BAB 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Viola Salini:
Bang, jemput lagi ya
Hehe

Gevariel mendengus geli mendapat pesan yang didapat, diam-diam ia menahan senyumnya yang ingin melebar. Lantas, lelaki itu mengirimkan balasan pesan singkat.

Gevariel Gardapati:
Y

Sangat singkat.

Terbayang wajah Viola yang pastinya berubah masam mendapatkan respon malas-malasan darinya. Gevariel terkekeh sendiri, yang disadari oleh ketiga temannya yang lain. Mereka duduk mengelilingi salah satu meja di warung kopi.

"Kalau punya pacar, dunia serasa milik berdua, ye," sindir salah satu teman bernama Bakrie.

Pipinya bersemu, tidak menanggapi. Gevariel membenarkan jaket kulit hitam yang masih bau khas baju baru. Kalung rantai mengikat longgar leher, kaos dalam merahnya menjadi sorotan siapa pun yang melihatnya. Jangan lupakan sepatu boots hitam di kedua kakinya.

Gevariel meletakkan ponsel berikut memilih menghabiskan kopi hitam di dalam gelas. "Gue duluan ya," pamitnya, seraya berdiri meraih kembali gawai.

Ketiga teman satu kepolisiannya tidak sempat bertanya, apalagi menahan langkah Gevariel. Lelaki itu buru-buru melangkah ke luar warung kopi.

"Kayaknya beneran dia punya cewek, tuh," ucap pria dengan rambut klimis, dua yang lain mengangguk setuju.

"Jadi, tiga ratus delapan puluh sembilan ribu," ucap pemuda warung bernama Beni, yang fokus pada buku di tangannya. "Kurang seribu, tapi karena gue baik, gue buletin aja jadi tiga ratus sembilan—" kalimatnya terputus ketika di meja nomor lima itu hanya tersisa tiga orang. "Loh, mana Bang Gev?"

"Udah balik."

Beni bertolak pinggang, geleng-geleng kepala, sambil mulutnya bersungut-sungut. "Wong gendeng! Katanya mau bayar utang."

***

Lembayung jingga menggantung di atas langit Jakarta Selatan. Gevariel memutar kemudi, memasuki area perumahan Viola. Rumah Viola berada di blok D, jajaran rumah sebelah kiri. Dari jarak jauh, dapat dilihatnya gadis itu memakai terusan berwarna putih gading, dengan motif bunga yang memenuhi.

Giliran Gevariel mengimbagi outfit perempuan itu kemarin, Viola malah memakai baju normal. Sekarang, pria itu malah keliatan aneh sendiri.

"Cakep bener," puji Gevariel, ketika perempuan itu masuk ke dalam mobil. Yang dipuji hanya mendelik, seraya duduk, dan menutup rapat pintu.

"Jadi anak metal lo?" tanya Viola sewot, tapi lanjut terkekeh, setelah menyadari pakaian Gevariel. "Metal," lanjutnya lagi seraya menunjukan simbol metal dengan tangan. Gevariel mendelik sebal.

Mobil segera melaju, membelah jalanan kembali ke ujung Jakarta Barat. Kali ini Viola tidak tetidur, perempuan itu bernyanyi bersama radio yang dinyalakan kencang. Gevariel hanya menggeleng kecil.

"Pelanin, La," tegurnya, mengecilkan volume radio yang memutar lagu kekinian.

Perjalanan cukup panjang, untung saja jalanan tidak semacet biasanya. Gevariel membuang napas lega ketika mobil sudah berada di lahan parkir rusun. Viola keluar dari dalam mobil, diikuti Gevariel yang segera melangkah ke dalam. Kali ini lewat pintu depan dan pakai lift, bukan lagi menaiki tangga.

"Gimana perkembangan kasus gue?"

Gevariel memandang Viola datar dengan hembusan napas yang terdengar panjang. Baru kemarin perempuan itu bertanya hal yang serupa. Ia jadi heran, mengapa perempuan ini sangat terburu-buru, dan bawel seperti klakson.

"Masih dalam proses, La." Gevariel menjawab dengan intonasi malas. "Udah gue bilang, kalau ada perkembangan pasti gue kasih tau."

Viola mengerucutkan bibir mendengar nada bicara Gevariel yang terdengar malas menjawab pertanyaannya. Padahal kan, cuma tanya.

Pria itu melangkah duluan ketika pintu lift terbuka, kakinya membawa tubuh yang besar belok ke kiri. Sementara di belakangnya, Viola memandang sebal, dengan mulut yang bergerak-gerak, mengumpati pria di depannya.

Meski rusun yang disewa Gevariel memiliki fasilitas lift namun, setiap unit yang disewakan masih memiliki keamanan yang kurang. Sebab, akses pintu masih menggunakan kunci standar.

Gevariel merogoh sakunya, mengeluarkan kunci, untuk membuka pintu. Viola masih mengekori di belakang, dengan wajah yang merenggut. Pintu dibuka, Gevariel lantas masuk ke dalam. Belum Viola melangkahkan kaki, seorang perempuan dari unit kamar sebelah keluar. Matanya tak sengaja melihat pada Viola, ia tersenyum canggung, dan mengangguk. Viola membalasnya singkat, segera masuk marena dari dalam unit Gevariel memanggilnya.

***

Viola baru saja selesai menelepon ibunya, yang menanyakan keberadaan sang anak mengingat hari sudah malam. Viola memberi alasan, kalau sedang di rumah teman. Tidak bohong, karena Gevariel memang temannya. Tidak ada yang salah dengan itu. Meski tetap mendesak Viola untuk segera pulang, sang ibu percaya dengan jawaban anaknya.

"Bosen banget," keluh Viola, bersandar pada sisi sofa, berselonjor di lantai. Tidak ada kertas yang bertebaran seperti yang kemarin ia lihat, semuanya tampak rapi. Viola dapat menduga, kalau Gevariel membereskan ruangannya sebelum Viola datang ke sini

Gevariel datang, membawa sebotol jus jeruk, dan dua cangkir kosong. "Karena ini dipake buat bertugas doang, jadi gue nggak bawa barang banyak," ujarnya seraya duduk di samping Viola, "apalagi ngelengkapin peralatan rumah."

Viola mengangguk singkat, tangannya meraih cangkir yang lalu diisi dengan jus jeruk. "Emang lo nggak ada peralatan polisi? Pistol, seragam, atau alat penyadap?"

"Penyadap apa?"

"Suara dong," jawab Viola, "kan, lo lagi ngintai."

Gevariel terkekeh mendengar jawaban Viola, "enggak, gue cuma pakai handy talky," ujarnya, seraya mengeluarkan benda berwarna hitam dari balik jaket.

Melihatnya, Viola terkagum. "Woah, ini cara pakenya gimana?" Perempuan itu penasaran, meraih benda di tangan Gevaril, membolak-balikannya mencari tombol penyala.

"Ini," tunjuk lelaki di sampingnya pada sebuah tombol di bagian samping. "Yang ini pencet lama, habis itu lo ngomong."

"Boleh dicoba?" tanya Viola dengan polosnya.

Gevariel memutar bola mata, merebut alat miliknya. "Ya, nggak boleh lah. Ini nggak bisa dipake sembarangan, bukan mainan."

Sambil mulut masih sedikit ternganga, Viola mengangguk-anggukan kepala. "Oh, terus, cara lo ngintai gimana?" tanya Viola, semakin penasaran dengan aksi yang Gevariel lakukan.

Gevariel bangkit, berjalan menuju jendela yang mengarah lorong. Satu jendela yang berada di sisi pintu, memberi akses pria itu untuk memonitor keadaan di luar. Gevariel menyingkap sedikit tirai, mata tajamnya melihat ke penjuru arah. Unit yang ditempati Gevariel berada unit kedua di mulai dari sudut lorong.

"Dari sudut ini, kita bisa liat situasi dengan jelas." Jelas pria itu, kembali berbalik pada Viola yang kini menatapnya.

"Terus?"

"Udah, tugas gue cuma mantau salah satu unit milik target. Urusan yang ngikutin di luar, itu tugas anggota lain. Kita kan, nggak tau, pas dia keluar ada yang masuk ke rumahnya, bisa aja itu rekan yang juga sindikat pengedar."

Viola kembali mengangguk-anggukan kepala, ia terdiam sebentar sebelum kembali bertanya, "kalau gitu, unit target itu sebelah mana?"

"Kita ada di jajaran unit tengah." Gevariel mendudukan diri kembali di samping Viola. "Dan target, ada di jajaran kanan, ujung sebelah sini, kita cuma kehalang satu unit aja."

Mata Viola membelalak, "serius?" tanyanya lantang. Ingatannya langsung kembali ke beberapa jam lalu, saat Viola memasuki unit milik Gevariel. Dari unit tersebut, keluar seorang perempuan yang bisa dipastikan lebih tua darinya. Meski penampilan luarnya biasa saja, tapi tampang wajahnya ketika tersenyum amat anggun.

Gevariel mengangguk, seraya mengeluarkan kotak kecil dari saku jaketnya, beserta korek gas. Jemarinya mencapit ujung rokok, mengeluarkan dari bungkusnya. "Iya, kenapa?"

"Gue tadi kayaknya ketemu cewek keluar dari situ."

"Dari mana?" Gevariel yang berniat menyelipkan rokok di antara bibirnya mengurungkan niat. "Unit itu?"

Viola mengangguk pelan, alisnya saling bertaut. "Apa jangan-jangan, cewek itu targetnya?" Viola menebak kemungkinan yang terpikirkannya. "Maksud gue, dia bandar? Penyebar?"

"Iya, emang dia, jadi usahain kalau ketemu sama dia, gelagat lo jangan mencurigakan. Apalagi natap dia intens."

Rokok yang sudah dikeluarkan tadi dimasukannya kembali ke dalam bungkus. Ia baru ingat, ada Viola di sampingnya, perempuan itu tidak boleh menghirup udara kotor dari rokok yang nanti akan mengepul memenuhi udara. Gevariel menahan rasa asam di mulut, beralih mengambil dua bungkus permen di saku luar jaketnya. Ia mengoper satu bungkus ke depan Viola.

Viola meraihnya, melihat bungkusan permen lolipop rasa susu yang berpindah ke tangannya. "Apa ini?"

"Lo nggak liat?" sewot Gevariel. "Ini namanya permen, belom pernah liat?" sarkasnya, kemudian memasukan permen yang sudah dibuka ke dalam mulut.

Viola mendelik, sembari mencibir, tapi tetap membuka bungkus permen. Dibanding harus berbagi mengendap asap yang nanti bersarang di paru-paru, permen manis ini lebih baik karena berbagi rasa menyenangkan di dalam mulut.

"Tapi, masa iya? Lo yakin? Dia kayak perempuan baik gue liat selewat."

Gevariel terkekeh, memegang batang permen, dan mengeluarkannya dari mulut. "Ya gitu, makanya jangan nilai kepercayaan orang dari luarnya aja. Siapa pun, jangan lo anggap remeh begitu, mentang-mentang pakai baju rapi, nggak tau di belakang ternyata korupsi—contoh."

Perempuan itu mengangguk setuju, memang tidak boleh percaya pada orang hanya dilihat dari luarnya saja. Orang rapi belum tentu baik, orang urakan belum tentu jahat. Viola harus hati-hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro