BAB 39

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau dihitung-hitung ini sudah hari kelima setelah Viola keluar dari rumah sakit. Kabar dari berita menyebutkan Arsilia dan kelompoknya sudah ditangkap. Sebenarnya pihak kepolisian meminta keterangan tambahan dari Viola sebagai saksi. Namun, Imelda tentu saja tak mengizinkan. Akhirnya secara tidak langsung, Viola dikurung di rumahnya sendiri.

Bukan masalah, Viola juga sudah malas ikut campur hal yang berhubungan dengan Arsilia lagi. Kalau bertemu dengan perempuan itu lagi, rasa-rasanya Viola ingin meludah tepat di wajahnya. Rasa muaknya melebihi apa pun.

"Makan dulu."

Viola menoleh, mendapati Wiryo sudah berdiri di ambang pintu yang menuju balkon. Bibirnya cemberut tak menanggapi kembali memalingkan wajah ke arah jalan perumahan.

Janji yang pernah diucapkan Gevariel saat di rumah sakit masih diingat dan diharapkannya. Perasaan sesak setiap saat memenuhi rongga dadanya, juga rindu yang sering meletup-letup bersamaan dengan khawatir.

Viola tak bisa menghubungi siapa pun, termasuk Tirta untuk menanyakan kabar Gevariel. Ponselnya benar-benar hilang, saat ditanyakan pada petugas polisi yang menyisir area saat Viola diculik, mereka tak menemukan apa pun. Tanpa terkecuali. Mungkin ada orang iseng yang menemukannya dan mengambil begitu saja. Viola ikhlas, tapi ..., sesak juga karena semua data miliknya masih tersimpan di sana.

Dan mendatangi kantor polisi untuk sekadar bertanya juga sia-sia. Itu hanya opsi pilihan yang tidak memungkinkan. Imelda selalu menjaga pagar rumah dengan mata dan telinga, takut kalau anaknya kabur lagi entah ke mana.

"Ayah duluan aja."

Wiryo tak memerintah lebih lanjut. Sepertinya tahu keadaan anaknya yang sedang tidak dalam keadaan baik. Sudah dua hari ini kerjanya hanya duduk di balkon, sesekali bersandar di pagar pembatas sembari menyebar pandangan. Seperti sedang menunggu seseorang.

Pria itu penasaran, siapa yang sedang ditunggunya? Pahlawan yang akan menyelamatkannya dari keprotektifan Imelda? Ah, ya. Tentu istrinya itu juga berpengaruh pada aktivitas Viola yang semakin terbatas. Namun, Wiryo tak bisa memikah siapa pun. Baik Imelda atau pun Viola sama-sama salah, keduanya terlalu keras kepala untuk saling mengalah.

***

Ini hari ketiga. Viola masih betah-betah saja duduk di balkon. Setiap mobil dan motor yang lewat diharapkannya berhenti di depan rumah, mendatangkan Gevariel yang disambutnya penuh suka cita.

Rindu semakin menumpuk di dada, tapi putus asa juga tak bisa pergi dari kepala. Viola menarik napas dan mengembus panjang, menatap tukang sayur dengan motor yang dikerubungi ibu-ibu, termasuk ibunya sendiri.

"Kamu mau ayam apa? Paha atau sayap?!" teriak Imelda dari jalanan, menengadah ke atas balkon rumah.

"Sayap!" balas Viola tak kalah lantang.

Bagaimana pun galaunya memenuhi diri, Viola tetap tak bisa kenyang hanya dengan itu. Perutnya hanya bisa diisi dengan karbohidrat dan protein, rindu tak bisa buatnya kenyang.

***

Di hari keempat, Darian datang dari arah kiri jalan. Ia menengadah mendapati sahabatnya masih bergalau ria, seperti yang Wiryo katakan saat menandangi rumahnya.

Sebagai satu-satunya lelaki di rumah, Wiryo terkadang bingung ingin berbagi pikiran dengan siapa. Sementara dua perempuan di dalam rumahnya lebih sering keras kepala dibanding bersikap dewasa. Darian, anak itu yang menjadi pelariannya. Darian sudah dianggap anak oleh Wiryo atau Imelda. Maka tidak aneh kalau Wiryo terkadang datang ke rumah, entah sore atau malam, hanya untuk curhat tentang tingkah laku anak dan istrinya yang membuat elus dada.

Darian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana pendek di atas lutut. Jejak basah di area pundak bajunya menandakan kalau lelaki itu baru selesai mandi dan keramas.

"Galau mulu, kayak orang!" seru Darian dari bawah.

Viola hanya melirik sekilas, kemudian mendelik malas menanggapi. Meski napsu makannya kembali banyak, ternyata itu tidak cukup memberinya energi untuk bangkit dari kesedihan dan harapan yang terasa dijatuhkan.

Kedatangannya memang berniat untuk menghibur sahabatnya yang terlihat kacau itu. Maka, Darian tidak menyerah, malah melangkah masuk ke dalam rumah. Tidak ada siapa-siapa dilihatnya, sepertinya Imelda sedang tidak ada.

Darian juga sebenarnya tidak tahu secara lengkap, apa yang telah terjadi di rumah sakit. Karena saat itu, ia tak bisa menjemput sebab sedang dalam rapat dengan klien. Namun, info sekilas dari Wiryo dapat dipahaminya.

Viola mengharapkan janji lelaki bernama Gevariel itu.

"Tante Imelda mana?" tanyanya begitu sudah ikut bergabung, duduk di kursi balkon.

"Pergi ke toko, anter makan siang Ayah," jawab Viola lesu, membalikkan tubuh dan duduk di kursi lain di samping Darian.

Darian melipat kakinya ke atas kursi, membuat posisi nyaman, sambil menghadap Viola. "Kenapa, sih? Sahabatku ini kerjanya galau terus," ujarnya, dengan tangan terulur mengacak rambut Viola.

Perempuan itu melotot tak suka, mengempaskan tangan Darian dari rambutnya yang belum dicuci tiga hari. Viola malas, terlalu malas melakukan apa pun ketika hanya Gevariel yang berlari di pikirannya.

Viola menyandarkan punggungnya pada kursi rotan itu, napasnya terdengar sangat putus asa, menbuat Darian yang mendengarnya mengangkat alis penasaran.

"Lo kalau kasih janji ke orang suka ditepati nggak?" tanya Viola, menatap langit kebiruan penuh awan.

Alis pria itu terangkat, sudut bibirnya menarik senyum tipis, kemudian menggeleng pelan. "Gue nggak pernah kasih janji ke orang," ucapnya. "Lo tau, manusia itu paling sulit dipegang omongannya. Sama diri sendiri aja sering ingkar janji, apalagi sama orang lain," jelasnya.

Memang benar. Apa yang diharapkan dari mulut manusia yang dicampur madu dan racun? Manis dan mematikan. Sangat tolol kalau ada orang yang berharap pada orang lagi, pikir Darian. Mungkin memiliki sedikit pengharapan tidak apa. Namun, bila terlalu bergantung. Mau hidup bagaimana? Hanya lari di tempat?

"Gue tau lo berharap kedatangan cowok itu," lanjut Darian, "cuma, mau sampai kapan? Dianya aja nggak datang, atau sedikit effort buat hubungin lo. Ada telepon rumah, 'kan? Dia polisi, bisa nyari data-data lo, gampang."

Buangan napas kasar terdengar, Darian tak ingin bila Viola menjadi korban ghosting, apalagi janji manis. Umur berapa sih, mereka? Sudah lebih seperempat abad, masa mau berharap terus pada yang tidak pasti. Sekarang saatnya mulai memilih pasangan yang bisa dipercaya dan memberi kepastian saja, bukan hubungan buram seperti ABG begini.

"Vi, dia nggak bakal datang. Ini udah empat hari lo nunggu, kalau nggak bisa tapi dia sayang sama lo pasti bakal setidaknya ngehubungin. Oh, atau sama temennya yang terakhir datang ke sini. Siapa? Tiara?" ucap Darian ragu ketika menyebutkan nama orang yang seingatnya datang mengantar Viola.

"Tirta," balas Viola kesal. Bisa-bisanya salah sebut nama, sudah begitu, nama perempuan lagi.

"Iya." Darian menjentikkan jari di depan wajah Viola. "Tirta maksud gue," ucapnya, "dia juga nggak ada ngehubungin lo buat kasih kabar, terlepas dari hape lo yang ilang ya. Seenggaknya, temennya itu datang ke sini. Kasih kabar, itu si Gabriel."

"Gevariel!" sentak Viola, gemas dengan Darian yang kembali salah menyebut nama.

Darian ikut mendecak kesal juga, "lagian susah amat sih, namanya!"

"Terserah lo!"

***

Menuju sore, Darian pulang lebih dulu setelah kembali menumpang makan di rumahnya. Imelda yang memasak beberapa menu sangat senang dengan kehadiran Darian yang artinya, ia tidak akan membuat makanan kembali mubazir. Bahkan, Imelda memberi sisa lauk juga nasi untuk dibekal Darian ke rumah. Darian senang bukan main, ia hemat uang jatah makan malam.

Viola curiga kalau suatu hari nanti posisinya akan digantikan oleh Darian.

Setelah mengantar Darian sampai depan rumah, Viola agak dikejutkan dengan dering telepon rumah yang berbunyi nyaring. Ia segera menutup pintu rapat, duduk di kursi samping meja telepon sebelum mengangkatnya.

"Halo?" sapanya.

"Halo, ini Gevariel."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro