Bukannya cita-cita lu jadi dokter? Kok tiba-tiba tertarik ke reporter sih?" tanya Daffa heran. 

"Kelamaan di Jurnalistik jadi berubah. Lu sih kasih tanggung jawab gua kebanyakan, cita-cita gua jadi bertambah!" sungut Jani.

"Oh ya perihal Jurnalistik. Lu mau balik lagi enggak?" 

Jani sudah mendeklarasikan bahwa dirinya keluar dari Jurnalistik, memang belum ditindak lanjuti oleh guru dan wakil kesiswaan, tetapi Daffa ingin meminta Jani untuk tetap di Jurnalistik. Tanpa gadis itu, program kerja Jurnalistik akan berantakan. 

"Untuk saat ini gua enggak mau karena lu memberikan tanggung jawab ke gua begitu banyak. Gua sampai melupakan bahwa kesehatan gua itu penting dan gua juga mau terjun lagi di perlombaan. Entah mengikuti olimpiade atau lomba KTI." 

Daffa tak mau menyerah, ia ingin memberikan sebuah penawaran menarik. Ia yakin gadis itu akan menyetujui tawarannya. "Tanggung jawab lu cuman siaran dan sebagai gantinya lu boleh kunjungan ke perusahaan pers yang dikelola sama keluarga besar gua. Setuju?" 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro