BAB 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Di dalam kamar, seorang wanita sedang mematut diri di depan kaca. Wanginya tercium segar, sebab baru selesai mandi. Rambutnya yang mulai ditumbuhi uban di beberapa helai, terlebih banyak mengumpul di bagian depan menjadi tanda kalau usianya tidak lagi muda. Meski begitu, Imelda tetap ingin tampil modis dengan baju floral berwarna kuning, juga celana kain hitam panjang andalan. Pergelangan tangannya tidak lepas dari arloji, juga jemarinya yang terlingkar cincin emas dan putih.

Suara gerbang yang dibuka, menimbulkan decitan dari sisi yang berkarat. Tangannya yang bergerak menyisir rambut, berhenti. Wanita tersebut menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka lebar, segera mengikat rambutnya asal. Sepertinya, ia tahu siapa yang datang. Maka segera berjalan ke luar.

"Bagus, bagus," ucapnya, ketika sudah berdiri di ambang pintu seraya satu tangan menahan pinggang. "Semalaman nggak pulang, chat nggak dibales, telepon nggak diangkat. Emangnya kamu anak remaja yang lagi ngambek? Ke mana aja kamu semalam?" tanyanya dengan nada yang menyulut-nyulut, menyambut kedatangan Viola, anaknya yang baru pulang.

Viola meringis, menatap sang ibu yang sudah memancarkan laser invisible dari kedua bola matanya yang melotot. Meski mata minimalis yang didapatkan diturunkan oleh ibunya, Viola tetap bisa merasakan kalau Imelda sedang menatap tajam ke arahnya. Ragu-ragu, ia melangkah mendekat.

"Kan, aku udah bilang, semalam aku di rumah temen," jelasnya, sesuai dengan apa yang terjadi, "aku ketiduran, Bu." Langkahnya melewati Imelda, yang segera mengekor di belakang Viola, menuju ke dapur.

"Bohong, kamu pasti main yang nggak jelas, 'kan?" tuduh Imelda.

Tangan Viola yang baru ingin menggapai gelas urung melakukannya. Kalimat yang terdengar seperti tuduhan konyol itu sedikit menyinggung, Viola berbalik untuk menatap Imelda. "Main nggak jelas gimana? Jelas-jelas aku bilang, aku ketiduran di rumah temen," belanya.

"Tuh, kan," protes Imelda, "ini bukti kamu main nggak jelas." Telunjuknya menunjuk ke arah dada Viola. "Sekarang kamu pasti selalu ngelawan Ibu kalau dikasih tau."

Viola memejamkan mata, kala Imelda berjalan melewatinya, pergi ke arah kompor yang sedang merebus kentang. Perempuan itu mati-matian menahan rasa kesalnya yang tidak mungkin dilampiaskan pada ibunya sendiri.

Padahal Viola bukan melawan, itu hanya sekalimat pembelaan bahwa dirinya bukan anak yang nakal, bila Imelda berpikiran begitu. Lagi pula, Imelda sendiri yang dari awal memancing, bahkan menuduhnya. 

"Bukan begitu, Bu." Viola berbalik, menghadap punggung Imelda yang sedang mengupas bawang. "Aku cuma bilang yang sebenarnya, Ola beneran main di rumah temen, abis itu ketiduran."

"Temen apa? Temen tidur?" Kalimat yang ibunya ucapkan semakin tidak masuk akal. "Ola, kalau kamu tau, Ibu semalaman khawatir sampai nggak bisa tidur. Ayah kamu juga jadi ikut begadang sama Ibu karena nungguin kamu pulang." Imelda berucap, seraya berpindah posisi ke depan wastafel. "Kalau kamu niat pulang, mungkin saat kamu kebangun bakal inisiatif buat order ojol. Atau seenggaknya angkat telepon."

Lagi-lagi, Viola hanya bisa memejamkan mata seraya menahan napas. Ia berusaha menyabarkan dirinya di depan orang tua yang sangat dihormati. "Enggak semudah itu, Bu. Masa tengah malam Viola harus order ojek?" Perempuan itu tidak habis pikir. "HP aku juga di-silent—"

"Nah! Itu kebiasaan kamu, HP jangan di-silent! Udah Ibu bilang berapa kali, HP bunyiin, kamu nggak pernah denger. Kenapa, sih? Kamu nggak mau diganggu Ibumu sendiri? Jangan banyak alasan!"

Imelda tampak marah, selanjutnya ia hanya diam sambil mengurus ayam yang masih dalam rendaman karena membeku. Viola tidak tahu harus bagaimana lagi, ia sudah mengatakan yang sejujurnya. Kalau Imelda tidak mempercayainya, Viola semakin malas untuk meladeninya.

Pintu kamar mandi yang bersisian dengan tangga terbuka, menampilkan sosok Wiryo yang mengelus perut buncitnya. "Ada apa? Masih pagi, udah ribut."

"Tuh, anak kamu," unjuk Imelda pada Viola yang berdiri di sisi galon. "Ibu udah bilang sama Ayah, kalau Viola itu jangan terlalu dibebaskan, apalagi pergaulannya. Sekarang liat 'kan? Anaknya jadi berani nginep di rumah orang, Viola udah jadi anak bandel, dia nggak manut sama Ibu, dan suka melawan ...," Imelda terus saja mengomel sepanjang mengerjakan tugasnya memasak.

Wiryo menatap ke arah Viola, lelaki tersebut mendengus lantas mendekat ke arah si anak, merangkul bahunya lembut. "Ya, nggak apa-apa, lah, Bu. Namanya anak muda," bela Wiryo, "lagian Ola udah gede, masa mau terus-menerus diatur segalanya."

Viola mengangguk setuju, empat tahun lagi usianya mencapai kepala tiga. Masa mau tetap mengikuti pantat Imelda dan terus tunduk pada keinginan ibunya. Viola lebih tahu apa yang dirinya ingin dan butuhkan.

Imelda tampak tidak terima mendengar penuturan suaminya, yang malah membela Viola. Ia berbalik, lantas kembali berkacak pinggang. "Ayah kenapa jadi belain Viola?

"Bukan belain, Bu," sanggah Wiryo, "Viola bukan anak remaja lagi yang apa-apanya harus kita atur," ucapnya kemudian. Wiryo lantas beralih pada Viola, "kamu ke atas sana, hari ini kerja 'kan?"

Viola mengangguk singkat, ia berbalik menaiki tangga. Membiarkan Wiryo dan Imelda yang berakhir terus berdebat.

***

Reza yang baru saja turun dari mobil di pintu penumpang, seketika matanya menangkap punggung Viola yang berjalan lesu. Ia segera mengejar untuk menghampiri, menepuk pundak perempuan itu.

"La, kesiangan juga."

Viola berbalik, lantas tersenyum tipis, dan mengangguk. "Hooh, gue semalaman begadang Za. Lo tumben juga datang telat."

Keduanya berjalan bersisian memasuki lobby. Memang, saat ini jam menunjukan hampir pukul sembilan pagi. Sementara jam masuk kantor paling lambat pukul delapan.

Tubuh Viola terdorong ke depan, begitu ada seseorang yang menyerobot di tengah mereka. Luvita. "Tega banget lo, Za. Ninggalin gue di parkiran!" protes perempuan tersebut.

Sebetulnya Reza saat datang ke sini menumpang mobil Luvita karena mobil miliknya sedang dalam perbaikan. Sebagai teman dekat, Luvita tentu saja senang hati membuka pintu untuknya. Alhasil, Luvita dari harus memutar jalan sebelum ke kantor, sebab rumah Reza yang berlawanan arah dengan jalan ke kantor.

"Sorry, sorry. Abis liat Vio lesu banget gue liat, jadi nyamperin," alibi Reza, seraya terkekeh.

Luvita mengerucutkan bibirnya kesal namun, terlihat lucu di mata Viola juga Reza. Ketiganya memasuki lift yang terbuka, ketika beberapa waktu sebelumnya tombol sudah ditekan.

"Lo juga kesiangan karena jemput Reza, Luv?" tanya Viola.

Luvita yang terlihat pendek di antara Reza dan Viola, terlihat seperti anak mereka dibanding rekan satu kerja. Terkadang, Viola iri bagaimana Viola masih terlihat seperti anak remaja dibanding orang dewasa ketika usia mereka sudah seperempat abad.

"Bukan," jawab Luvita, lalu tercengir-cengir. "Semalam gue sama Reza abis movie date, lo tau 'kan? Kalau sekarang di Telegram kita bisa share screen? Akhirnya kita Netflix-an, enggak tau sampai jam berapa." Luvita dengan bahagia menceritakan bagaimana semalaman, ia dan Reza maraton beberapa film rekomendasi dari Instagram.

"Iya, tapi kita baru tidur jam tiga pagi tadi." Reza mendelik, agak kesal sebenarnya. Namun, perlu diakui kalau semalaman pria itu juga bersenang-senang. "Tadinya gue mau ajak lo juga Vi. Tapi telepon dari gue nggak diangkat-angkat. Lo ke mana? Tumben banget tuh, biasanya HP nggak jauh dari hidung."

Viola terkekeh dengan ungkapan yang dilontarkan temannya itu. "Semalam gue lagi di rumah temen, kayaknya sangking seru nggak sadar ada telepon. Lagian HP gue juga di-silent."

Luvita melangkah terlebih dahulu, ketika lift berhenti di lantai tujuan. Viola mengekor, juga Reza yang ikut keluar dari lift. "Pantesan." Kepala Reza mengangguk-anggukan sebagai respon.

"Eh!" seru Luvita, mengalihkan perhatian kedua temannya. "Nanti siang makan bareng yuk? Gue denger di sini ada resto baru buka, gue bosen banget kalau harus makan di kafetaria bawah," ajaknya.

Viola mengangguk setuju, "oke, nanti kita ketemu di lobby aja," usulnya, "gue atau kalian berdua, siapa aja yang duluan, tungguin ya."

Luvita dan Reza mengangguk mantap. Viola lantas berbalik, berjalan memisahkan diri sebab ruangannya berada di kiri dari lift, sedang Luvita, dan Reza berjalan ke arah kanan.

Setelah meletakkan jempol pada finger print, Viola membuka pintu ruangan yang berlapis kaca buram. Meski tidak sepanas saat pertama video itu viral, karyawan di divisi seperti tidak menganggap kehadirannya. Semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, kebanyakan hanya melirik kedatangannya, kemudian mendelik dengan jutek.

Viola tidak mau peduli, sekarang dia hanya harus membersihkan namanya sendiri, juga nama perusahaan. Agar Farid tidak selalu rewel, memintanya untuk segera menuntaskan masalah. Juga, supaya Viola tidak mendapat—

"Surat?"

Sebuah amplop berwarna putih panjang tersimpan di atas mejanya. Viola mengingat peringatan yang diucapkan Farid beberapa waktu lalu, tentang SP atau surat peringatan.

Dadanya bergemuruh, jantung berpacu kencang, Viola enggan membuka atau bahkan meraih benda panjang tipis itu. Perasaannya benar-benar buruk, dalam hati terus menduga pada ancaman Farid.

Atau mungkin tidak, bisa saja itu surat yang lainnya. Bisa saja, bukan? Tangan gemetar Viola meraih amplop tersebut, membuka perekatnya, menemukan kertas berlipat lain di dalamnya.

Sebenarnya tanpa membuka isi kertas tersebut, dugaan Viola sudah benar. Namun, ia nekad tetap membuka, dan membaca isinya.

Saudara/i Viola Salini mendapat peringatan dua, sebab ...

Mulutnya menganga, di atas kertas, sebuah air menetes. Pandangan Viola mengabur karena air di matanya menampung, buru-buru Viola menyekanya. Membawa surat itu, ia segera bangkit, dan pergi dari ruangan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro