[ 14 ] -- Kepingan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Fane, Clara!" panggil Arben ketika melihat kedua gadis itu muncul di ruang tengah. Pria itu segera berlari menghampiri mereka berdua, di susul oleh beberapa temannya.

Fane mengernyit. "Bodoh!" bentaknya ketika menatap teman-temannya itu. "Kenapa kalian masih di sini? Sudah mencoba untuk menghubungi Arnt?" Ia langsung menyinggung sesuatu yang begitu penting saat ini.

"Adoff, Grey, dan Niger sudah ke bawah. Kami pikir, kalian berdua membutuhkan bantu–"

"Kenapa kalian tidak ikut ke bawah saja, sialan?!" sela Fane. "Kami mampu menahan mereka, dan setelah itu akan langsung menyusul kalian ...."

Clara tiba-tiba mengangkat sebelah tangannya, membuat Fane berhenti bicara ketika melihatnya. Wajah yang sudah sedikit kotor milik gadis itu masih saja terlihat datar, tidak menunjukkan ekspresi serius. "Jangan memisahkan diri. Tujuan mereka adalah untuk menculik salah satu dari kita. Atau bisa jadi kita semua," jelasnya.

Di saat yang bersamaan, tiba-tiba keempat orang yang tadi ada di luar, kini sudah menginjakkan kaki di tempat tersebut. Ya, jumlah mereka kini tinggal empat, karena sepertinya mereka meninggalkan wanita binatang yang sudah terluka cukup parah itu di tempat yang cukup aman.

"Astaga, kalian tinggal di tempat busuk seperti ini, ya? Bau anggur tercium dari mana-mana. Sungguh menyedihkan." Pria yang tadi saat di luar meledek Clara, kini kembali angkat bicara. Ucapannya terdengar merendahkan lawannya, menganggap mereka remeh.

Seketika mata Arben membelalak terkejut ketika menangkap sosok pria itu. Manik lelaki yang dipandangnya juga memberikan sorot tajam ke arahnya. Ia tersenyum semakin lebar ketika melihat wujud Arben yang ada di kumpulan anak-anak remaja tersebut.

"Oh, hai! Ternyata kamu masih hidup, Arben." Ia tersenyum manis.

Namun, entah mengapa justru di mata Arben, ia merasa bahwa seringai itu adalah senyum paling mengerikan yang pernah ditunjukkan pria itu kepadanya.

"Sudah kuduga, kamu tidak mungkin mati tanpa jejak di dalam kebakaran itu, Arben. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya korban. Namun, para manusia bodoh itu tetap mengatakan kamu sudah tiada ditelan api. Bukankah itu kejam, Arben?"

Lelaki itu berbicara, layaknya seseorang yang baru saja bertemu dengan sobat lamanya. Begitu santai, terbuka, dan hampir tidak ada sopan santunnya. Mengabaikan semua orang di ruangan itu, dan hanya menunjukkan ketertarikannya pada Arben seorang.

"Aku tidak terkejut kalau kamu masih hidup, karena aku sudah menduganya." Ia melanjutkan ungkapannya. "Hanya saja, aku lebih terkejut kenapa dirimu bisa ada di antara para bajingan ini?" cibirnya sambil tersenyum miring.

Arben jelas tidak asing dengan lelaki itu. Ia mengenalnya, walau tidak begitu dekat. "Kegan?" desisnya. Jelas, pria itu adalah pamannya yang dulu bekerja di lingkup militer. Meski itu pamannya, tetapi jarak usia mereka tidak begitu jauh. Hanya berjarak kurang lebih tujuh tahun saja.

Sebuah lengan hinggap di bahu Arben. "Jangan dengarkan ucapan orang itu," bisik pria bersurai hitam yang berdiri di sampingnya. Sorot biru dari mata lelaki itu, menatap tajam ke arah orang yang tadi mengajak Arben bicara.

Arben menatap tampang dingin lelaki itu. Sebuah senapan sudah berada di dalam genggamannya, siap untuk melontarkan peluru kapan saja. "Mavi, kamu …?"

"Maaf, aku tidak akan peduli meski orang itu mengenalmu sekalipun. Dia musuh, dan tetaplah musuh," ujarnya dengan tenang.

Pria itu langsung mengarahkan moncong senapannya ke arah musuhnya. Tanpa pikir panjang, ia menarik pelatuk. Membuat ledakan kristal es dari apa yang baru saja ditembakkannya. Jelas, pistol miliknya bukan senjata biasa. Itu adalah benda terkutuk yang mampu membekukan apa pun yang terkena tembakannya.

Akan tetapi, Kegan langsung membuka mulutnya. Di saat yang bersamaan dengan hembusan napasnya, semburan api yang sama kuatnya segera terlontar. Melenyapkan tembakan es milik Mavi.

Tidak hanya itu, hembusan apinya juga membakar benda-benda yang ada di ruangan itu. Termasuk meja bundar yang biasa mereka gunakan untuk bersantai.

Setelah semburan api itu reda, dalam sekejap, wanita yang merupakan anggota pasukan elit tersebut langsung melesat ke arah mereka. Ia mengayunkan senjatanya berupa dua belah pedang, yang sepertinya juga merupakan benda terkutuk.

Serangannya menuju tepat ke arah Mavi, orang yang baru saja melontarkan tembakan beku ke arah mereka. Pasti ada alasan di balik pemilihan targetnya. Wanita itu merasa bahwa memang hanya kebekuan yang mampu mengurung panas untuk sementara waktu, dan hal itu tentu akan menghambat serangan dari rekannya.

Namun, sebelum mata pedang itu mengenai targetnya, serangannya segera terhenti. Bukan, lebih tepatnya gadis berambut pirang yang biasanya selalu bersikap lemah lembut itu yang menghentikannya.

Dengan pisau dua mata tajam, Ella menahan ayunan dua belah pedang yang dimainkan wanita tersebut. Di balik sikapnya yang selalu tenang serta dewasa, ia juga memendam keganasan layaknya singa betina. Manik hazelnya menyorot dengan tajam ke arah gadis yang menjadi lawannya.

Wanita itu segera mundur dengan kecepatan yang luar biasa. Kembali menjaga jarak dari mereka, terutama dari Ella yang mampu menahan serangannya.

Di sisi lain, Clara mulai menggerakkan benangnya. Ia ingin menjerat musuhnya ke dalam lingkar sayatan yang mematikan. Akan tetapi, salah satu pria yang merupakan lawannya itu mengarahkan senjatanya yang berupa busur satu tangan ke arah mereka.

Anak panah yang berada di bagian tembakannya bukan hanya satu, tetapi ada tujuh. Clara segera menyadari kalau alat itu adalah benda terkutuk, yang pasti memiliki kemampuan jauh dibanding benda serupa pada umumnya. Benang miliknya berhenti bergerak, dan dalam waktu yang bersamaan, semua anak panah itu dilepaskan ke arah mereka.

Masing-masing anak panah mengunci sasaran. Anak panah yang dilepaskan itu layaknya peluru kendali, yang terus mengejar sasarannya di mana pun mangsanya berada.

Clara segera menguraikan benangnya. Ia menangkap semua anak panah yang melesat ke arah mereka dengan lilitan benang tersebut. Ia memang seolah terlihat hanya diam saja. Namun, sebenarnya pikirannya mengendalikan semua arah gerak dari benda terkutuknya itu.

Arben sejak tadi sama sekali belum mengaktifkan benda terkutuknya. Pikirannya masih bercabang, dan hal itu membuatnya hanya mematung sambil menatap bingung ke arah Kegan, pamannya.

Sementara itu, serangan demi serangan mulai dilancarkan antar anggota. Mereka tidak peduli pada api yang mulai membesar, dan menyambar perabot kayu yang ada di situ.

Kegan kembali membuka mulutnya. Percikan api terlihat memanas dari napasnya. Ia bagaikan naga dalam wujud manusia, membakar semua hanya dengan satu hembusan napas. Kobaran api terlihat menari di dalam manik matanya yang menyorot ke arah Arben. Tatapan dalam yang penuh penghinaan.

Akan tetapi, ia menahan semburan apinya. Mengubah percikan api yang keluar, menjadi gumpalan asap tipis. Kegan bersiul kecil, meredakan napasnya yang semula memanas. Secara bersamaan, rekan-rekannya yang tadi sedang menghadapi para remaja itu langsung mundur ke arahnya.

"Kita hanya berempat, sedangkan mereka bertujuh. Terlebih, mereka semua juga memiliki benda terkutuk. Huh, mari selesaikan ini dengan cepat," lirihnya pada ketiga rekannya.

Tiba-tiba, pintu masuk bangunan itu di dobrak. Kemudian terlihatlah segerombol manusia berpakaian serba hitam dengan helm yang menutupi wajah, masuk secara bersamaan ke dalam ruangan itu. Para anggota PEP tersebut mengepung mereka.

∅∅∅





Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro