Chapter 39

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah menginjak kepala tiga, Jani tak percaya harus menghadapi kenyataan di depan mata.

Cowok remaja berkemeja biru dongker tengah menunjukkan gambar kelamin wanita. Gilanya, remaja itu mengkonfirmasi gambar tersebut adalah gambar alat kelamin Jani.

"Halo Andi. Terima kasih untuk salam pembuka sesi konsultasi hari ini."

Tidak seperti gambar yang berada di buku pelajaran biologi, gambar yang Andi buat benar-benar terlihat sangat detail.

Gambar itu memang bukan milik Jani, tetapi ia sebagai perempuan merasa ditelanjangi secara tak kasat mata. Namun, dirinya tidak bisa marah dan harus terpaksa bungkam karena jas putih yang membalut tubuhnya.

Sudah tiga pertemuan yang mereka lewatkan, tetapi Andi belum mengalami kemajuan. Bahkan Jani belum mengetahui apa yang membuat cowok itu melakukan hal seperti ini.

Setiap tiga pertemuan itu Jani selalu mendapatkan hadiah dari Andi. Cowok itu hanya membungkam mulutnya, membiarkan Jani bertanya dan berujung ibunya yang menjawab.

"Konsultasi kali ini akan berlangsung secara individu. Aku berpikir mungkin ada yang mau Andi ceritakan kepadaku, tetapi orang lain enggak boleh tahu."

Andi tetap diam. Cowok itu bergeming, bahkan badannya seperti dikutuk jadi batu.

Tak mau menyerah Jani kembali mencoba memancing Andi untuk membuka mulutnya.

"Ada hal yang membuat Andi kesal sama ibu?"

Berhasil. Andi memandang Jani, sepasang mata mereka saling bertabrakan dan Jani yakin permasalahan Andi bukan secara individu, tetapi berkaitan dengan ibunya.

"Boleh aku tahu apa yang membuat Andi kesal sama ibu?" tanya Jani lagi berusaha semaksimal mungkin.

Terlihat dengan jelas Andi merasa ragu. Namun, kemajuan yang cukup memuaskan remaja itu ingin berbagi dengan Jani.

"Hari itu aku melihat ibu dan paman di dalam kamar. Pintu tidak tertutup rapat dan aku melihat keduanya secara jelas. Satunya sama seperti milikku, tetapi milik ibu terlihat berbeda."

Memang bukan permasalahan individu rupanya. Andi bersikap demikian karena dia tak sengaja melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat.

"Apa benar yang Andi lihat itu paman?" Andi mengangguk membuat Jani menatap remaja itu dengan tatapan iba. Ibunya selingkuh.

Jani mengeluarkan flashdisk yang diberikan ibu Andi saat konsultasi pertama usai.

"Andi tahu isi flashdisk ini?"

Raut wajah Andi sangat sulit dimengerti Jani. Dia terlihat senang, tetapi juga terkejut.

"Kembalikan! Aku mencarinya ke mana-mana."

Andi berniat menggapai flashdisk yang berada di tangan Jani, tetapi belum sempat flashdisk tersebut berpindah tangan Jani sudah memasukkan kembali ke dalam kantongnya.

"Aku pinjam dulu ya?" pinta Jani mengamankan sesuatu yang membuat Andi semakin candu.

Flashdisk tersebut berisi cuplikan orang dewasa yang berada di dalam kamar dan tak mengetahui ada kamera tersembunyi yang merekam kegiatan mereka. Tak hanya cuplikan, beberapa foto wanita yang memperlihatkan anggota badannya tanpa memakai busana pun juga ada.

"Kembalikan!" teriak Andi marah.

"Nanti kita nonton bersama bagaimana?" tanya Jani mencoba bernegosiasi.

Hal yang paling penting untuk saat ini ialah membuat Andi tenang dan bersedia bekerja sama dengannya dalam sesi ini.

"Dokter juga suka menonton ini?" tanya Andi. Wajahnya terlihat bahagia seperti menemukan harta karun yang berharga.

Dengan terpaksa Jani mengangguk pelan dan menjawab, "Mungkin."

"Mau menonton bersama secara langsung?" tanya Andi membuat Jani melotot.

Sepasang bola matanya hampir meloncat keluar mendengar ajakan Andi yang di luar nalar. Kaget sudah pasti, tetapi Jani lebih ingin tahu apakah ada tempat untuk menonton seperti itu secara langsung.

"Memangnya ada yang secara langsung?" tanya Jani ingin tahu.

"Ibu seringkali bersama paman yang berbeda di dalam kamar. Mereka selalu bertemu pada malam selasa dan malam minggu."

Hilang akal. Ibu mana yang selingkuh dengan banyak laki-laki dan anaknya mengetahui perselingkuhan tersebut? Bukan mengetahui saja, tetapi memperhatikan dengan rinci kegiatan yang melanggar batas norma.

"Andi tahu ibu sering bersama paman sejak kapan?"

Andi mencoba mengingat-ingat. "Mungkin setahun yang lalu."

"Apa yang Andi rasakan atau Andi lakukan saat memperhatikan ibu dan paman di balik pintu?"

"Dokter ingin melihat secara langsung? Tetapi dia tidak akan tertarik karena Dokter mengetahuinya."

Pertanyaan menjebak membuat Jani tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Bisa diamuk Naren dirinya jika menuruti kemauan remaja dengan gangguan voyeurisme.

Voyeurisme sendiri merupakan kepuasan seksual yang diperoleh dengan mengintip lawan jenis atau mengintip suatu kegiatan seksual dan voyeurisme merupakan salah satu jenis gangguan parafilik.

Semula Jani ingin menghentikan sesi konsultasi kali ini. Namun, ia menyadari sesuatu dari kalimat Andi sebelumya.

"Dari mana Andi tahu kalau aku mengetahuinya, dia tidak akan tertarik?"

Dengan santai Andi menjawab, "Saat aku melakukan dengan pacarku. Aku merasakan perasaan yang berbeda dibandingkan saat aku melihat ibu dan paman."

Semoga saja gangguan parafilia yang dialami Andi tidak termasuk ekshibisionis. Bisa rumit urusannya.

"Kalau begitu untuk sesi kali ini sudah selesai."

Waktu sesi konsultasi memang dibatasi dan Jani menyisihkan 15 menit untuk berbicara dengan ibu Andi.

"Apakah Dokter juga merasakannya?" tanya Andi tiba-tiba.

Raut wajah Jani tampak bingung dengan pertanyaan tak terduga yang dilayangkan Andi.

"Apakah Dokter juga merasakan sensasi menegangkan dan ingin melakukannya secara berulang?"

***

Sudah terbiasa Jani menikmati malam sendiri untuk melakukan pekerjaannya sebagai redaktur. Papan dengan tulisan Berita Digital menempel di depan pintu ruangan. Bagian berita digital hanya beranggotakan 5 orang termasuk dengan Jani yang bertugas sebagai redaktur.

"Baru masuk kerja? Jam segini seharusnya di rumah."

"Terima kasih loh Pak sudah meluangkan waktu untuk mengunjungi bawahan," balas Jani dengan maksud meledek.

Waktu, tenaga, dan biaya sebisa mungkin Jani kerahkan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Walaupun menjadi wartawan hanya bisa Jani rasakan saat magang, setidaknya ia bisa mewujudkan impiannya.

"Enggak capek?" tanya Daffa memberikan kopi dalam kemasan botol.

"Capek lah. Makasih minumannya, tapi di ruangan lu ada apa aja sih? Roti, mie, susu, bahkan kopi juga ada. Buka usaha lu?"

"Gua ambil lagi nih kopinya?!" ancam Daffa membuat Jani memegang erat botol plastik berisi kopi yang diberikan Daffa. Ia sangat membutuhkannya.

Jani duduk di kursinya dan menyalakan komputer untuk melakukan desking. Tak hanya penyeleksian, Jani juga melakukan perbaikan pada berita.

"Kenapa lu lebih sering ke berita digital saat gua ada di sini?"

"Karena gua punya urusan sama lu. Gua enggak pengangguran kali. Gua menemui lu karena mau minta tolong."

Dengan wajah bingung dan dahi mengernyit, ia bertanya, "Tolong apa?"

"Gantikan gua untuk melakukan wawancara calon pegawai baru."

"Lu tahu sendiri gua pagi sampai siang lebih sering di rumah sakit," tolak Jani karena jadwal waktunya yang padat.

Setiap hari kerja bahkan akhir pekan pun Jani lebih sering berada di rumah sakit saat pagi hingga sore hari, sedangkan malam hari gadis itu menghabiskan waktunya di depan komputer.

"Belum pulang minggu ini?" tanya Daffa membuat Jani mengangguk.

Saking sibuknya terkadang Jani tidak pulang ke rumah. Ia lebih sering tidur di rumah sakit atau di depan komputer dengan keadaan menyala.

Walaupun jadwal Jani super sibuk, untung saja Naren tidak rewel dan sampai saat ini hubungan mereka masih awet. Bahkan sebentar lagi cowok itu akan menikahinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro