[ 7 ] -- Hijau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua pintu besi bergeser, membuka celah lebar di antara kedua papan kuatnya. Dua orang lelaki menginjakkan kaki, keluar dari balik pintu yang terbuka. Lantai aluminium yang sedari tadi menjadi pijakan mereka, kini tergantikan oleh marmer kualitas rendah. Dinding setal yang semula mengapit mereka, kini tidak lagi ada.

Alih-alih sebuah ruangan seperti yang ada di rumah musim panas memenuhi sudut pandang mereka. Tidak ada lagi lorong dengan cahaya biru yang berpijar. Kini, sinar mentari bisa menembus masuk melalui kaca jendela yang terpampang di sisi dinding merah bata tersebut.

Arnt bergerak untuk keluar dari ruangan sempit itu, yang secara otomatis langsung diikuti oleh pemuda di belakangnya. Dua belah pintu besi yang baru saja mereka lalui, langsung kembali menutup. Lalu, ketika langkah mereka semakin menjauh dari pintu tersebut, tiba-tiba sebuah rak buku menyembul keluar dari dalam lantai marmer. Perabot itu menyamarkan keberadaan pintu besi.

Setelah berada di luar ruangan yang dipenuhi buku itu, mereka disambut dengan tempat santai yang cukup luas. Beberapa kursi panjang melingkar, serta meja bundar besar mengisi sebagian ruang tempat tersebut. Dinding yang ada di situ, hampir didominasi oleh kaca. Membuat mereka bisa melihat jajaran pepohonan dari tempat tersebut.

"Hmm … Arnt, apakah kamu mempunyai acara khusus dengan Arben?" Seorang gadis bersurai pirang yang menjuntai hingga pinggul, datang menghampiri kedua pria itu. Manik hazelnya menyorot tenang ke arah mereka.

"Sudah tidak lagi," jawab Arnt pada pertanyaan gadis tersebut.

Senyum segera megar di wajahnya yang lugu. "Kalau begitu, aku boleh mengajaknya ke kota hari ini?" Gadis itu terlihat sedikit bersemangat.

Arben berkedut. "Perasaanku tidak enak," gumamnya, "Memang untuk apa?" Ia terlebih dahulu melontarkan pertanyaan balik pada gadis itu, bahkan sebelum Arnt meresponsnya.

Gadis itu ganti melempar pandangan ke arah Arben yang berdiri di sisi Arnt. "Berbelanja," jawabnya. "Persediaan bahan makan di dapur semakin menipis. Kamu mau kalau kita mati konyol sebab kelaparan?"

"Terserahlah itu. Mengapa tidak pergi sendiri?" tolaknya. Ia sedang tidak ingin pergi untuk keluar di hari ini.

"Sialnya, aku tidak sanggup untuk membawa semua barang belanjaan seorang diri." Gadis itu berbicara dengan polos.

"Kalau begitu, kenapa tidak ajak saja yang lainnya?" Arben bersikukuh. Ia sangat tidak ingin keluar. Terlebih, tempat yang akan ditujunya adalah kota yang memiliki kepadatan penduduk.

"Mavi dan Roy, mereka sudah pergi untuk mengantarkan Deska ke panti sejak pagi tadi. Fane sedang sibuk di gudang dengan alat peledaknya. Clara pergi ke tempat biasa untuk mengintai. Sedangkan Florence …."

"Aku akan segera pergi menyusul Clara. Jadi, jangan minta aku untuk menemanimu." Seseorang langsung memotong ucapan gadis itu.

Mereka bertiga secara reflek langsung menoleh ke arah sumber suara lainnya itu. Terlihat seorang gadis dengan rambut pendek di bawah telinga yang berwarna pirang. Gadis itu membawa sebuah ransel, serta sebuah headset yang melingkar di lehernya.

"Nah, dia yang mengatakannya sendiri," ujar gadis beriris hazel tersebut.

"Ella, kupikir Grey sedang senggang. Mengapa tidak coba memintanya untuk menemanimu? Itu pun kalau Arben benar-benar enggan untuk memenuhi permintaanmu." Gadis beriris biru itu mulai memasangkan headset agar menutupi daun telinganya.

"Aku setuju dengan Florence," sambung Arben. "Memangnya kamu sudah mencoba memintanya? Kupikir dia masih berada di kamar."

Tiba-tiba, Arnt berdehem. Membuat ketiga remaja itu terdiam, kemudian mengalihkan pandangan ke arahnya. Lelaki itu menghembuskan napas panjang.

"Florence, kamu tadi ingin pergi ke sana, 'kan?" tanya Arnt.

Gadis yang memakai headset itu menganggukan kepalanya sebagai respons. "Benar," balasnya menjawab.

"Berangkatlah. Namun, aku harap kamu dan Clara pulang sebelum senja tiba." Arnt kemudian hening. Ia memperhatikan air muka milik Florence yang mulai terlihat tidak senang. "Selain itu, aku tidak ingin mencium aroma anggur putih lagi darimu," lanjutnya.

Wajah imut gadis itu, seketika berubah menjadi masam. Ia tidak menyukai perkataan Arnt barusan, terutama pada kalimat terakhir yang diucapkan padanya.

"Kamu mengerti, Florence?" Ia menegaskan ucapannya, melihat gadis itu hanya membisu.

Florence mendesah muak. "Iya, aku mengerti," cetusnya dengan malas. Gadis itu kemudian mengambil langkah, pergi meninggalkan mereka bertiga.

Setelah kepergian gadis itu, Arnt mengarahkan pandangannya kepada dua remaja yang ada di sisinya.

"Baiklah, bagaimana kalau Arben dan Grey saja yang pergi ke kota? Aku membutuhkan Ella di sini untuk membantu mengurus teman-teman yang sakit," tawar Arnt.

Pemuda berambut coklat itu seketika terbelalak begitu mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Arnt. Ia sangat tidak menyukai hal itu. Apalagi, pergi dengan gadis kaku yang bahkan pernah dikira olehnya gadis tersebut memiliki kelainan tuna wicara, akibat terlalu pendiam.

"Kumohon, ah ... itu terlalu kejam, Arnt," keluh Arben.

Pria bersurai perak itu menarik garis senyum di durja rupawannya. "Mengapa? Kamu membenci Grey?" Arnt menerka-nerka. "Padahal dia gadis baik yang penurut," imbuhnya.

"Tapi anti sosial," tambah Arben ketus.

Ella ikut tersenyum melihat reaksi Arben yang kesal. "Ayolah, Arben. Kamu harus mengakrabkan diri dengan semua orang. Grey tidak seburuk yang kamu kira. Kamu tidak akan mengetahui bagaimana sifat aslinya, sebelum kamu benar-benar mengenalnya," paparnya.

"Jalan berdua memang pilihan tepat agar seseorang bisa mengakrabkan diri dengan orang lain. Yah, walaupun jika dilakukan bersama lawan jenis, itu terlihat lebih mirip kencan." Arnt lagi-lagi membuka mulut, mengakibatkan rasa muak dalam diri Arben semakin membuncah.

Pemuda berambut cokelat itu mulai mencari alasan agar dapat menolak permintaan mereka. Namun, ….

"Aku akan memanggil Grey, kamu tunggu saja di sini," celetuk Ella seketika sembari berlalu dari hadapan mereka. Gadis itu dengan cepat melesat pergi, menuju kamar seseorang yang sejak tadi mereka bicarakan.

Jika sudah begini, kesempatan Arben untuk menolak permintaan mereka seketika kandas.

"Sial," decit Arben mengumpat.

∅∅∅

Florence memanjat sebuah menara tinggi yang berbentuk seperti bangunan penyalur kabel listrik, yang berdiri di antara pepohonan lebat. Hanya ada tangga kecil yang mampu menjadi perantara antara tanah yang dipijaknya, dengan bangunan beratap kecoklatan di atas sana.

Walaupun karat sudah melapukkan besi tangga tersebut, tetapi benda itu masih sanggup menahan beban darinya. Gadis mungil itu tampak tidak peduli pada ketinggian. Ia memanjat dengan cepat anak tangga searah, sembari tetap menempelkan headset di daun telinganya.

Ia mulai kembali mendapat pijakkan. Dirinya sudah sampai pada puncak menara yang lebih lebar daripada kaki bangunan tersebut. Rumah petak kecil yang terbuat dari kayu, terbangun di atas besi lapuk nun tinggi itu.

Florence melangkah pada lantai kayu, memasuki wilayah bangunan tanpa dinding di puncak menara tersebut. Terlihat beberapa perabotan sederhana dan juga senjata, tertata rapi di dalam ruang itu. Ia meletakkan tas ranselnya ke atas lantai, sedikit mengurangi beban di pundaknya.

"Hai, Clara," sapanya pada seorang wanita yang tengah sibuk mengecek senapan laras panjang di situ.

"Hai," balasnya tanpa memandang Florence. Ia tetap sibuk pada senjatanya, mengabaikan kehadiran gadis yang baru saja tiba di tempat tersebut. "Minumanmu ada di atas meja, ya." Ia hanya berbicara sedikit, kemudian kembali terdiam.

"Aku tidak minum hari ini." Florence menahan geram. Ia berjalan ke arah meja yang dimaksud oleh gadis berambut coklat sepunggung yang tengah sibuk dengan senapannya. Kemudian melihat beberapa botol yang terisi dengan penuh. Membuatnya sangat ingin meminum anggur putih tersebut.

"Tidak seperti biasanya," lontar Clara tanpa mengangkat pandangan dari senjata apinya.

Florence mendengus kesal. Alih-alih mengambil botol anggur, ia menyambut sebuah teropong dua lensa yang juga sama-sama tergeletak di atas meja. "Arnt melarangku untuk minum lagi," jelasnya.

"Baguslah. Kamu terlalu banyak minum akhir-akhir ini."

"Kamu menjatuhkanku dengan cara membela Arnt?" Florence tersinggung.

"Tidak," balas gadis bermanik hijau zamrud tersebut.

"Kalimatmu menyakitiku," keluh gadis imut bermanik biru itu.

"Aku hanya setuju dengannya. Kamu tahu? Mabuk bukanlah hal yang baik." Clara mulai mengangkat pandangan, menatap balik gadis berambut pirang yang masih bergeming di samping meja. Ia meletakkan senapan yang tadi dibawanya ke atas lantai kayu.

Florence memberengut mendengar itu. "Aku tidak pernah minum sampai mabuk," balasnya ketus.

"Ya, tapi berhalusinasi." Clara bangkit dari posisi duduk tanpa alas di lantai kayu. Ia bergerak mendekati gadis yang sedikit lebih muda usianya daripada dirinya. "Kuharap kamu juga tidak minum lagi kedepannya," lirih wanita itu.

Kalimat terakhir yang baru saja diucapkan gadis itu, membuatnya semakin kesal. Florence langsung berpaling muka, tak acuh. Ia memilih untuk memandang pepohonan rindang yang dahannya tidak lebih tinggi dari menara tersebut.

Sesuatu dari kejauhan tertangkap oleh pupilnya. Ia tertarik pada hal itu, kemudian mengangkat teropong yang sejak tadi dipegangnya untuk melihat lebih jelas.

Napasnya seketika tercekat. Begitu pemandangan diperjelas, ia mendapati seonggok tubuh manusia yang terbelah dua dengan begitu rapi. Potongan di dada mayat tersebut begitu datar, seolah benda yang memotongnya begitu tajam dan bergerak sangat cepat.

Ia menelan air liurnya dengan paksa. "Clara ... kamu membunuh orang yang ada di dekat pohon besar itu?" ucapnya dengan tergagap.

Gadis yang diberinya pertanyaan, sejak awal memang hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi. Iris hijaunya yang begitu tajam, menyorot dengan tenang ke arah yang dilihat oleh Florence.

"Iya, mungkin. Entahlah," jawabnya datar.

∅∅∅






Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro