BAB 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Panas siang ini mencapai tiga puluh tiga derajat, yang barangkali bisa membuat telapak kaki melepuh bila berjalan tak memakai alas. Namun, teriknya matahari tidak lebih panas dari suasana kantor akhir-akhir ini. Begitu juga dengan pikiran dan hati Viola yang rasanya diisi api membara dari pagi.

Semuanya bermula ketika Viola disebut sebagai pelaku perempuan yang berada dalam video mesum viral berdurasi tiga puluh dua detik. Viola pun tak tahu, sebenarnya siapa yang menjadi dalang penyebar rekaman tersebut. Ia sendiri juga tidak merasa dan tidak kenal pada perempuan yang direkam.

Video singkat itu menampilkan seorang perempuan dengan tubuh ramping, yang hanya memakai kutang juga celana dalam berwarna merah terang. Si perempuan tampak menggoyangkan kedua pundak, memamerkan dada sekal ke arah kamera. Viola yang melihat rekamannya bergidik jijik, pun ia tak punya buah dada sebesar itu jika memang benar wanita dalam video adalah dirinya.

Hanya saja, perempuan itu mirip dengannya. Benar-benar mirip. Hidung yang kecil bangir, rambut hitam panjang bergelombang, mata kecil dengan bibir bagian bawah tebal dan tubuh ramping dengan kulit kuning langsat. Viola tetap kukuh itu bukan dirinya. Ia hanya punya ukuran dada yang tertangkup oleh kutang kain tanpa busa, juga wanita dalam video tidak memiliki dua tahi lalat di leher bagian kiri sepertinya, sebagai bukti. Orang-orang tetap tidak percaya.

Sebetulnya, Viola tidak terlalu menanggapi berita tersebut, menganggapnya gosip seperti ini pasti cepat berlalu. Maka dari itu, ia santai saja. Tapi, setelah pagi tadi ia mendengar bahwa video mesum yang mengatasnamakan dirinya sampai di tangan direktur utama perusahaan hingga orang-orang pemegang saham. Sekarang, bagaimana Viola bisa santai?

"Mbak."

Tubuh Viola terlonjak, tersadar dari lamunan yang terus menekan. Viola menoleh, menerbitkan senyum manis pada seorang pria yang berdiri di samping dengan tatapan tak minat ke arahnya.

"Dipanggil Pak Farid."

Kedua alis Viola naik, detak jantungnya mengencang karena terkejut. Perasaan Viola mulai tidak enak, bila si direktur keungan sudah memanggilnya seperti ini. Ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum pria itu berbalik pergi.

Viola mengambil ponselnya seraya bangkit yang ternyata gerakannya menarik atensi dari seluruh staf di ruangan. Viola mengedarkan pandangan, menemukan orang-orang di sana menatap tajam, seperti bersiap mengeluarkan laser dari mata mereka. Ia mengalihkan pandangan, pura-pura tak sadar dengan arti tatapan itu. Viola menggeser kursi merapat ke meja sebelum melangkah keluar dari ruang divisi yang semakin dipenuhi hawa panas. Besok, ia akan bawa kipas angin agar ia tidak terlalu gerah berada di ruangan.

Tidak butuh waktu lama, hanya menaiki satu lantai untuk bisa sampai di ruang direktur keuangan, Farid. Viola berdiri di depan pintu hitam, yang seketika menjelma seperti pintu ruang sidang skripsi. Perasaan takut seketika menekan pikiran dan batinnya. Perempuan itu mulai membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi di dalam sana nanti.

Viola menarik napas kuat dan mengembuskan pelan, menetralkan diri dari tekanan sebelum mengetuk pintu. Suara dari dalam mempersilakan Viola untuk masuk, pintu dibukanya perlahan. Ia melangkah dan menghadap seorang pria dengan kepala botak mengkilap yang tersinari cahaya dari kaca di arah belakang. Kemeja berwarna biru yang dipakai si pria dengan kerah terlipat dan dasi yang terpasang longgar, memberi kesan bahwa pria itu sedang dalam banyak pikiran.

Viola tidak berani membuka suara duluan, menunggu Farid selesai berkutat dengan dokumen di tangannya. Ia menaruh perhatian pada tumpukan map di atas meja, hal sama yang sering ditemukan di mejanya, mengingat bagian keuangan memiliki tupoksi yang cukup krusial bagi perusahaan. Dalam hati, Viola mengingatkan dirinya untuk jangan sampai salah bicara karena biasanya bagian keuangan lebih 'sensitif'.

Satu dehaman menarik atensi Viola kembali pada pria tersebut. Farid melepas kacamata berbingkai kotak yang sudah menjadi ciri khasnya. Dengan helaan napas frustasi, pria itu melempar dokumen di tangan pada tumpukan map di atas meja.

"Duduk, Viola," titahnya yang segera Viola patuhi.

Posisi duduk Viola terlihat tidak nyaman, punggungnya sangat tegak dengan kaki kiri bergoyang. Tangannya menarik ujung rok span yang dipakai untuk menutupi lutut yang gemetar. Viola meneguk saliva, tenggorokannya tiba-tiba kering padahal ia adalah orang yang rajin minum air. Ia berusaha tersenyum kecil, meski jantungnya berdetak kencang seperti habis lari maraton.

Farid menatap Viola untuk beberapa detik dengan raut wajah tak dapat ditebak, membuat urat di tubuh Viola semakin tegang dengan desiran darah yang semakin cepat dipompa jantungnya.

"Kamu tau 'kan, kalau video mesum kamu itu sampai di petinggi perusahaan?" tanya Farid tanpa nada, Viola mengangguk kaku.

Farid memejamkan mata sembari menarik napas dan mengembuskannya berat. "Kamu." Jari telunjuknya terangkat ke arah Viola. "Perusahaan ini, namanya rusak karena rekaman mesum itu!" ucap Farid, urat di kening sampingnya berkedut dengan rahang mengeras. Rasa-rasanya, kepala Farid mau pecah karena dipenuhi berbagai masalah.

Viola menggigiti bibir, tidak berani berkata dan hanya bisa menunduk malu. Entah malu untuk apa karena dia tidak merasa melakukan hal mesum yang semua orang tuduhkan. Viola salah satu dari sekian manusia yang memegang prinsip, no sex before marriage. Jadi, bagaimana bisa orang-orang menuduhnya melakukan hal separah itu? Viola juga tak cukup bukti sebagai alasan kuat bahwa ia bukan perempuan dalam video, sehingga hampir semua orang di kantor menekannya lewat tatapan dan pembicaraan.

Dada Farid tampak mengembang dan mengempis, pria itu mati-matian menahan amarahnya agar tidak lebih dari sebuah teguran yang tegas. "Cari pelakunya Viola. Kamu tidak malu aib kamu tersebar?" Nada suaranya sedikit menurun, Farid sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Viola.

Sederet kalimat tanya dari Farid membuat jantung Viola berhenti berdetak kencang. Perempuan itu mengangkat wajah, menatap bingung pada Farid. Viola merasa tersinggung dengan ucapan Farid yang seolah masalah ini datang darinya.

"Aib? Aib siapa, Pak?" tanyanya dengan nada tak terima. "Kenapa saya harus malu dengan aib yang tidak saya perbuat?"

Merasa salah bicara, Farid memundurkan tubuhnya karena ditatap intens oleh Viola. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, melonggarkan otot wajah dan berdeham. "Maksud saya, kita tidak bisa diam saja. Wajah kamu sudah dikenal karena menjadi karyawan yang sangat aktif tampil di berbagai kegiatan. Pembawa acara, host meeting, model brosus juga. Kamu sudah menjadi wajah perusahaan."

Mata Viola mendelik, ia menelan kembali amarahnya yang sempat muncul tadi dengan helaan napas. "Bapak mau saya bagaimana? Saya sudah melakukan semuanya, saya juga sudah lapor polisi."

"Nah!" Farid menjentikkan jari di depan wajah Viola yang sedikit terkejut. "Bagaimana dari pihak polisi? Apa mereka sudah menghubungi kamu?" tanyanya, perubahan intonasi suara yang cukup drastis karena pria itu kini tersenyum sambil berharap.

Viola menunduk, mengurut pangkal hidungnya, ia menggeleng. Farid menghela napas panjang, tubuhnya dibawa ke belakang pada sandaran kursi dengan senyum yang ikut hilang. "Masa seminggu laporan tidak ada perkembangan?" tanyanya lagi, penasaran.

"Memang tidak ada, Pak," jawab Viola pelan.

"Kalau begitu," ucapnya sambil memejamkan mata. "Sekarang datangi kantor polisi, tanyakan pada mereka perkembangan kasusnya," titah Farid. Viola mengangguk dan berpamitan sebelum pergi.

***

"Pak, masa sudah satu minggu tidak ada perkembangan? Memangnya tidak diproses? Bapak-Bapak ini kerjanya apa, sih! Ini kasus sepele, loh!"

"Kalau sepele, kenapa tidak Ibu saja yang memproses sendiri?" Sahutan dari seorang polisi yang duduk di meja sudut membuat Viola naik darah. Matanya mendelik tajam, ia menghampiri si petugas polisi yang dengan santai menatapnya. Kaki Viola berjalan dengan hentakan, seperti hewan buas siap menerkam.

"Karena saya akui," ucapnya memberi jeda. "Saya bodoh dan tidak bisa menyelesaikan masalah saya yang sepele ini. Makanya saya minta tolong pada kalian!" Viola menggigit bibir bawah dalam dengan mata mulai berair. Si petugas hanya menatapnya dengan datar, tanpa ekspresi.

Jangan nangis, batin Viola yang segera mengusap kedua matanya dengan kasar. "Pak," ia berbalik kembali pada polisi yang dimintai perkembangan laporan. "Saya mohon, bantu saya menaikkan laporan. Saya benar-benar di ujung tanduk, maju atau mundur pun saya akan jatuh," mohonnya dengan suara yang lirih. "Saya akan lakukan apa saja, berlutut pun saya bisa," lanjutnya dengan tubuh perlahan turun, ingin membuktikan kalau yang diucapkannya bisa dilakukan.

Dua petugas polisi segera menghampiri, memegangi lengan Viola yang akan berlutut. Keduanya melarang Viola untuk melakukan apa saja yang bisa merusak harga diri perempuan itu. Viola kembali berdiri dibantu petugas polisi yang mengarahkan Viola untuk duduk di kursi.

"Pak—"

"Sudahlah, Bu," potong petugas polisi yang membuatnya tersinggung tadi. "Pelapor di sini tidak hanya Ibu, dan kami tidak akan memprioritaskan siapa pun. Bagi kami, semuanya sama. Sama-sama perlu dan penting."

Viola mengembuskan napasnya, perkataan polisi itu tidaklah salah. Namun, Viola benar-benar sudah menunggu lama. "Tapi sudah se—"

Polisi itu memandang penuh ke arah Viola, segera menimpali, "mau satu minggu, satu bulan atau satu tahun pun, kami perlu waktu untuk mengusut sebuah laporan, Bu. Mohon pengertiannya." Ia mendesah panjang sambil mengusap wajah, ikut frustasi dengan sikap Viola yang keras kepala.

Perempuan itu menatap satu persatu pertugas polisi yang kini memandangnya dengan prihatin. Viola merasa malu dengan sikapnya yang tidak baik pada petugas polisi. Ia yang membutuhkan bantuan, ia sendiri yang malah marah dan tidak sabaran.

"Maaf, Pak," lirih Viola yang segera bangkit seraya menyampirkan tas di pundak. "Kalau begitu saya pamit, terima kasih."

Viola segera berbalik, mengambil langkah lebar dan berjalan cepat sembari menunduk dengan pikiran yang makin kacau bagai benang kaset yang kusut. Tanpa disadari dari arah seberang, seorang pria yang menunduk dan sibuk dengan ponsel di telinga berjalan ke arahnya.

Viola yang tidak sadar akhirnya menabrak dada si pria tanpa sempat menghindar, hingga ia hampir saja terpental ke belakang. Beruntung, refleks dari si pria cukup bagus dan sempat memegang erat lengan Viola yang akan terjatuh.

"Hati-hati, Mbak." Pria itu memeringati, segera menunduk untuk  mengambil ponsel yang ternyata terlepas dari tangannya yang spontan menahan tubuh Viola.

Viola terkejut bukan main, jantungnya berdetak kencang sambil ikut melihat ponsel si pria. "Mas nggak apa-apa? Maaf, saya nggak sengaja."

Pria itu terkekeh dan berdiri tegak, memeriksa ponselnya dengan layar penuh butiran tanah. "Kalau HP-nya rusak, biar saya ganti, Mas," ujar Viola, merasa bersalah.

Pria itu hanya tersenyum dan memasukan ponsel ke dalam saku jaket. "Enggak apa-apa, kok ...." Kalimatnya menggantung ketika iris mata cokelat gelap itu melihat sosok perempuan yang berdiri di depannya dengan tatapan khawatir.

Alis si pria yang mengerut karena silau matahari, semakin menyatu menatap wanita di depannya. Viola terpaku ketika pandangannya bertemu dengan mata si pria, raut khawatir Viola luntur berganti raut keterkejutan.

"Ola?"

"Bang El!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro