Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari itu kabut tebal turun di sepanjang jalur pendakian. Orang-orang kota sering menyebut kawasan konservasi ini "negeri kabut". Luasnya hampir dua kali kota Jakarta, membentang dari Kabupaten Bogor sampai kawasan Banten. Karena jarak pandang antara dirinya dengan tim sangat tipis, seorang gadis bernama Tat belari-lari menyusuri jalur yang sempit dan penuh kerikil. Rasanya ia tak jauh dengan kawan di depan, tapi entah mengapa kawan-kawannya tak tergapai juga.

Tat lantas menggelinding dari lembahan bukit tempat ia tengah melakukan pemantauan dengan tim konservasi. Setelah sampai di kaki lembahan, Tat memaki-maki entah. Ia sedikit terkejut dan nyaris menangis. Namun, ia mengurungkan niat bersedih karena tak ingin buang-buang energi.

Tat bangkit dan menepuk bokongnya yang terkena tanah hutan tropis. Belum sempat ia berpikir, otaknya malah mengirim impuls dan mengabarkan bahwa ada derap statis tengah mendekat. Tat mendekat ke arah derap dan memanggil kawan-kawannya.

"Yopi?! Itu lo bukan?!" serunya di tengah kabut.

Tak ada jawaban, tapi suara derap semakin mendekat.

"Yop?!" panggilnya lagi.

Belum sempat derap itu mewujud, letusan senjata api terdengar di kejauhan.

"Anjrit!" Tat memaki dan ia berlari menjauhi derap itu.

Entah apa yang dilakukan orang-orang itu di hutan, tapi Tat yakin mereka membawa senjata. Gadis berkaca mata dengan kulit sawo matang itu berpikir, mungkin saja mereka adalah pemburu satwa liar yang ada dalam pengawasan balai konservasi. Namun, jika memang mereka adalah orang yang Tat duga, bisa saja ia tak selamat. Tentu saja Tat dalam bahaya.

Maka di tengah-tengah hutan berkabut tebal, Tat berlari ke arah sebaliknya. Ia bahkan tak bisa melihat dengan jelas apa yang di hadapan. Ia hanya ingin selamat.

"Bangsat bangsat bangsat!" maki Tat lagi. Ia melakukannya hanya untuk tetap waras dan tidak terkena hipotermia. Kadang-kadang, di tempat dingin dan ketika suhu tubuh makin menurun, seseorang bisa terjangkit penyakit gila. Pertama, suhu tubuh menurun, lalu ia akan menggigil, kejang-kejang, mengecoh tak jelas, dan mulai tak akan merespons apa saja yang otak kirimkan sebagai impuls. Mereka bisa tiba-tiba mati rasa dan parahnya, gagal jantung. Jadi, lebih baik Tat berlari sekencang-kencangnya agar suhu tubuh terjaga.

Tepat saat Tat baru menembus kabut, suara air terdengar. Ia berhenti mendadak dan hampir saja jatuh ke jurang kalau saja...

Kalau saja seseorang tak menarik tangannya secara tiba-tiba dan menjadi tumpuan dirinya yang panik.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya orang itu.

Tat melongo seperti orang tolol. Ia menimpa seorang lelaki dengan wajah coreng-moreng dan topi kusut serta penuh tanah dan daun. Apa yang lelaki itu lakukan?! Cosplay di tengah hutan? Apa dia orang gila yang juga terkena hipotermia?

"Hah?!" balas Tat panik seraya mulai bangkit dan kembali menepuk-nepuk bagian pakaiannya yang terkena tanah.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Ini kawasan partisan!" bisik lelaki itu. Ia menarik Tat menjauh dari jalan setapak di hutan dan masuk ke ceruk.

Saat keduanya berteduh di ceruk itu, di bagian atas yang merupakan jalan telusur bukit, derap langkah terdengar.

Suara-suara asing mulai mengisi dan meramaikan derap.

"Niet hier!" seru seseorang di antara langkah-langkah serdadu.

Tat menajamkan indra pendengarannya dan mengernyitkan dahi. Ia menengok lelaki di sampingnya yang hanya memberi isyarat agar Tat tidak bersuara. Gadis itu tentu saja menurut. Namun, ia bingung dengan semua hal di hadapannya dan otaknya terus-terusan berpikir. Apakah barusan ia mendengar bahasa Belanda? Pasti dia salah dengar, kan?

Sepertinya Tat sudah terlalu jauh berjalan dari kawasan konservasi. Lebih jauh lagi, rasanya ia sedang tak berada di tahun dua ribu dua puluh. Tat mulai panik dan menunduk. Ia berharap agar apa yang dialaminya hanyalah mimpi buruk.

*

(Log Unggah: Kamis, 6 April 2023)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro