BAB 36

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dari siapa?"

"Dirjen pajak, Bu."

"Aduh! Orang itu, butuh segimana lagi sih, heran. Udah tau gue lagi repot ngurus curut. Sini hapenya!"

Samar-samar suara orang yang sedang dalam perdebatan tertangkap telinga, membuat kesadarannya hadir kembali. Erangan kecil juga desisan keluar begitu tak sengaja mencoba menggerakkan tangan yang terasa kebas. Perlahan Viola membuka mata, dengan bingung karena tangannya tiba-tiba terasa seperti diikat ke belakang.

"Eh? Kenapa ini?" Perempuan itu mulai panik. Meski matanya sudah terbuka, ia tak bisa melihat apa pun selain garis cahaya yang keluar dari sela pintu.

"Ssst!" Suara desisan dari samping kanan kontan membuat tubuh Viola terhentak ke samping kiri, kaget.

"Si-siapa lo?" tanyanya dengan nada suara cukup tinggi. Ia kembali meringis, ikatan di pergelangan tangannya cukup menyiksa bahkan membuat lengan hingga bahunya pegal.

"Ini gue, El," bisik suara itu.

"El? Bang El?" tanya Viola memastikan, ia terperangah tak percaya.

Dengan tololnya, Gevariel malah mengangguk di tengah kegelapan. "Lo nggak apa-apa?" tanya pria itu khawatir. "Lagian ngapain sih, pake acara nyari gue segala?" tanyanya. Ada nada kesal tersirat, meski sudah ditahan.

"Ya masa gue diem aja lo hilang begini. Lo tuh harusnya seneng ada yang nyariin lo," ujar Viola, keduanya malah terlibat perdebatan tak penting sambil bisik-bisik.

"Sekarang mending bantu gue lepas talinya dulu. Aduh, pegel," keluh Viola seraya meringis merasakan perih di sekitar pergelangan tangan akibat gesekan antar kulit juga talinya yang terasa kasar.

Gevariel berdecak, "enggak bisa, gue juga diiket."

"Ya elah, gimana dong? Kita nggak bisa terus--"

Kalimat Viola terpotong, ketika pintu di depan mereka kuncinya dibuka dari luar. Arsilia dan orang-orangnya pasti mendengar perdebatan mereka di dalam.

Cahaya lampu membuat silau matanya, hingga Viola mau pun Gevariel memejamkan mata. Pintu semakin terbuka lebar, menampilkan Arsilia yang sudah bersidekap, sementara itu lelaki yang selalu berdiri di belakang perempuan itu kini tidak hanya ada dua orang. Melainkan bertambah menjadi empat. Salah satunya adalah satpam tua yang menjadi penjaga rusun.

Sorot kemusuhan dilemparkannya melihat si satpam tua yang masih setia tersenyum. Senyum itu dilihatnya bukan lagi senyum ramah tapi, senyum psikopat yang terlihat mengerikan. Viola merasakan dadanya kembang kempis, rasa kesalnya naik ke ubun-ubun. Netranya bergulir kali ini menatap Arsilia yang penampilannya jauh dari yang biasa dilihat. Perempuan itu memasang make up bold, dengan rambut terurai panjang di-blow, tidak lupa dress yang sangat mengetat di tubuhnya.

"Brengsek."

Alis yang diarsir tebal itu mengkerut, Arsilia mendekatkan wajahnya pada Viola yang mengatakan sesuatu. "Apa? Gue nggak denger."

Napas Viola memburu, tatapannya dengan tajam menusuk mata perempuan itu. "Brengsek lo! Cupu! Main culik aja!" Makian terus dilontarkan dari bibir mungil Viola.

Mendengarnya Arsilia malah terkekeh. Ia menegakkan kembali tubuhnya, lalu menatap sinis ke arah Viola yang masih memberinya sorot permusuhan. Detik berikutnya, satu layangan tamparan berhasil membuat wajah Viola terlempar ke samping.

Gevariel melotot, ia terhenyak karena Arsilia menampar perempuannya di depan mata sendiri. Pria itu berang, wajahnya mengetat. "Arsilia! Berani-beraninya lo nampar cewek gue?!"

Perempuan dengan rambut cokelat bergelombang itu tersenyum miring. "Harusnya cewek lo ini mati di dapur gue!" teriaknya, "bisa-bisanya dia dengan sengaja numpahin kopi yang udah gue bikin."

Tubuhnya naik turun, napas Viola semakin berat, terlihat penuh kemarahan. "Bangsat! Lo yang harusnya mati! Tega banget lo bunuh anak lo sendiri!"

Kata 'anak' di telinga Arsilia terasa sensitif, perempuan itu mendelik, dengan tangan mengepal. "Jangan sebut anak di depan gue," gumamnya datar, matanya memejam kuat.

Viola tersenyum miring, terdengar kekehan itu seperti sedang mencemooh. "Kenapa? Lo merasa bersalah karena anak lo mati di tangan lo sendiri? Lo tuh, nggak pantes jadi ibu, sampai kapan pun nggak akan pantas." Viola semakin memancing amarah Arsilia yang sudah menggolak di dada.

"Anjing! Jangan sebut dia di depan gue!" Matanya terbuka lebar seakan mau keluar, dengan bagian putih yang memerah.

Arsilia melompat, menyerang Viola dengan banyak tamparan di wajahnya, bahkan menjambak rambut perempuan itu kuat sampai rasanya kulit kepala juga ingin ikut tercabut. Viola mengerang kesakitan, berteriak kencang seraya mengucapkan. "Arsilia lo pembunuh!"

"Stop! Berhenti Arsilia!" teriak Gevariel yang ikutan panik melihat Viola disiksa di depan matanya sendiri, bahkan kursi yang diduduki Viola terjungkal ke belakang.

Suara Arsilia melengking, tenaganya yang cukup kuat itu kini sudah mengalungkan jari di leher Viola sembari menindihnya. "Bangsat! Lo nggak tau apa-apa tentang gue!" Bersamaan dengan teriakan, kekuatan di jarinya membuat Viola sulit bernapas.

Viola mulai tersenggal, manik hitamnya mulai menuju ke atas, seperti orang yang sedang meregang nyawa. Kaki Gevariel berkali-kali menendang tubuh Arsilia agar menyingkir. Namun, dikurung selama lebih dari dua malam tanpa makan, dan minum membuatnya tak memiliki cukup banyak tenaga.

Perasaan sakit terlihat dari raut wajah Viola, kulitnya memucat dengan urat tegang, dan mulut terbuka. Sementara tangan yang terikat di sisi kursi, tertindih sampai Gevariel dapat melihat kemerahan di tangan perempuan itu. Sekencang mungkin Gevariel berteriak, tidak diindahkan Arsilia yang semakin kesetanan.

Sementara itu, keempat pria yang menjadi orang suruhan Arsilia hanya diam menelan ludah memerhatikan tuannya yang seperti kehilangan kendali. Keempatnya tak mau melerai, apalagi menariknya untuk berhenti. Sekejinya mereka, hanya sebatas menampar, memukul, dan menendang. Mereka tak sanggup bila harus membunuh, apalagi menghadapi pembunuh.

"Sialan lo, lacur!"

Bertepatan dengan kalimat kotor yang kembali Arsilia ucapkan. Lampu tiba-tiba saja padam, membuat aksinya terhenti. Dengan serakah, Viola meraup napas habis-habisan, kembali mengisi rongga dadanya dengan udara.

Pandangan Arsilia menyebar ke segala arah, tak dapat dilihatnya apa pun selain kegelapan yang tersisa. Urat lehernya menegang lagi, ia menarik napas panjang. "Siapa yang matiin lampu?! Cepet nyalain lagi sekarang!" teriakannya yang mampu menulikan itu, membuat keempat babunya termundur.

"Sa-saya nggak ta--"

"Cepet nyalain lagi! Jangan jadi manusia yang nggak berguna lo!" geramnya. Arsilia bangkit meski tangannya meraba tak tentu mencari sesuatu yang bisa dipegang.

"Ba-baik," patuh salah satunya, segera berbalik menuju pintu yang menghubungkan tempat tersebut dengan lorong panjang.

Baru saja Joni membuka pintu, langkahnya seketika terhenti dengan napas tertahan begitu merasakan sesuatu yang dingin seperti moncong pistol berada di pelipisnya.

"Jangan berisik, ikut," bisik si pembawa pistol.

Joni meneguk ludah, ia memejamkan mata rasanya ingin menangis. Tapi ia tetap patuh, perlahan mengikuti langkah orang yang entah siapa menariknya menjauh.

"Satu-satu, tangkap yang lain."

Dapat didengar oleh Joni, segerombol langkah kaki yang mengumpul di pintu masuk yang tadi dilewati. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi dalam hati Joni hanya memasrahkan diri.

***

Beberapa waktu sebelumnya ....

"Gimana? Gimana?" bisik Tirta ketika berada di parkiran rusun, bertemu dengan beberapa anggota buser yang menunggu kedatangannya bersama Jayadi.

"Lewat sini," ucap salah satunya yang memiliki kepala pelontos. Tirta, Jayadi, dan Sania mengekor di belakangnya. Bakrie--nama petugas itu, melangkah ke samping rusun masuk ke dalam gang sempit yang hanya bisa dimasuki satu orang dengan posisi menyamping. Gang tersebut diapit dinding tinggi bangunan dan tembok pembatas. Rumput yang mulai tinggi menggelitik setiap langkah mereka, anggota buser yang lain ikut mengekor di paling belakang.

"Jalan ini mengakses langsung dengan bangunan terbengkalai yang ada di belakang rusun," ucap Bakrie.

Benar saja, ketika satu persatu mereka keluar dari gang. Dapat mereka lihat sebuah bangunan tua yang tidak terpakai lagi, dengan banyak lumut yang hampir menutupi seluruh tembok. Ada lima lantai yang tersedia, dengan di lantai tertinggi ada sebuah lorong jembatan yang terhubung dengan bangunan rusun yang masih beroperasi.

"Itu terhubung sama rusun? Kenapa kita nggak jalan ke sana aja?" Sania menunjuk ke lorong jembatan itu.

Bakrie menoleh sekilas, ia menggeleng pelan. "Tidak bisa, target mengurung Bang Gev dan ceweknya di lantai lima, di ruang itu." Tangan Bakrie terulur ke atas, ke sebuah jendela kecil sebagai ventilasi yang memperlihatkan cahaya lampu. "Bangunan ini udah tujuh tahun gak beroperasi, pemiliknya nggak mau urus juga. Jadi nggak mungkin kalau ada orang yang mau menetap di sini." Penjelasan dari Bankri membuat Sania mengangguk kepalanya. "Kalau kita lewat ke jembatang penghubung itu bakal ketahuan, kita kan mau nyergap dia."

"Kalau gitu, apa rencana kita?" pungkas Jayadi.

"Saya ada rencana," timpal Bakrie lagi. "Di sebelah kanan bangunan, kita matikan aliran listriknya. Setelah padam, baru kita masuk. Salah satunya pasti bakal ada yang keluar buat nyalain lagi, kita bawa dia keluar. Kalau udah dipastikan tim kita masuk ke ruangan itu, baru lampu kembali dinyalakan."

"Saya yang akan matikan aliran listriknya." Tangan Sania terangkat mengajukan diri, semuanya mengangguk setuju.

***

"Biar saya yang menangkap salah satunya," bisik Tirta, pria itu sudah siap dengan rompi anti peluru juga senjata api yang sudah dalam genggamannya.

Jayadi mengangguk setuju. Tirta memposisikan diri di balik tembok, samping pintu. Suara teriakan, pekikan Arsilia dapat didengar mereka berikut Gevariel yang tak kalah memekik.

Degup jantung Tirta tak dapat ditahan, ia tak sabar untuk segera membekuk Arsilia dan para rekannya yang sudah lama berulah. Dalam hatinya, pria itu menghitung detik. Satu, dua, tiga.

Lampu padam, teriakan meredam. Tirta ingin melangkah ke dalam. Namun Jayadi di belakangnya segera menahan. Belum saatnya.

"Siapa yang matiin lampu?! Cepet nyalain lagi sekarang!" teriakan murka dari Arsilia terdengar menggema di lorong.

Tirta kembali bersiap ketika mendengar langkah yang mendekat. Saat pintu itu terbuka, ia segera meletakkan moncong pistol di kening orang itu. "Jangan berisik, ikut," tegasnya berbisik, seraya menarik lengan orang yang bisa diterkanya adalah seorang pria.

Setelah Tirta menjauh, Jayadi memerintah para anggotanya untuk masuk satu persatu ke dalam dengan langkah pelan. Pria itu mengikuti di belakang, pistolnya selalu dalam posisi di depan wajah. Siap memidik.

"Siapa itu?" tanya Arsilia di tengah kegelapan, telinganya terlalu awas mendengar langkah yang masuk.

Tidak lama dari itu, lampu kembali menyala. Arsilia yang masih di dalam gudang tempatnya menyekap Gevariel dan Viola melotot menatap banyak orang sudah mengerubung di ruang sempit itu dengan rompi hitam dan pistol yang banyak memidik ke arahnya.

Dengan gerakan cepat, ia mengambil sebuah pisau lipat yang terselip di cekungan high heelsnya. Ia melangkah ke belakang, menarik bangku Gevariel, memposisikan bibir pisau di ceruk lehernya.

"Gue nggak akan takut sama pistol yang kalian bawa itu, gue nggak akan menyerahkan diri apa pun yang terjadi," kecamnya, dengan bibir gemetar.

***

Diders!
Selamat berbuka hahahaha, part ini full dengan harsh word juga baku hantam. Makanya aku update pas buka puasa. Gimana? Penasaran nggak sih?

Partner in Prime udah tamat di KaryaKarsa loh, di sana no iklan, no gantung. Link-nya ada di bio aku, kalau ceritanya nggak ketemu silakan langsung DM aku di Wattpad atau Instagram (at)didi.thought.

See ya hari Kamis.
With love, Didi. ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro