[ 24 ] -- Titik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunga api berwarna jingga terang megar di hadapannya, bersamaan dengan kedua besi yang saling beradu. Pisaunya bergerak menahan terjangan yang dilayangkan oleh pria bersurai hitam legam itu dengan spontan. Ia terkejut bukan main melihat orang yang dikenalnya secara tiba-tiba langsung menyerangnya.

Ia menatap iris lawannya yang menyorotnya balik dengan pandangan kosong. Tidak ada ekspresi yang terpancar dari wajahnya. "Niger?" decaknya. Pria itu hampa, ia bisa tahu dari reaksi yang dikeluarkannya.

Arben melepaskan pisau yang semula menahan belati pria itu, kemudian beralih menghindar ke arah samping. Seketika, Clara masuk ke ruangan itu sambil menembakkan isi senapannya ke arah kedua orang yang masih duduk di balik meja. Peluru yang ditembakkan olehnya bergerak memuntir, melesat dengan cepat ke arah wajah gadis yang ada di seberang sana.

Tidak sampai di situ, ketika peluru sudah berhasil menembus kening wanita itu, proyektil justru berbelok hingga menembus kepala lelaki yang duduk di sebelahnya. Ia membunuh dua orang dalam sekali tembakan, serta dalam posisi yang bahkan belum stabil karena baru saja melangkah masuk. Benar-benar seorang penembak yang luar biasa.

Setelah itu, gadis bermanik hijau itu langsung bergerak untuk menahan serangan dari Niger dengan pistolnya. Menjadikan mesin penembak itu sebagai pelindung agar mata belati pria itu tidak mengoyaknya.

Melihat Niger yang dipenuhi celah, Arben segera mengambil tindakan utnuk mengunci gerakannya dengan cepat. Membuat belati yang semula berada di dalam cengkeraman pria itu, kini lepas dan jatuh ke lantai. Tangan lelaki itu berusaha menggapai tubuhnya yang berada di belakang, tetapi tentu saja tidak akan mampu melepaskannya dari kuncian erat yang terpasang di lehernya.

"Niger, tenanglah! Tidak perlu melawan, maka akan aku lepaskan," desisnya tajam.

Tidak ada respons, pria itu tetap saja memberontak, berusaha melawannya.

"Niger!" sergah Arben meninggikan suaranya.

Suara langkah kaki terdengar, membuat Clara spontan mengangkat moncong senapannya mengarah ke orang yang sedang berjalan mendekati mereka. Tidak peduli bahwa sebelumnya mereka sudah saling mengenal, sikap siaganya tetap terjaga. Akan tetapi, ia tidak langsung menarik pelatuk untuk menembaknya.

"Dia tidak akan merespon ucapan Arben. Dia bukan lagi Niger yang Arben kenal," tutur gadis itu datar. Langkahnya berhenti di hadapan moncong senapan yang terbuka menuju kepalanya, menatap lubang yang siap mengeluarkan isinya kapan saja.

Arben berbalik ke arahnya, tanpa mengendorkan kunciannya dari pria yang memiliki garis luka melintang di wajahnya. "Grey?" ratapnya.

"Saat ini tidak ada gunanya melawan. Aku sudah berpesan demikian pada Arben, bukan?" Tatapan gadis itu terlihat begitu kosong seperti biasa. Hanya saja, cara pengucapan yang dikeluarkannya menjadi berbeda dari biasanya.

Ia meluruskan pandangan, menatap Clara yang masih enggan mengalihkan ujung senapan dari wajahnya. "Jangan ragu untuk membunuhku. Lakukan sekarang juga, sebelum Tuanku memberi perintah lebih lanjut." Dengan jelas, ia mengatakan hal itu. Seolah mengijinkan gadis itu untuk membunuhnya saat ini juga.

Akan tetapi, gadis bersurai coklat itu hanya bergeming. Ia tidak kunjung menarik pelatuk senapannya untuk menembakkan peluru yang tidak mungkin meleset dari jarak sedekat ini. "Jaga ucapanmu! Aku diminta ke sini untuk menyelamatkanmu, bukan membunuhmu."

Mereka kembali hening selama beberapa saat. Arben mulai melepaskan kunciannya dari Niger yang agaknya sudah semakin tak bertenaga akibat kesulitan bernapas. Kedua gadis itu masih berada dalam posisi masing-masing, tanpa bergerak sedikit pun.

Hingga akhirnya, kaki kanan Grey bergeser sedikit. "Baiklah kalau begitu," hembusnya.

Arben terkejut ketika melihat gerakan Grey yang terlihat mulai siaga. "Clara, menjauh darinya!" serunya seketika.

Naas, Clara tidak segera menyadari hal itu. Ia tidak bisa menghindar, hanya mampu melanjutkan untuk menekan pelatuk senapannya, membuat sebuah proyektil melesat ke arah wajah gadis bersurai putih keabu-abuan. Akan tetapi, tidak ada yang menyangka kalau gerakan Grey jauh lebih cepat dari sebuah peluru yang sudah jelas berada di depan matanya.

Gadis itu bergerak ke samping, menghindari tembakan yang seharusnya mampu membunuhnya. Di saat yang bersamaan, gerakan Clara tertahan. Kelopak mata wanita bersurai coklat itu membulat sempurna, sementara itu tiba-tiba kepalanya lepas dari tubuhnya. Membuat cairan merah pekat terpancar ke segala arah.

Jika dikatakan Grey adalah manusia, sepertinya saat ini bukan. Dirinya memang terlihat dalam wujud manusia, tetapi di mata Arben saat ini, gadis itu seperti sosok pencabut nyawa yang tidak memiliki perasaan.

Bagaimana tidak? Bahkan setelah membunuh seseorang yang mulanya adalah temannya sendiri, dengan darah dari target yang berhasil dihabisinya kini juga ikut membercak di parasnya, ia tetap saja tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tetap kosong seperti biasanya, seolah tidak ada hal yang terjadi.

"Grey … apa yang kamu lakukan?" Ia tercekat. Pemandangan itu terlalu mengerikan baginya.

Gadis itu mengerling ke arahnya. Percikan darah yang menyebar ke segala arah, membuat benda tipis nun tajam itu jadi diketahui keberadaannya jelas. Benang baja yang dimainkan oleh wanita beriris biru itu telah memakan korban.

"Aku sudah memperingatkan, salah satu anggota Party-1.8 adalah penghianat. Kupikir, seharusnya Arben tahu siapa orangnya." Ia kembali melangkahkan kaki, mendekat ke arah pria yang masih kesulitan untuk mengambil oksigen.

Arben merasa darah mengering di dalam dirinya. Ia hampir tidak bisa merasakan detak jantungnya sendiri. Ia kesulitan bernapas, tubuhnya terasa begitu lemas.

Gadis itu mengangkat sebelah tangannya. "Padahal kalau kamu tidak melawan, dan tetap berada di ruangan tahanan hingga gilirannya dipanggil, aku pikir kamu tidak akan terbunuh dengan cara seperti ini, 'kan?" ujarnya pada kehampaan.

Darah seketika keluar dari dalam mulutnya. Rasa sesak sudah tidak tertahankan lagi, ia sama sekali tidak bisa bernapas. Apalagi untuk menjawab pertanyaan aneh yang dikatakan gadis itu. Ia kehilangan tenaga, kemudian roboh ke lantai yang dingin.

"Selamat tidur, untuk selamanya." Gadis itu pergi melaluinya. Berkat ulahnya, sebuah benang baja mampu bergerak menembus jantung pemuda itu. Membuat lelaki tersebut kehilangan oksigen dari dalam tubuhnya sendiri.

Bagus, Meza. Sekarang, cepat selesaikan yang lainnya, kemudian tinggalkan tempat itu. Kemarilah! Aku sudah sangat menanti kedatanganmu.

Sebuah suara terdengar dari dalam benaknya. Gadis itu memandang kosong ke arah darah serta mayat yang ada di bilik tersebut.

Baiklah, Tuan, batinnya membalas.

Ia kembali menarik benang, menjadi gulungan yang rapat di dalam sarung tangannya. Kemudian mulai mengambil kiprah untuk keluar dari ruangan tersebut. Akan tetapi, bersamaan dengan langkahnya yang menapak di lantai putih bagian luar, sang jago merah datang menghampirinya. Menutupi pandangannya dengan kabut jingga yang menyala di penjuru lantai itu.

Cepatlah pergi! Aku tidak ingin kamu ikut termakan oleh api hasil ledakan yang terjadi di situ, Meza.

Suara itu kembali memenuhi ruang pikirannya. Ia menghela napas, kemudian mengambil udara bersih sebelum paru-parunya dipenuhi oleh asap kotor hasil pembakaran.

Baiklah, tidak perlu risaukan saya, Tuan.

Ia tetap melangkah ke dalam kobaran api yang telah menjalar ke mana-mana, membiarkan dirinya menjadi santapan sang jago merah yang mengamuk di situ.

∅∅∅






Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro