Arka Adalvino

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arka Adalvino. Pemuda berambut pirang, berparas lumayan tampan serta memiliki tinggi badan sekitar 175 cm.

Saat ini Arka berusia 16 tahun. Ia duduk di bangku sekolah menengah atas, kelas 11 jurusan IPA.

"Arka, ayo turun sarapan dulu!" seru Ibu Tina. Tinatia Calista, nama Ibu kandung Arka.

"Siap, Bu!" sahut Arka menuruni anak tangga pelan.

Arka sudah duduk di ruang makan. Ibu dan Bapak juga telah duduk rapi.

Beberapa menu makanan tersaji di meja makan dengan alas piring serta mangkok. Pemandangan ini membuat Arka meneteskan air liur.

"Jorok banget kamu, Arka," tegur Ibu Tina.

Arka langsung mengelap air liur dengan tisu kering. Ia pun hanya tersenyum lebar. Bapak Thomas, ia tertawa kecil melihat kelakuan anak semata wayangnya.

Thomas Aldavino, seorang Kepala rumah tangga. Ia memimpin sebuah perusahaan besar di salah satu Benua Asia dan sebagian Eropa.

"Sebelum makan, mari kita berdoa. Berdoa di mulai!" ujar Bapak Thomas.

Keluarga harmonis ini sarapan pagi dengan tenang. Arka pun membantu Ibu mencuci piring kotor, lalu izin pamit berangkat sekolah mengendarai sepeda keluaran terbaru.

#kode nama#

Arka mengayuh sepeda semangat. Ia  tersenyum di saat teman-teman sekolah menyapa dirinya.

"Pagi Alika," sapa Arka tersenyum tipis.

Arka sudah tiba di parkiran khusus sepeda di dekat gedung B sekolah. Arka tak sengaja bertemu dengan Alika yang sibuk merantai ban sepeda.

"Pagi juga Arka," balas Alika menepuk punggung Arka cukup keras.

Siluet sepasang sayap api muncul di punggung Arka lalu menghilang. Alika mengerjapkan kedua mata pelan.

"Ah. Mungkin hanya halusinasi saja." batin Alika polos.

Rasa ngilu di punggung Arka rasakan. Walau Alika terlihat seperti Siswi feminin, tetapi ia merupakan atlet karate bersabuk hitam tingkat akhir yang sering menjuarai perlombaan perwakilan sekolah.

"Begitu saja sudah kesakitan," ejek Alika tersadar.

"Aku sedang tak ingin berdebat denganmu," ujar Arka meninggalkan Alika.

"Hei tunggu aku!" Alika menyusul Arka pergi yang menghilang di balik dinding lorong.

Di dalam kelas Arka sudah duduk rapi. Arka menyiapkan buku pelajaran pertama serta alat tulis lengkap lainnya. Berbagai macam seperti pensil, pulpen, penghapus, penggaris besi, tipe X, spidol berwarna serta buku catatan kecil.

"Kau rajin sekali." Alika datang meledek.

"Ya," jawab Arka cuek.

Arka memilih fokus untuk belajar. Pagi ini akan diadakan kuis Fisika dan ia harus mendapatkan nilai tertinggi.

Alika menyerah. Jika Arka sudah fokus, ia akan dalam mode serius. Dan bagi yang mengganggu Arka, maka hari-hari di sekolah takkan tenang untuk selanjutnya.

#kode nama#

Bel istirahat berbunyi. Arka langsung menuju ke atap sekolah. Ia akan meluangkan waktu istirahat dengan menyendiri sambil menikmati bekal makan buatan sang Ibu tercinta.

Arka sudah berada di pintu menuju atap. Saat ia membuka pintu sebuah cahaya terang menyilaukan mata.

"Kau lama sekali," ujar seorang Lelaki berambut hitam dan memakai kacamata berbentuk kotak.

Arka mengerjapkan kedua mata menyesuaikan cahaya yang menyilaukan. Ia terkejut melihat sosok Lelaki asing tengah menatap dirinya santai.

"Si-siapa kau?" tanya Arka waspada.

Arka melirik ke arah belakang. Ia akan berlari menuju pintu. Namun, hal itu sudah diketahui oleh sosok Lelaki asing tersebut.

Lelaki itu menggerakan tangan seolah menulis sebuah kalimat di angin. Tiba-tiba atap sekolah berubah menjadi sebuah ruang tertutup.

"Kau bisa memanggilku Riza. Dan aku adalah korban yang kau tabrak semalam di sebuah gang kota." Riza mengeluh. Ia masih merasakan nyeri di bagian bokongnya.

"Eeh!" seru Arka.

Riza terlihat duduk santai di bangku besi. "Silahkan duduk, aku bukan orang jahat."

Arka terkejut. Ia baru saja memikirkan bahwa Riza adalah orang jahat yang mau menipu dirinya.

Perlahan Arka duduk walau dalam posisi ragu dan waspada. Riza tersenyum tipis melihat respon Arka.

"Arka ... apakah kau mengalami hal-hal aneh?" tanya Riza. Tiba-tiba secangkir kopi hitam muncul di depan Riza. Ia dengan santai menyeruput kopi hitam dengan kepulan asap panas.

Arka termenung. "Apakah itu sihir?" tanya Arka polos.

"Haha ... tidak. Ini bukan sihir melainkan kekuatanku. Aku memiliki kode nama 'A'." jawab Riza santai.

Arka semakin bingung. "A? Maksudmu?"

"A untuk Author. Dan sepertinya kau juga memiliki kode nama yaitu huruf abjad 'P' menempel di punggungmu." jawab Riza kembali.

Riza menjentikkan satu jari, lalu muncullah sebuah cermin di belakang Arka. Baju seragam Arka bagian belakang terangkat sedikit menampilkan huruf 'P' transparan.

Arka bisa melihat huruf 'P' melalui cermin. Ia semakin bingung, lalu merapikan seragam belakangnya kembali. "Ini seperti pelecehan," gumamnya.

"Hei! Jaga ucapanmu!" seru Riza tak terima.

Arka hanya cuek. Ia pun bangkit dari tempat duduknya. "Cepat kembalikan aku dan hentikan omong kosong ini!"

"Baiklah. Nanti pulang sekolah aku akan menemui kembali dan... kode namamu itu jangan sampai aktif." Riza memperingati.

Riza memejamkan mata sejenak. Arka sudah berada di kelas dalam posisi duduk di kursi.

"Eeh!" seru Arka terkejut.

~kode nama~

Arka selesai merapikan alat tulis sejak lima menit lalu. Arka belum ada niatan beranjak keluar kelas. Sejak kejadian saat jam istirahat tadi, Arka tak bisa fokus belajar  ia selalu teralihkan dengan berbagai macam informasi yang menurutnya di luar nalar.

"Ka, kamu gak pulang?" tanya Alika. Ia baru memasukkan buku mata pelajaran terakhir ke dalam tas.

"Nanti," jawab Arka cuek.

Alika tak kehabisan akal. Ia akan berusaha mengajak Arka mengobrol kembali.

"Mau pulang bareng?" Alika mengajak.

"Tidak," jawab Arka cepat.

Alika sangat kesal. Ingin rasanya Alika menampar wajah Arka saat ini juga.

Tiba-tiba sebuah guncangan terjadi. Alika yang panik reflek memeluk tubuh Arka. Arka terkejut akibat dua benda besar menempel di wajahnya yang otomatis berwarna kemerahan.

"Ee-eeh!"

Duarr!!!

Suara ledakan besar terdengar dari arah belakang gedung sekolah. Arka melihat kepulan asap hitam melalui jendela.

"Ahh!" seru Arka kesakitan.

Huruf 'P' di punggung Arka bercahaya dan rasanya seperti terbakar. Ia lantas berdiri melepaskan pelukan Alika. Alika hampir terjatuh membentur ujung meja, saat itulah tangan Arka reflek menarik kedua tangan Alika hingga berdiri kembali.

Kedua mata Arka awalnya berwarna hitam berubah warna menjadi kemerahan. Alika tertegun sejenak hingga suara ledakan kembali muncul dan tepatnya di dekat kelas Arka berada.

"Ahh!" jerit Alika ketakutan. Ia memilih menundukkan kepala.

Dan sepasang sayap berelemen api muncul di punggung Arka. Arka terdiam melihat perubahan pada bagian tubuhnya. "Aa-aku memiliki sebuah sa-sayap."

"Aku menemukanmu bocah burung," ujar sosok monster berwujud setengah manusia Elang. Ia menyeringai tipis.

"Kau makhluk apa?!" Arka terkejut melihat wujud monster di depannya.

~19/07/2024~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro